Cari Blog Ini

Kamis, 08 November 2018

[Resensi] Perempuan dan Masalah yang Dihadapinya



(Dimuat  di Harian Jateng Pos edisi Minggu, 4 November 2018)

Oleh : Gita FU

Judul Buku             : Sesuatu di Kota Kemustahilan
Penulis.                  : Rosi Ochiemuh
Penerbit                  : LovRinz Publishing
Cetakan.                 : Pertama, Februari 2018
Halaman                 : 208 hlm, 14x20 cms
ISBN.                       : 978-602-5684-46-3


Cerita yang ditulis oleh penulis perempuan, konon selalu melibatkan emosi dan perasaan yang dalam. Pendapat itu bisa dibenarkan manakala pembaca membuka lembaran-lembaran kisah dalam buku kumpulan cerpen ini. Dari dua puluh satu cerita ada benang merah yang bisa ditarik, yakni sudut pandang perempuan saat menghadapi permasalahan.

Cerita  getir disajikan dalam judul Firasat Hujan. Seorang Paman yang kesehariannya telah lelah oleh beban pekerjaan sebagai kurir di perusahaan penyuplai spareparts, berusaha menyisihkan secuil perhatian untuk keponakan perempuannya. Sang keponakan beranjak remaja, mulai tertarik pada lawan jenis. Sayang, orang tuanya sendiri kurang mengamati perubahan perilaku tersebut. Hingga ketika suatu peristiwa fatal menimpa si gadis, sang Paman yang sebelumnya telah berfirasat jelek, hanya mampu tergugu akibat keterlambatannya memberi peringatan pada orang tua si gadis (hal. 24). Kesan getir itu saya tangkap dari latar cerita ini: kota industri yang ruwet. Bagaimana kehidupan menuntut pergerakan serba cepat dan terburu-buru, agar roda ekonomi terus berputar. Hal itu menjadikan terciptanya kesenjangan bahkan di dalam satu keluarga. Suatu masalah yang semakin marak terjadi kini.

Masih dengan warna kelam dan getir, penulis mengangkat soalan ketimpangan peran dalam rumah tangga melalui cerita 'Hujan Batu di Kepala'.  Vina, seorang pegawai toko kain di Palembang, ia menjadi tulang punggung utama rumah tangga. Suaminya tak pernah menjalankan peran selaku pencari nafkah dan pengayom keluarga, bukan karena cacat fisik melainkan akibat cacat moral. Si suami terus menerus merongrong Vina untuk selalu sedia bekerja demi perekonomian mereka bahkan disaat kondisi kehamilan anak keduanya makin membesar. "Lelakimu bahkan tidak tahu bagaimana cara menafkahi lahir batin. Semua seakan timpang. Belum lagi ibunya itu, hanya membicarakan aib rumah tangga anaknya ketimbang memperbaiki. "Dia bilang, kamu adalah menantu tidak sempurna. Hanya bisa bekerja cari uang tanpa bisa menjadi istri dan ibu yang benar. Omongan yang tidak logis dan tidak berhati. Harusnya anak laki-lakinya mencari uang sejak menikahimu. Bukan menjadikanmu tulang punggung rumah tangga."  (Hal. 49). Ending yang tragis sekaligus membebaskan menanti tokoh Vina di akhir narasi cerpen ini.

Apa yang menimpa tokoh Vina di atas jamak ditemukan pada masyarakat kita. Menyisakan rasa penasaran di benak saya, apakah saat mengawali rumah tangga, sepasang laki-laki dan perempuan tersebut tidak menyamakan visi dan misi? Lalu apa sebenarnya yang terjadi pada pola pikir kaum lelaki, yang dengan seenaknya memperlakukan pasangan hidupnya bak sapi perah? Penulis buku ini memang tidak menyajikan jawaban pertanyaan saya, karena ia semata menyodorkan realitas dibalut fiksi.

Beranjak pada tokoh Mursalina dalam 'Oh, Mursalina' (hal. 95), seorang karyawati di perusahaan penyuplai spareparts. Setiap hari ia berjibaku dengan jalanan yang macet pada jam berangkat-pulang kerja, omelan dari atasan yang tak pandang bulu, hingga pemotongan gaji semena-mena. Mursalina terjebak dalam lingkaran setan, karena meskipun ia tak betah di tempat kerja tapi ia tak bisa keluar begitu saja. Sebab penghasilan suaminya belum mencukupi keperluan rumah tangga mereka. Mursalina mengangankan perlakuan manusiawi serta pemenuhan hak   pekerja perempuan dari perusahaannya.

"Kemacetan masih belum terurai. Dia memandangi wajah orang-orang yang kusut. Tak bisa turun dan tak berdaya di dalam. Tangisan klakson selalu melengking di telinga. Mursalina merasa tubuhnya lungkrah, kakinya pegal, teringat suami yang menunggu bersama buah hati. Mursalina kembali memejamkan mata. Andai saja takdir bisa kutulis sendiri seperti lamunanku tadi dalam mimpi sebentar, gumamnya." (Hal. 102).

Suara hati Mursalina di atas  ibarat suara lirih yang terus mendengung, pelan tetapi nyata adanya. Pusaran problematika sosial di sekitar kita yang kerap kali belum didapatkan solusinya. Melalui sastra si penulis berusaha mengungkapkan keprihatinannya pada pembaca. Pesan yang saya tangkap adalah  agar kita jangan berhenti peduli pada sekeliling. Karena kepedulian pada sesama dapat meringankan beban hati. Tentu saja buku ini tak luput dari kekurangan.  Hal klasik seperti masalah editorial dan EBI adalah minus yang saya temukan. Namun keduapuluh satu cerita di dalamnya tetap layak diapresiasi khalayak pembaca umum. (*)

Cilacap, 150818


[Resensi] Mendengar Suara Lirih Perempuan


(Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 2 September 2018)

 Oleh: Gita FU


Judul       : Sesuatu di Kota Kemustahilan
Penulis.             : Rosi Ochiemuh
Penerbit            : LovRinz Publishing
Cetakan.            : Pertama, Februari 2018
Halaman           : 208 hlm, 14x20 cm


"Lelakimu bahkan tidak tahu bagaimana cara menafkahi lahir batin. Semua seakan timpang. Belum lagi ibunya itu, hanya membicarakan aib rumah tangga anaknya ketimbang memperbaiki. Dia bilang, kamu adalah menantu tidak sempurna. Hanya bisa bekerja cari uang tanpa bisa menjadi istri dan ibu yang benar. Omongan yang tidak logis dan tidak berhati. Harusnya anak laki-lakinya mencari uang sejak menikahimu. Bukan menjadikanmu tulang punggung rumah tangga." (Hujan Batu di Kepala, hal. 49).

Kumpulan cerita dalam buku ini sebagian besar mengangkat masalah domestik rumah tangga, di mana perempuan menjadi tokoh utamanya. Sebagaimana banyak terjadi di zaman sekarang, perempuan pun ikut turun tangan mencari penghasilan baik sukarela ataupun terpaksa, agar perekonomian rumah tangga dapat berjalan. Selain menyandang peran pokok sebagai istri dan ibu. Dalam menjalankan peran ganda semacam inilah terjadi banyak gesekan baik di dalam rumah maupun dengan lingkungan sekitarnya.

Cerpen 'Hujan Batu di Kepala'  (hal. 36) mengangkat persoalan Vina, seorang pegawai toko kain di Palembang. Ia menjadi tulang punggung utama rumah tangga, akibat kemalasan sang suami. Saat tengah hamil tua anak kedua, ia didera sakit keras yang mengharuskannya beristirahat total. Sayang, ia tak mungkin berhenti dari pekerjaannya. Sementara sang suami malah semakin menjadi-jadi kelakuan buruknya: menghamburkan uang istri guna berjudi dan mabuk-mabukan. Puncaknya Vina mengalami sakit kepala hebat bagai hujan batu di dalam kepalanya.

Beranjak pada tokoh Mursalina dalam 'Oh, Mursalina' (hal. 95), seorang karyawati di perusahaan penyuplai spareparts. Setiap hari ia berjibaku dengan jalanan yang macet pada jam berangkat-pulang kerja, omelan dari atasan yang tak pandang bulu, hingga pemotongan gaji semena-mena. Mursalina terjebak dalam lingkaran setan, karena meskipun ia tak betah di tempat kerja tapi ia tak bisa keluar begitu saja. Sebab penghasilan suaminya belum mencukupi keperluan rumah tangga mereka. Pembaca diajak berempati pada Mursalina, ketika ia mengangankan perlakuan manusiawi serta pemenuhan hak   pekerja perempuan dari perusahaannya.

Melalui sastra seorang penulis memiliki kemampuan menggugah kepedulian pembaca, pada realita di sekitar yang bisa jadi luput dari perhatian. Seperti suara lirih yang terus mendengung, pelan tetapi nyata adanya. Buku ini tak luput dari kekurangan yaitu masalah editorial dan EBI. Namun keduapuluh satu cerita di dalamnya tetap layak diapresiasi khalayak pembaca umum. (*)

Cilacap, 080818

Jumat, 31 Agustus 2018

[Cerma] Biang Kerok



Terbit di Harian Rakyat Sumbar edisi Sabtu-Minggu, 25-26 Agustus 2018

Oleh: Gita FU



Hana menghempaskan badan ke bangku. Dadanya naik turun tanda menahan emosi. Kelakuannya memancing perhatian Lisa, kawan sebangku Hana.

"Eh, kamu kenapa, Na?"

"Cowok nyebelin itu lagi!" geram Hana.

"Ngapain lagi si Rio?" kejar Lina penasaran.

Hana menunjukkan kedua telapak tangannya yang kotor. "Bayangin, Lin! Tadi aku keluar dari perpus dan sedang jalan ke sini, ada si biang kerok itu lagi ngobrol sama temannya. Sengaja kucepetin jalanku, eh, tiba-tiba dia bilang, 'Awas, Na!' lalu tahu-tahu aku jatuh kepleset kulit pisangnya dia!"

Lina menutup mulutnya, "Ya ampun! Eh, tapi darimana kamu tahu kulit pisang itu punya Rio?"

"Ya dari ketawa jahatnya, lah!" seru Hana berapi-api. "Mau kutonjok dia langsung lari."

Lina menghela napas prihatin. "Sshh, sudah... Mendingan kamu cuci tanganmu, bentar lagi jam istirahat habis. Yuk, kuantar!"

Masih dengan perasaan kesal, Hana mau juga menuruti saran Lina. Tak lama kemudian jam pelajaran terakhir dimulai.

**

Awalnya Hana mengira kehidupan baru keluarganya di kota Purwokerto akan baik-baik saja. Demi mengikuti pekerjaan Papa sebagai kepala cabang sebuah dealer motor, dia rela meninggalkan Bekasi, kota kelahirannya. Saat dia memasuki gedung   SMU Panglima pun rasa optimis masih melingkupinya. Teman-teman barunya di XI-A juga menyambut Hana dengan baik.
Sampai  ketika dia tengah duduk menikmati jajan di depan kelas bersama Lina, muncullah cowok berambut ikal itu bersama dua temannya.

"Wah, anak baru, ya?" sapanya. Hana mendongak lalu mengangguk.

"Iya, dia pindahan dari Bekasi. Kamu kemana aja, kok, baru tahu?" sahut Lina. Cowok itu cengar-cengir, kemudian menyodorkan tangan.

"Kenalin, aku Rio, cowok paling keren dari XI-B," ucapnya.

"Hana." Saat menerima jabatan tangan cowok itu, Hana merasakan sesuatu yang lengket di telapak tangannya sendiri. Cepat-cepat dia menarik tangan dan matanya melotot mendapati segumpal permen karet di situ.

"Ups! Maaf, anak baru. Sekalian tolong buangin sampah, ya?" cetus Rio dengan roman jahil. Dia  kemudian berlalu bersama kelompoknya.

"Riooo!" teriak Lina. Di sebelahnya, wajah ayu Hana terlihat pias menahan marah.

**

Itulah awal mula kejahilan yang dilancarkan Rio. Sejak itu setiap ada kesempatan berpapasan di luar kelas, ada saja cara Rio mengusili Hana. Mulai dari panggilan 'Hansip', menabrak dengan sengaja, hingga yang terjadi kemarin: membuat Hana terpeleset. Hana sungguh tak mengerti apa mau cowok itu. Kata Lina, sepengetahuannya Rio bukan anak jahil.

"Atau jangan-jangan sebenarnya dia naksir kamu, Na?" duga Lina  yakin.

Tentu saja Hana menolak mentah-mentah pikiran itu. Enak saja, gerutunya. Pokoknya Hana merasa sudah waktunya dia melakukan sesuatu. Agar si biang kerok itu berhenti mengganggunya. Apalagi sekarang genap sebulan dia bersekolah di sana. Masalahnya, Hana belum punya ide mengatasi cowok jahil itu.

Tengah asyik melamun, Hana tak mendengar kedatangan Mama di kamarnya. "Hana... Mama panggil dari tadi, lho?"

"Eh, maaf, Ma," sahut Hana kaget. "Ada apa?"

"Mumpung hari Minggu, temani Mama ke pasar, yuk? Kita belanja mingguan. Kamu belum pernah lihat Pasar Wage, kan?" tawar Mama, dijawab anggukan Hana.

Setelah bertukar baju, Hana dan mamanya bermotor menuju pasar.
Pasar Wage adalah pasar tradisional terbesar di Purwokerto. Hari-hari biasa saja kondisinya selalu ramai, apalagi di hari Minggu seperti sekarang. Beberapa kali Hana terpaksa bersenggolan dengan pengunjung lain, padahal jarak antar gang sudah lumayan lebar.

"Ma, beli jajan juga, ya?"

"Boleh. Itu ada penjual pukis, kita ke sana saja, yuk!"

Mereka berjalan ke arah timur. Terlihat sejumlah pembeli mengelilingi gerobak pukis. Lelaki muda bertopi  biru tampak sibuk menuang adonan ke dalam cetakan,  membungkus pukis-pukis matang, lalu menyerahkan ke si pemesan. Mata Hana membulat saat dia mengenali lelaki itu.

"Itu 'kan si biang kerok!" desisnya.

Mama melengak kaget, "Siapa yang biang kerok?"

"Eh, anu. Maksud Hana, itu teman sekolah Hana. Udah, ah, Ma. Batal aja belinya," ralat Hana. Dia  tak sudi bertemu Rio. Cukup sudah kejahilan cowok itu dia rasakan di sekolah.

Mama tentu saja bingung.
"Lho, kenapa batal? Kalau itu teman kamu justru bagus, kan? Kita ikut melarisi dagangannya. Lagipula Mama senang sama anak muda yang kreatif usaha."

Belum sempat Hana menyanggah, Rio telah melihat kehadirannya dan spontan menyapa. "Halo Hana! Kejutan manis jumpa kamu di Pasar Wage! Ayo sini, apa kamu mau beli pukis juga?"

Hana langsung masam. Namun  Mama malah mendekati Rio. "Kamu teman sekolahnya, ya? Duh, salut Tante. Masih remaja sudah mau belajar cari uang."

Rio tertawa sopan. Kemudian di sela melayani pembeli, dia menjelaskan pada Mama bahwa ini adalah kali pertama dia berjualan sendiri. Karena sebelumnya dia hanya membantu kakaknya saja. Kini setelah menguasai cara membuat pukis, dia bertekad rutin berjualan di saat hari libur.

"Belajar wirausaha kecil-kecilan, Tante," pungkas Rio. Mama mengacungkan dua jempol padanya.

Diam-diam Hana menyimak. Diperhatikannya  Rio yang gesit, cekatan, dan ramah. Hilang sudah kesan jahil yang selama ini dia ingat. Rupanya Rio menangkap pandangan mata Hana.

"Tante, maafkan saya, ya. Di sekolah saya sering mengusili Hana. Habis penasaran, ada anak baru cantik, tapi kok, pendiam?" Celetukan Rio sontak memerahkan wajah Hana.

Mama malah tertawa, "Ya ampun! Itu tandanya tak kenal maka tak sayang! Kamu minta maaf sendiri, Nak Rio."

Sembari menyerahkan pukis pesanan Mama, Rio berucap lagi, "Hana maafkan aku, ya. Aku janji nggak jahil lagi sama kamu."

Hana tak menjawab, namun seulas senyum mekar di wajahnya. Mungkin si biang kerok ini pantas diberi kesempatan kedua. (*)

Cilacap, 180718

Minggu, 22 Juli 2018

[Cernak] Rahasia Riku


(Terbit di Harian SoloPos edisi Minggu, 15 Juli 2018)

Oleh: Gita FU


  Kelas bunga Violet  akan menampilkan drama berjudul 'Kehidupan di Lembah Bunga'. Drama itu dalam rangka meramaikan  pentas seni Sekolah Peri Floralia.  Bu Gora sebagai wali kelas, membagi-bagi peran untuk murid sekelas. Riku, Elkei, Rossa, dan Karra menjadi para gadis penjual bunga. Sementara  yang lain  berperan  jadi petani, pejabat desa, pembeli, dan penduduk biasa.

"Kalian harus berlatih menari dan berdialog sesuai naskah ini," perintah Bu Gora sambil melambaikan lembaran naskah. Murid-muridnya mengangguk antusias.

"Bu Gora, bagaimana dengan kostum?" Elkei si peri bersayap hijau bertanya mewakili teman-temannya.

"Oh, untuk penjual bunga, pakai tunik  berwarna cerah dan  stoking hitam," jawab Bu Gora. "Petani pakai tunik berwarna cokelat dan stoking kuning. Untuk pembeli dan penduduk biasa, pakai tunik bermotif dan stoking merah. Khusus pejabat mengenakan tunik dan stoking warna putih. Mengerti semua?"

"Mengerti, Bu!"

"Sip! Aku punya stoking hitam!" seru Karra si peri  ungu.

"Aku juga!" timpal Rossa dan Elkei.

"Kenapa harus stoking hitam, sih?" keluh Riku si sayap merah.

"Kalau kamu tidak punya, boleh pinjam punyaku," balas Karra lembut.

Riku menggeleng kuat-kuat, "Diberi gratis pun aku tak mau!"

Tiga temannya heran, tapi mereka berusaha membujuk Riku. Sayangnya Riku malah semakin marah. "Pokoknya aku nggak mau pakai stoking hitam!"

Bu Gora mendengar keributan di kelompok itu, begitu pun murid-murid lainnya. "Ada masalah, anak-anak?" tanya Bu Gora.

"Riku tidak mau pakai stoking warna hitam, Bu!" lapor Rossa si peri  kuning.

Bu Gora menatap si peri merah, "Benar begitu, Nak?"

"I-iya, Bu," sahut Riku pelan.

"Sayangnya sudah tidak ada waktu lagi untuk mengubah ketentuan. Pentas seninya akhir bulan ini," sesal guru mereka. "Atau begini saja. Coba Riku diskusi dengan teman-teman di kelompok lain. Mana tahu ada yang mau  bertukar peran denganmu.  Ibu pikir itu jalan keluar paling baik."

Riku menyetujui saran Bu Gora. Namun dia terpaksa kecewa, ternyata tak ada yang ingin bertukar peran dengannya. Mengetahui itu, Rossa, Elkei, dan Karra berdiskusi diam-diam.

**

Sore hari  Bu Raya, ibunya Riku, asyik berkebun di halaman rumah. Terkadang Riku pun menemani.  Namun ketika Rossa, Elkei, dan Karra datang berkunjung mereka hanya melihat Bu Raya.

"Sore Bu Raya, Riku ada?" sapa tiga peri itu.

"Sore juga. Aduh, dari tadi siang anak itu mengurung diri di kamar. Entah kenapa. Apa perlu Ibu panggilkan?"

Tiga peri saling bertukar pandangan. Lewat isyarat mata, Elkei ditunjuk mewakili  bicara. "Oh, nanti saja, Bu. Sebenarnya kami ingin menanyakan sesuatu pada Ibu."

"Boleh saja. Mari sambil duduk di pondok," ajak Bu Raya ramah. Mereka menuju gazebo di dekat petak bunga anyelir. Setelah itu Elkei menceritakan tugas latihan drama yang kelas mereka dapatkan. Termasuk soal kostum yang kelak mereka pakai.

"Begini, anak-anak. Riku itu trauma sama stoking warna hitam," jawab Bu Raya.

"Dulu saat Riku tiga tahun, dia pernah dijahili dua kakak sepupunya. Riku dikunci di  lemari baju yang kebetulan di dalamnya tergantung  sebuah stoking hitam. Lalu dua anak nakal itu  bilang stokingnya  hidup. Tentu saja Riku ketakutan."

"Begitulah peristiwanya," tutup Bu Raya. Tiga peri merasa iba pada Riku.

"Berarti kita harus membantu Riku agar keluar dari rasa takutnya," cetus Karra. "Ayo kita pikir bersama, teman-teman!"

Bu Raya senang melihat kesetiakawanan tiga peri tersebut. Dia lalu masuk ke rumah hendak menyuguhkan minuman. Saat kembali lagi dengan tiga gelas es sirsak, para peri itu sudah bersiap mau pulang.

"Ayo diminum dahulu esnya," cegah Bu Raya.

"Terima kasih, Bu. Maaf kami harus segera pulang untuk menjalankan rencana kami," ucap Rossa sopan.

**

Keesokan pagi di sekolah. Elkei, Rossa, dan Karra mengajak Riku ke taman sekolah. Mereka tersenyum-senyum penuh arti.

"Ini bingkisan spesial dari kami untukmu, Ri. Bukalah," ucap Karra sambil menyodorkan sebuah kotak kado. Riku menerimanya dengan bingung.

"Dan jangan marah, ya? Sebab kami sudah diberitahu ibumu, rahasia di waktu kamu kecil," timpal Elkei.

Riku terbelalak  melihat isi kotak. Ternyata itu adalah ... stoking  hitam yang indah. Di seluruh bagiannya dililiti sulur-sulur portulaca¹ yang dikeringkan, lengkap dengan bunga  merahnya. Semua dijahit  amat rapi.

"Cantik, ya? Sekarang kamu bisa pakai stoking hitam tanpa takut lagi," senyum Rossa.

"Ini bagus sekali! Terima kasih kawan-kawan!" seru Riku terharu. "Dengan ini aku akan belajar melawan rasa takutku."

Keempat peri itu kembali tertawa riang. Rasa kesetiakawanan yang kuat mampu memecahkan masalah, yang mereka hadapi. (*)

Cilacap, 060718

Keterangan:
¹ Portulaca: nama latin tanaman krokot

Selasa, 17 Juli 2018

[Cerma] Jangan Jadi Pelari, Erina


(Terbit di Harian Rakyat Sumbar edisi Minggu, 15 Juli 2018)

Oleh: Gita FU

Cewek SMA berambut ikal sebahu masuk ke kios penyewaan bukuku. Aneh, seharusnya pada jam delapan seperti ini cewek itu sedang di kelas, bukan? Kupikir dia pasti tengah bolos.

"Mas, kalau mau sewa di sini syaratnya apa?" tanyanya tanpa sungkan.

"Jadi anggota dulu, Dik," jawabku pendek. Cewek itu manggut-manggut lalu sibuk menekuri judul-judul buku.

"Mas, aku numpang baca di sini, ya?" Tak lama  dia kembali bersuara. Di tangannya sudah tergenggam Breaking Dawn-nya Stephanie Meyer.

"Wah, maaf, Dik. Aturan mainnya nggak begitu. Kalau ingin baca  kamu harus sewa. Dan untuk menyewa, ya daftar dulu," cerocosku.  Aku tak ingin memberi toleransi karena  tak baik buat bisnis.

"Apa syarat pendaftarannya?"

"Cukup isi formulir ini, kasih  fotokopi kartu identitas, bayar uang pendaftaran. Nanti kamu dapat kartu anggota Kios Baca Doraemon, dan  bisa sewa buku  dengan jangka waktu empat hari."

"Duh, ribet!" keluhnya.

"Kalau mau baca di tempat dan gratis, ya  ke perpustakaan sekolah atau daerah," balasku pedas.

Dia terdiam. Setelah itu aku  tidak lagi mempedulikannya. Dan sekira jam sembilan para pelangganku berdatangan. Kebanyakan adalah mahasiswa Unsoed, karena lokasi lapakku memang berdekatan dengan  kampus. Kesibukanku  berlanjut hingga dua jam. Begitu sepi, kuregangkan tubuh. Biasanya lepas tengah hari nanti kios ramai kembali. Sekarang waktunya aku membeli nasi bungkus untuk makan siang.

"Lho! Kamu masih di situ?" Kaget, kudapati cewek SMA tadi sedang berjongkok di pojok sebelah  luar. Apalagi dia tengah asyik membaca novel Twilight. Cewek itu buru-buru berdiri.

"Maaf, Mas! Habis aku penasaran sama endingnya Bella dan Edward."

Aku gemas sekali hingga hilang akal, harus kuapakan kelancangannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan dompet, lalu menyodorkan selembar uang lima ribu.

"Ini, Mas. Mohon diterima. Anggap saja aku sudah menyewa novel ini. Tapi tolong biarkan aku selesaikan bacanya di sini, ya. Plis!" Kali ini dia menangkupkan tangan dan memelas.
Setelah pikir-pikir kuterima uangnya, karena  tak mau jadi tontonan orang lewat.

"Oke, aku terima dan catat ini sebagai sewa tak resmi. Siapa namamu?"

"Terima kasih, Mas! Aku Erina," balasnya semringah.

Selanjutnya kubiarkan Erina tetap membaca di kios, bahkan kuberi dia sebuah bangku plastik. Dia terus membaca hingga tamat, bersamaan dengan waktu tutup kios jam empat sore.

Besok paginya, Erina kembali datang. Dia tak mempan dengan pengusiranku. Mau tak mau dari obrolan yang tercipta, sedikit demi sedikit muncul keakraban di antara kami. Aku jadi tahu bahwa dia duduk di kelas XII sebuah SMK, yang letaknya tidak berapa jauh dari kawasan Unsoed. Erina bercita-cita menjadi akuntan seperti jurusan yang diambilnya.

"Tapi kenapa kamu membolos terus, Erin? Bagaimana kalau kamu kena skorsing dari sekolah? Dan orangtuamu pasti sedih kalau tahu kelakuanmu," tegurku di hari ketiga dia datang.

"Ah, Mas Pandu nggak tahu masalahku, sih," sahutnya sengit. "Orang dewasa cuma bisa ngomong tapi nggak bisa ngertiin!"

"Lho, kamu nggak cerita apa-apa, kok!" Setelah kukorek-korek, mau juga cewek itu bercerita. Ternyata dia hanya tinggal dengan ibunya, yang bekerja sebagai penjahit.  Bapaknya sudah meninggal sejak Erina masih SMP. Karena itulah ibunya bersikap amat keras. Bahkan cenderung memaksakan kemauan. Termasuk menginginkan Erina langsung menikah setamat sekolah.

"Lho, kok begitu?" heranku.

"Iya, Mas. Rupanya Ibu punya hutang pada seseorang. Dan sebagai balasan setimpal Ibu berniat menjodohkanku dengan orang yang seumuran bapakku itu," cewek itu bergidik ngeri.
"Makanya aku bingung. Cerita sama teman, eh malah disuruh nurut saja."

Aku termenung sesaat. "Mas Pandu pikir langkahmu ini tetap salah. Jangan jadi pelari, Erina, tapi berhenti dan hadapi."

"Tapi aku harus bagaimana, Mas?"

"Begini, mintalah bantuan mediasi dari guru BK dan kerabat dekatmu. Kamu masih punya kakek-nenek atau paman-bibi bukan? Orang dewasa seperti mereka tentu bisa bicara pada ibumu. Asal kamu bersikap jujur, dan terbuka."

Erina  tercenung lama. Tak lama dia pamit meskipun jam dinding baru menunjuk pukul satu. Saat kutanya, katanya dia mau pergi ke suatu tempat. Aku hanya bisa menghela napas
menatap punggungnya yang menjauh.

Esoknya,  hingga tengah hari pun Erina tak muncul di kios. Aku setengah bersyukur karena ada kemungkinan nasihatku kemarin mengena. Namun sisi hatiku yang lain pun merasa sedikit kehilangan. Mungkin karena aku mulai terbiasa mengobrol dengan Erina? Entahlah.

"Mas, dari tadi lihat jam sama nengok-nengok ke pintu. Lagi nunggu siapa?" tegur seorang pelanggan. Di tangan mahasiswa itu sudah tergenggam dua buah komik yang hendak diserahkan padaku.

"Eh, nggak nunggu siapa-siapa. Maaf, ya. Ini mau dipinjam?" Pertanyaanku dibalas anggukan. Aku berusaha kembali berkonsentrasi pada pekerjaanku.  Sementara pikiran tentang Erina harus disingkirkan dahulu.

**

Dua minggu kemudian barulah aku mendapatkan jawabannya.

 Seorang cewek berkacamata mendatangiku di kios sore hari. Tepat menjelang waktu tutup kios. Sebelum aku bertanya, dia berkata bahwa dia adalah teman sekolah Erina.

"Mas Pandu, saya dititipi surat. Sama permintaan maaf karena Erina nggak bisa datang langsung ke sini," cerocosnya menyodorkan sepucuk amplop.


Dalam hati aku sempat merasa geli sendiri. Surat di zaman ini? Oh iya, memang antara aku dan Erina belum pernah saling bertukar nomor ponsel. Di bagian muka amplop tertera tulisan 'Untuk Mas Pandu'.

"Sama satu lagi, Mas. Kata Erina terima kasih atas bantuan Mas Pandu," tambah cewek itu lagi. "Saya permisi, ya."

Aku menggumamkan ucapan terima kasih kembali yang tak ditanggapi teman Erina itu. Keinginanku menutup kios segera kutunda. Aku lebih penasaran pada isi suratnya.  Usai membaca tulisan tangan Erina hingga akhir, hatiku diliputi kelegaan. Erina telah mengikuti saranku, dan dia berhasil. Masalahnya selesai. Keluarga dari pihak  Erina bersedia membantu ibunya melunasi hutang. Sedangkan pihak sekolah yang diwakili guru BK, telah berbicara pada ibunya  tentang keinginan Erina meraih cita-cita.
Aku tercenung. Berapa banyak remaja di luar Erina yang juga memendam masalah namun memutuskan lari? Sungguh kasihan mereka.(*)

Cilacap, 0503-110718