Cari Blog Ini

Jumat, 23 Februari 2018

[Cerpen] Kisah Uang Kertas


(Dimuat di Tabloid Genie, Edisi 16/Th XIII 5-11 Januari 2017)




Pukul 19. 45 WIB.

Gen menghela napas panjang. Ia duduk di sebuah gazebo restoran Sunda. Di atas mejanya tergeletak dua buah gelas dengan air mineral. Pesanan sementara saja selagi menunggu. Masih ada sisa lima belas menit lagi dari waktu pertemuan. Ia memang sengaja datang lebih awal. Gen butuh memantapkan hatinya sendiri.
Ia teringat percakapan dengan saudara kembarnya, sepekan lalu.

"Jo, ini kesempatannya. Takkan lagi ada yang setepat sekarang," Gen membujuk kesekian kali. Sudah ia terangkan, bahwa ayah meminta kantor manajemen EO miliknya, mengatur acara gathering Komunitas Cinta Damai--sebuah ormas pendukung partai politik. Bukankah itu suatu pertanda baik?

"Kau masih saja naif, Gen!" cela adiknya, "bisa jadi karena dia tahu kau pasti takkan memasang tarif, malah bisa jadi kau gratisi dia!"

"Demi Tuhan Jo, berhentilah bersikap sinis! Dia masih ayah kita. Apapun hubungannya dengan ibu kini, bagi kita tak ada bekas ayah!" sentak Gen, adiknya terdiam.

"Sorry Gen, mungkin kau benar. Namun bagiku dia tetaplah seorang hipokrit menjijikkan, mudah-mudahan kau ingat dan waspada," pelan Joya bersuara.

Oh, tentu saja Gen ingat. Kala ia dan Joya masih bocah berseragam putih-merah,  ayah memutuskan menceraikan ibu. Demi menikahi putri dari Mr. Tan, donatur bagi karir politiknya.

Akibat perceraian itu, ibu menanggung luka hati yang mendalam. Untunglah ada dukungan usaha katering milik eyang putri, hingga secara finansial mereka tak limbung.
Tahun-tahun yang melesat, memperlihatkan sosok ayah ambisius, sukses menduduki jabatan prestisius di sebuah parpol. Lelaki itu demikian glamor dalam dunianya. Pemberitaannya selalu berbau sensasi bak selebritas. Ya, sosok pria yang berhasil bersenang-senang, di atas luka yang ditorehkan pada anak dan mantan istrinya.

"Dek...," panggilnya.

"Begini saja Gen. Kau buktikan padaku dia sudah berubah, mungkin aku mau pulang. Sudah ya, aku ada kerjaan lain." Begitulah cara Joya menyudahi sambungan telepon.

Gen membuang pandang pada kesibukan di restoran itu. Tertampak sebuah keluarga kecil, duduk mengelilingi menu nasi timbel dan ayam panggang, di meja lesehan. Tawa dua bocah lelaki kala berebut potongan daging, ditengahi ibu mereka, sementara si ayah  sibuk merekam dengan ponselnya. Betapa hangatnya. Dada Gen sesak.

Di gazebo lain, sepasang muda-mudi saling menancapkan kemesraan sambil mengaduk cairan kuning dan merah dalam gelas masing-masing. Mungkin mereka belum tahu kepahitan hubungan percintaan, batin Gen sedikit miris.

Waktu terus berdetak di pergelangan tangan kirinya. Kali ini dikeluarkannya sehelai uang kertas dua ribuan, dari dompet kulit cokelat. Lembaran yang lusuh dan bertambal isolasi bening pada salah satu sisi. Dengan penuh romansa, pemuda berambut ikal tersebut mengenang sesuatu. Kalau bukan karena benda ini, mungkin ia takkan mengubah sudut pandang tentang ayahnya.

Pada satu hari setelah wisuda sarjananya, eyang putri memanggil Gen ke ruang baca. Di tangan wanita sepuh itu tergenggam sehelai kertas.
Awalnya Gen kira demikian, namun setelah diamati itu bukan kertas kumal biasa, melainkan selembar uang dua ribu yang sobek. Gen mengernyit heran pada eyangnya.

"Tolong ambilkan isolasi bening dan gunting, Gen," pinta eyang. Tak perlu waktu lama bagi cucunya memenuhi permintaan tersebut. Kemudian eyang meratakan kertas kumal itu di atas meja, lalu menyejajarkan bagian yang sobek. Gen masih diam memerhatikan. Eyang menyatukan dua bagian itu dengan isolasi tadi.

"Nah, lihat! Jadi utuh lagi, kan?" Eyang berseru penuh kemenangan. Pemuda di hadapannya garuk-garuk kepala merasa bingung.

"Untuk apa uang lusuh seperti itu, Yangti? Kalau mau, Gen punya yang masih mulus." Eyangnya mengutas senyum. Sepasang mata tua di balik kacamata baca itu berkilat menyiratkan kecerdasan.

"Sini, duduk sebelah Yangti. Dengar ya, Nak. Kamu sudah dewasa dan akan menghadapi hidupmu sendiri. Ingatlah, di balik kerusakan dan kesedihan, tetap ada kesempatan untuk mempebaiki."

"Maksud Yangti?"

"Seperti uang kertas ini. Sekilas menyedihkan, jelek, sobek, dibuang pun tak apa. Tapi sebuah perekat bisa menolongnya. Dia jadi bisa berguna lagi. Simpan uang ini, Nak. Supaya kamu ingat selalu tentang kesempatan kedua." Eyang membelai kepala dan wajah Gen yang masih terpana.

"Yangti percaya, hatimu penuh welas. Nanti kamu akan paham."

Gen menekuri lembaran tersebut. Benar, kesempatan kedua untuk potret keluarganya. Sebentar lagi lelaki itu akan tiba. Gen mempersiapkan diri.

**

Tepat pukul 20.00 WIB.

Wajah ayah tak banyak berubah masih seperti Sean Connery, hanya rambut pendeknya mulai diselingi warna perak, sepasang netra cokelatnya menatap Gen penuh kerinduan.
Setelah memberi pelukan hangat, sang ayah seperti kehabisan kata-kata. Sementara pemuda itu sengaja menunggu. Tuan Danu berdehem, sekadar melonggarkan tenggorokan. Suaranya terdengar parau.

"Well, Ayah senang kita bisa bersua lagi, Nak." Gen mengangguk sopan.

"Kau tahu? Rasanya baru kemarin Ayah lihat kau, dan Joya bermain bola di halaman rumah kita dulu. Eh, sekarang sudah jadi bujang gagah, dan tampan." Ia terkekeh sendiri.

"Apa kabar adikmu?" Gen mengangkat alis. Apa ayahnya benar-benar peduli, atau basa-basi?

"Joya  sedang giat bekerja di Salmiya," jawabnya, menyebutkan nama salah satu perusahaan minyak multinasional.

"Kenapa kau tak banyak bicara, Nak?"

"Mengapa Ayah memilih EO-ku?" tanya Gen tajam.

Pria paruh baya itu terperangah, buru-buru meneguk air mineral.
"Ehem! Begini, ... Ayah tahu betapa besar kesalahan-"

"Cobalah jangan omong klise, Yah. Aku sudah dewasa. Butuh penjelasan yang lebih masuk akal," potong Gen.

"Nak, yang terjadi di masa lampau memang tak mungkin kita perbaiki," ucap Tuan Danu perlahan, "Tapi masa depan masih bisa kita ubah."

"Ayah jangan beretorika, aku bukan kader partai."

Tuan Danu terdiam cukup lama. Sementara Gen pura-pura sibuk menekuri buku menu.

'Ah, seharusnya aku bisa lebih lunak, bagaimanapun aku ingin berdamai,' bisik hati anak muda ini.

"Nak, tolong beri Ayah kesempatan menjadi bagian dari hidup kalian lagi."

Gen menatap mata itu, mencari kesungguhan. Tiba-tiba pria tersebut terlihat begitu rapuh, mengibakan hati. Namun ia masih ingin diyakinkan.

"Bagaimana dengan istri Ayah? Apa dia mau kita dekat kembali?"

"Tentu saja, Nak. Dia tak mungkin mencegah hubungan darah."

"Lalu ibu kami?" Pertanyaan yang sulit dijawab...

"Kita lihat saja nanti, Gen."
Jawaban yang belum memuaskan.

Batin Gen masih bergolak. 'Apakah Ayah bisa dipercaya?' Ia raba uang kertas di saku celana. Mengingat kembali pesan eyang. Untuk beberapa jenak ia bungkam, diikuti pandangan cemas pria di hadapannya. Akhirnya sembari mengembuskan napas, Gen memutuskan ini cukup bagus sebagai permulaan. Kemudian senyumnya terbit untuk pertama kali. Tuan Danu berbinar lega.

***
Sembari berjalan menuju Alphard hitam, sang Politikus men-dial sebuah nomer.

"Bagaimana, kau dapat fotonya? Dengar, aku ingin kau tulis sebagus mungkin. 'Tuan Danu berdamai dengan putra kembarnya'. Mengerti?" 

Di restoran, Gen kembali memandangi uang lusuh tersebut.

**END**

Cilacap, Juni-Oktober 2016

(Keterangan: ini adalah versi asli cerpen sebelum diedit pihak redaksi).








































Selasa, 20 Februari 2018

[Cerpen] Pohon Kepuh dan Cerita-Ceritanya


(Dimuat di Radar Mojokerto- Minggu, 11 Juni 2017)

Konon, di Karang Suci dulunya terdapat kerajaan kethek--kera dalam bahasa Jawa. Mereka mendiami istana Pohon Kepuh yang berdiri megah di tengah pekuburan manusia.

Para kethek hidup  bahagia. Bersuka ria semenjak fajar hingga malam menutup hari. Mereka bebas berlompatan-menggaruk bokong-mencari kutu-berkelahi-kawin-beranak-menggosip. Semua yang umum dilakukan kaum berekor panjang itu.
Pada mulanya jumlah mereka melimpah-limpah melebihi manusia peziarah. Para kethek seolah penguasa pekuburan dan orang harus membawa upeti buat mereka mulai dari makanan hingga kembang kamboja. Itu perlu agar kegiatan menggali, mengubur, menabur bunga, dan mendoakan arwah tidak diganggu makhluk penjerit tersebut.

Namun roda berputar. Pesta selalu berakhir. Hukum alam berlaku tanpa mengecualikan hewan seperti kethek. Gelombang manusia berdatangan mengantar sanak kekasih tetangga hingga orang gila ke balik tanah basah.
Orang-orang mati memerlukan tempat istirahat. Orang-orang hidup membutuhkan tempat menunjukkan duka di atas gundukan si mati. Para kethek mulai terusik. Mereka kalah jumlah hilang kuasa. Seolah merestui kebutuhan manusia, sang Pohon Kepuh nan agung roboh! Maklumlah usianya sudah tua gigi tinggal dua dan tak sanggup menanggung amara.

Wuss. Para kethek tersapu angin hilang lenyap dari Karang Suci. Meninggalkan legenda yang merasuk.

***

Seto mengucek mata. Perjalanan enam jam sejak tengah hari dalam bus ekonomi dari Bandung berakhir sudah. Ia meregangkan tubuh penat hingga terdengar bunyi gemeretak. Teman sebangkunya sudah lama turun bersama arus penumpang lain. Ia yang tersisa.

Langit muram Cilacap menyambutnya. Di jalan debu bercampur dedaunan campur aneka sampah plastik berputar di udara. Orang-orang menutupi wajah mereka. Partikel debu kencang siap menampar siapa saja tak terkecuali Seto. Ia mengayuh langkah setengah berlari keluar terminal, mengabaikan tawaran para pengojek. Adiknya berjanji menjemput. Semoga anak itu sudah datang, batin Seto.

Seorang remaja usia SMP melambaikan tangan. Ia mencangkung di atas bebek hitam setrip biru. "Cepetan, Mas! Sebentar lagi hujan!" Segera setelah pantat Seto mendarat di jok, si adik menggeber  sang bebek. Menembus  lalu lintas kota yang berdenyut kencang; berpacu mendahului hujan. Seto menekap tas dan kardus kecilnya erat-erat.

Rumah, aku pulang; bisiknya.

Dua tahun ia bertahan dalam kamar pengap di pinggir Bandung sana. Menyesapi hari demi hari sebagai buruh pabrik tekstil. Ia selalu kelelahan. Tak pernah cukup waktu luang. Tak pernah cukup simpanan uang. Semua alasan itu yang dikemukakan jika ibunya meminta ia pulang. Untuk apa pulang? Belum ada monumen membanggakan bisa ia tunjukkan. Pun tidak seorang mojang bakal bini. Ia merasa cukup hanya unjuk suara di telepon genggam. Atau sekali waktu mengirim duit lewat bank pemerintah.

Seto tahu ibunya tak akan terlantar hanya karena ia menolak pulang. Banyak kerabat di Cilacap. Masih ada kakak perempuan dan adik laki-laki sebagai penjaga ibu. Mereka semua punya tangan dan kaki lengkap untuk mencari makan. Jadi, tidak pulang adalah pilihannya.
Kecuali hari ini.

Ibu menyambutnya dengan kerinduan meruap. Momen singkat menjelang magrib dipergunakan wanita separuh baya itu untuk mengusap wajah sang putra sembari duduk di kursi ruang tamu. Kakak dan adik Seto sudah lenyap dalam kesibukan setelah basa-basi sejenak.

"Maaf, Bu. Aku ndak bawa banyak oleh-oleh," ucap Seto pelan. Wanita tersebut tersenyum lebar, ada kilau kaca di dalam matanya.

"Kamu ini! Kamu mau pulang saja Ibu 'dah seneng!" Seto merasa jengah. Bagaimana pun ada bongkah rasa bersalah muncul melihat reaksi Ibu atas kepulangannya. Ia berdehem.

"Oh iya! Kamu pasti capek, ya. Sudah sana ganti baju di kamar. Terus ke dapur, makan dulu," instruksi Ibu.

"Jam berapa selametannya, Bu?"

"Nanti lepas Isya." Ibu beranjak ke dapur meninggalkan Seto.

Inilah alasan kepulangan Seto : acara mendhak pindho² sang Ayah. Walau ia harus mengajukan izin kerja karena hitungannya jatuh pada hari Kamis Wage--malam Jumat Kliwon. Seto melanggar tekad 'jarang pulangnya' sebab rasa bakti  pada almarhum.

Kenangan yang tersisa pada Seto tentang Ayah ialah permaklumannya. Apa saja polah laku tiga anaknya, dihadapi Pak Birun dengan hati lapang. Saat mbak Surti menjanda di usia pertengahan dua puluhan akibat ditinggal mati suaminya yang gembong curanmor--ditembak petugas polisi--, Ayah menganggap itu wajar. Ketika Seto mbalelo tak mau mengikuti ujian sekolah menengah atas dan malah masyuk jadi penerbang merpati, Ayah tak  muntab. Pun saat si bungsu Rino hobi merusak mainan miliknya dan milik anak tetangga, Ayah menanggapi santai saja. Justru Ibu yang murka, menangis, menyumpah-nyumpah.

Karena itu Seto merasa berhutang budi. Ayahnya orang baik, yang kematiannya akibat ditabrak lari pemuda mabuk sepulang mancing di satu petang, masih disesali Seto hingga kini. Jadi malam ini ia akan bergabung bersama Ibu dan dua saudaranya dalam doa. Seto yakin Tuhan Yang Maha Baik mau menerima doa mereka sekeluarga ditambah orang-orang yang baru pulang dari mushola.

Tepat sesudah doa berakhir dan para jamaah undangan pulang setelah menerima bungkusan berisi nasi serta tanda terima kasih lainnya, langit pecah jua. Ibu lega hajatnya terlaksana.
"Besok kita ke kuburan ayah kalian, menyiramkan air doa ini," tuturnya pada ketiga anak di hadapan.

Air yang dimaksud sebetulnya air biasa didalam botol minuman satu setengah liter, tadi diletakkan di depan pemimpin jamaah selama pembacaan doa. Mereka memandangi benda tersebut dengan pikiran masing-masing.

**

Jumat Kliwon dianggap Jumat sakral bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Tak heran banyak peziarah mementingkan hari tersebut untuk nyekar ke kuburan. Seto dan keluarganya turut larut dalam pawai tersebut. Berjalan kaki ke pekuburan Karang Suci yang hanya berjarak 500 meter saja. Tak lupa membawa aneka bunga tabur, dan uang receh secukupnya.

Buat apa, tanya Seto. Nanti kamu tahu sendiri tandas mbak Surti. Adiknya mengangkat bahu atas ketidakmengertian Seto. Ibu berjalan memimpin di depan, sesekali menyapa orang-orang yang berpapasan dengan mereka. Di langit, bola lampu Tuhan mulai memanjat naik.

Seto memang tak pernah menziarahi siapa pun di Jumat Kliwon di Karang Suci. Maka ia terperanjat bukan kepalang menyadari arus manusia memenuhi tiap tapak tanah pekuburan. Dan tidak semuanya peziarah. Seto menyadari itu saat mendapati lelaki atau perempuan yang membawa-bawa sapu lidi. Tiap ada rombongan mendatangi suatu kuburan, si pembawa sapu itu akan mendului membersihkan areal tanah dari apa saja yang mengotori. Tak lama ia akan menerima upah.

Ada juga sekelompok penjaja makanan dengan gerobak dagangan di atas motor, berhenti di pinggir-pinggir setapak menanti peziarah yang lapar. Seto pun melihat beberapa pemuda menjadikan makam yang dinaungi pohon Kepuh, sebagai tempat kongko dan bermain telepon pintar. Beberapa ekor anjing tampak tidur-tiduran dengan lidah menjulur. Belum lagi hilir mudik anak-anak kecil membuntuti peziarah sembari menadahkan tangan.

"Beri mereka, Rino," perintah mbak Surti. Setelah menerima sekeping-dua keping logam, anak-anak pembuntut tadi berhenti mengekori mereka dan berpindah pada orang lain.

"Tapi itu ada ibunya, Mbak!" Seto menunjuk seorang wanita berbaju lusuh, duduk di atas cungkup kuburan. Wanita itu mengawasi bahkan mengarahkan anak-anak tadi.

"Ya ampun, Seto, tentu saja! Mereka semua sedang ngethek¹ di sini!"

"Sshh, diamlah. Kita sudah sampai," Ibu melerai perdebatan mereka. Lokasi kuburan Ayah ada di pinggir Segara Anakan.

Seorang lelaki tua telah mencabuti rumput di sekitar kuburan, lalu menyapu hingga bersih. Dengan tersenyum lebar ia mempersilakan Ibu melakukan ritual ziarah. Sementara ia sendiri mundur dan menunggu di dekat situ.

 Seto berusaha memusatkan perhatian pada Ayah di balik tanah. Mereka berjongkok, mengusap kepala nisan, menangkup tangan, merapal doa bagi arwah Pak Birun--kepala keluarga terbaik yang pernah ada. Lalu Ibu menyiramkan air semalam, mbak Surti menyusuli dengan taburan bunga. Ritual selesai. Lelaki tadi kembali mendekat untuk mengambil upahnya.
Ibu beranjak meninggalkan kuburan Ayah. Kali ini Rino berjalan mendului, mbak Surti segera menjajari Ibu. Tapi Seto masih enggan beranjak. Pikirannya melantur. Angin meniup lepas kembang Kamboja menjatuhi kuburan-kuburan di bawahnya. Pemuda itu merasakan kesejukan di tengah keriuhan manusia di sekitarnya.

"Seto, ayo!" seru mbak Surti. Malas-malasan Seto berdiri lalu ikut beranjak meninggalkan rumah terakhir Ayah.

Para kethek mencangkung di atas dahan pepohonan Kepuh. Berceloteh tentang panen buah musim ini.
Anak-anak berlarian menelusup di antara para peziarah. Tertawa-tawa memamerkan gigi hitam kebanyakan makan gula-gula.

Kethek jantan riuh berkelakar tentang buah di dada manusia. Induk kethek menyusui bayi-bayinya.
Ada video panas sedang dibagi-bagikan lima pemuda tanggung. Pesta minuman menanti malam ini di pos ronda dekat kuburan.

Pasukan kethek menyebar di area pekuburan. Menarik-narik tangan, baju, tas peziarah. Minta jatah.
Lelaki dan perempuan berbaju lusuh. Berbagi area menyapu kuburan. Menatap pengunjung yang datang, meminta bayaran. Anak-anak menadahkan tangan. Orang-orang membayar jasa tukang gali, juru kunci, hingga juru doa kubur.

Ini tentang para kethek dan legenda yang tertinggal di Karang Suci. (*)

Keterangan:
¹ Ngethek : bertingkah laku seperti kethek (kera)
² Mendhak pindho : ritual selamatan memperingati +- 2 tahun meninggalnya seseorang.

Cilacap, 310317

(Kisah untuk: FAS, KBMers, Lovriners, dan BAwers).

[Puisi] Celoteh Wanita Tua


(Dimuat di Sastra Amanah Makassar, Sabtu 19 Agustus 2017)




[Cerma] Dobel Gen


(Dimuat di mingguan Minggu Pagi No 45 Th 70 Minggu II Februari 2018)

Jam pelajaran Matematika telah menguras energi  siswa kelas XII-A. Tak heran begitu waktu istirahat tiba, sebagian besar menghambur ke kantin.

"Dis, yuk ke kantin!"

"Maaf, Rin. Lagi gak selera. Aku di sini aja, deh."

"Yowes. Aku tinggal ya? Hati-hati sama Genio!" Setelah berkata begitu, Rini segera ke luar. Di pintu dia  nyaris  bertabrakan dengan seorang cowok cungkring.

"Hati-hati! Jajanku hampir jatuh, nih!" hardik cowok itu.

"Rasain! Awas  kamu macem-macem ama Gendis!" Rini balik membentak.

Namun cowok itu cuma meleletkan lidah. Lalu dia menghempaskan pantat, ke bangkunya di deretan nomor dua dari belakang. Setelah meletakkan bungkusan bakwan dan tahu goreng, cowok bernama Genio ini, mengedarkan matanya. Ternyata hanya dia dan Gendis yang memilih istirahat di kelas. Tapi kali ini dia tak ingin bertengkar. Sebab pagi tadi cewek itu tersenyum selegit namanya, Gendis alias gula.

Kalau dia ingat-ingat lagi, sejarah permusuhan mereka dimulai dari persaingan. Ceritanya tahun lalu, sekolah mereka--SMA Panglima Purwokerto--hendak hajatan ulang tahun emas. Pengurus OSIS diminta merumuskan suatu kegiatan siswa untuk memperingatinya. Gendis saat itu duduk sebagai ketua OSIS. Sedangkan ketua bidang seni dijabat oleh Genio yang memang nyentrik ala seniman.

Bersama jajaran pengurus lain, mereka mengadakan beberapa kali pertemuan, membahas rencana program. Suasana memanas ketika usulan Genio ditolak.

"Maaf Gen, kemarin usulanmu sudah kukonsultasikan. Hasilnya, acara yang kamu usulkan tidak disetujui oleh Dewan Guru."

"Bagaimana bisa?" Genio tak terima dan menggebrak meja.

Geram hati Gendis karena merasa dilecehkan. "Gen, tema peringatan kali ini adalah 'Berguna Bagi Sesama'. Jadi, kalo kita mengadakan pentas seni lengkap dengan konser musik, it doesn't make a sense!"

"Oh ya? Terus yang berguna bagi sesama itu yang gimana, Ketua?" sanggah Genio sinis.

"Kita akan mengadakan baksos, Gen." Kali ini yang menjawab adalah Iqbal, ketua bidang kerohanian.

"Aku mau kita voting!" seru Genio.

Sayang, hasil voting tidak berpihak padanya sehingga mau tak mau Genio dipaksa menerima kekalahan.  Sejak itu dia menyimpan dendam pada Gendis. Setiap ada kesempatan, dia berusaha menjatuhkan nama sang ketua.  Mereka lalu tenar sebagai sepasang kucing dan tikus, dengan julukan 'Dobel Gen'.  Saat kenaikan kelas, siapa nyana  mereka menjadi teman sekelas.

Sepanjang rivalitas tersebut tak pernah mereka bertukar sapa. Apalagi saling melempar senyuman. Jadi wajar jika peristiwa tadi pagi membuat Gen takjub. Sekarang dia asyik mengamati wajah Gendis dari tempatnya duduk. Ternyata cewek yang dianggapnya jutek dan sok paling benar itu  manis juga.

Suara bel  tanda jam istirahat usai membuyarkan renungan Gen. Dikemasnya sisa makanan di meja. Dia tak ambil peduli saat Rini masuk  sambil melotot galak padanya.

Saat berjalan pulang, Gen kembali berjalan nyaris bersisian dengan Gendis. Refleks cowok itu menoleh. Gendis mengangguk sopan lalu tersenyum manis. Saking takjub, Gen memelankan langkah hingga Gendis menjauh di depannya. Ada yang berdesir di dadanya.

**

Esok paginya, Genio berangkat sekolah dengan semangat baru. Aura cerah dan positif memancar dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Bapak, Ibu, dan adiknya  pun sampai terpukau.

Saat melihat Gendis keluar dari gang dia menyapa duluan. "Halo, Dis! Pagi ini cerah, ya?"
Gendis terperanjat. "Kamu ngomong sama aku?"

Genio sewot, "Ya, iyalah! Masa aku ngajak ngomong trotoar!"

"Eh, jangan sewot dulu, dong! Habisnya tumben kamu ramah?" Sebenarnya di dalam lubuk hati, dia lega jika Genio kembali ramah. Selama ini Gendis lelah dengan permusuhan mereka.

Sekarang giliran Genio garuk-garuk kepala, bingung. "Yang tumben itu kan, kamu duluan. Kemarin senyam-senyum segala. Padahal biasanya juga manyun!"

"Masa, sih?"

"Males, ah, ngomong ama cewek plin-plan!" Genio mulai gerah.

Gendis buru-buru menarik lengan baju Genio. "Tunggu!"

Genio berkacak pinggang. Beberapa kawan sekolah mereka yang melintas  bersiul menggoda.

Gendis menunjuk matanya. "Kamu lihat? Kemarin aku nggak pake kacamata, kan?"

"Terus?"

"Nah, itu dia. Kemarin, kacamataku diperbaiki. Bagi orang berminus tiga koma sepertiku, dunia tanpa kacamata itu buram! Jadi daripada salah tingkah dan dikira sombong, mending aku senyumin orang-orang yang papasan ama aku. Begitu!"

"Hah? Jadi...."

"Iya! Aku kemarin asal senyum aja. Nggak tahu kalo itu kamu!" tegas Gendis, membuat Genio syok.

Gendis  tertawa lepas melihat ekspresi Genio. "Sudah, ah! Ayo kita baikan. Dan anggap saja senyuman kemarin itu adalah sedekah dariku!"(*)

Cilacap, 120917-270118

[Puisi] Sajak Kopi


(Antologi puisi pertama saya)

PUISI-PUISI GITA FETTY UTAMI

SAJAK KOPI

Kemarilah kekasihku mari kita menimang malam
Segelas pekat telah kuseduh bagi mulutmu yang menghitam
Jangan pikir rasanya lagi kekasih sayang
Tiap hari tak akan sama
Kuakui terkadang hanya pahit semata yang kau kecap
Ada kalanya kau sesap sepotong gendis di situ
Tak jarang kau mengernyit oleh rasa asin; itu luhku menetes sembunyi
Namun takkan bosan kuhidangkan lagi dan lagi
Aku berbisik padamu melalui kopi.

**
Cilacap, 061016


SAAT LANGIT MENANGIS

Bumi menjadi kuyup
Aku pun ditelan banjir
Hingga gigil merasuki: ngilu
Kami terkungkung oleh duka sang langit

Perdiangan telah kebas
Api tak mau nyalanyala
Kau merepih dukamu
Lelah menatap bakal nafkah kita ikut kelu.

Kami maukan kehangatan
"Seduhlah dia, si pekat manis," pintamu
Aku tergeming bersama udara dalam kaleng
: tak ada kopi hari ini.
**
Cilacap, 101016