Cari Blog Ini

Selasa, 20 Oktober 2020

Musim Kedua

Rubrik cerma Minggu Pagi

(Terbit di Minggu Pagi edisi Kamis, 8 Oktober 2020)

Oleh: Gita FU

"Ge, papaku bilang mau nikah lagi," ungkap Mita. Siang itu mereka duduk di bawah pohon kersen, di belakang rumah Gea.

"Lho, bagus tho? Papamu kan sudah menduda empat tahun," sahut Gea sambil mengudap kersen, "kalau mau nikah lagi, ya, wajar. Beliau butuh pendamping hidup yang bisa diajak berbagi, selaku pria dan wanita dewasa. Sedangkan kamu suatu saat bakal punya kehidupan sendiri."

Mita terdiam. Ia menatap sebal pada cewek berambut ikal sebahu di sampingnya itu. "Iya, Ge, iya! Tapi, mbok, ya jangan wanita itu...."

Gea menatap buah kersen yang hampir habis di mangkuknya. Sebenarnya ia sedang ingin bersantai sambil makan kersen. Mumpung tak ada tugas daring dari sekolah. Namun Mita adalah sahabatnya sejak kecil.

"Ge! Kamu masih nyimak nggak, sih?"

"Eh, apa, Mit? Kamu tadi bilang apa?"

"Aku bilang, seharusnya Papa memilih wanita selain Bu Leyla!"

"Lha, memang ada apa dengan Bu Leyla?" Seingat Gea, Bu Leyla adalah guru TK mereka dahulu. Suami Bu Leyla telah meninggal dunia enam tahun lalu.  Bu Leyla dikenal berperangai lembut. Semestinya, kan, Mita merasa beruntung sudah mengenal karakter calon ibunya.

"Ya, karena Bu Leyla itu ibunya Radit!" sembur Mita. 

Mulut Gea membulat. Ia nyaris lupa.  Mita pernah cerita belum lama ini, bahwa dirinya dan Radit baru  jadian. Pantas saja cewek berpipi kemerah-merahan ini uring-uringan. Tanpa sadar Gea menyeringai lebar. 

"Kenapa kamu kayak ketawa, gitu, Ge?" Mita bersungut-sungut tak suka.

"Soalnya kamu lucu. Penting mana, sih, pacar atau papamu?" Gea mencoba mengingatkan. Di luar dugaannya, Mita malah berdiri dengan marah.

"Kamu memang susah ngerti perasaan orang, Ge. Nyesel aku cerita!" Setelah itu Mita berlari meninggalkan rumah Gea.

 Gea menatap nanar. "Lho, memangnya aku salah ngomong, ya?" ucapnya bingung.

**

Pak Darno sedang berusaha menarik perhatian putri tunggalnya. "Jadi kamu ingin kita makan malam di restoran mana, Sayang?"

Mita belum menjawab. Ia berpura-pura menekuri materi yang dikirimkan gurunya lewat  grup WhatsApp. Sejak marah dengan Gea seminggu lalu, Mita makin galau menghadapi papanya. Sementara Papa terus berusaha meluluhkan hatinya, agar mau menerima Bu Leyla. Contohnya tawaran Papa sekarang: sebuah ajakan makan bersama besok malam.

"Mita," Papa kembali memanggil. Akhirnya Mita mendongak dari layar laptop.

"Apa Radit juga bakal ikut, Pa?" 

Papa mengernyit mendengar pertanyaan Mita. "Kalau tak salah, Bu Leyla bilang Radit akan ikut."

Hati Mita mencelos. Papa masih menunggu jawaban darinya. Mita jadi merasa iba menatap raut penuh harap, orang yang disayanginya tersebut. Ia berusaha mengatur degup jantungnya sebelum menjawab.

"Emh, bagaimana jika di Bangi Cafe, Pa? Kata teman Mita, makanan dan suasananya enak," ucap Mita, menyebut cafe baru di kota Cilacap. Papanya mengangguk lega dan gembira.

"Baik, Sayang. Terima kasih, ya. Papa janji nggak akan mengecewakan kamu. Sekarang Papa pergi sebentar. Ada urusan pekerjaan." Papanya mengacak-acak rambut Mita, penuh rasa sayang. 

Tak lama setelah Papa pergi, Mita menerima pesan WhatsApp baru. "Radit?" gumamnya. Mita berusaha menahan sesak di dada.  Ia menyudahi belajar, dan bersiap menunggu kedatangan Radit.

Tiga puluh menit kemudian Radit datang. Mita menemuinya di gazebo teras. Mereka  duduk berhadapan  dengan kikuk. Cahaya matahari sore menerabas dari sela dedaunan yang merimbuni halaman depan.

"Aku sudah memikirkan perkara hubungan kita, Mit." Cowok bermata elang itu bicara perlahan. Mita masih membisu.

"Ibu telah banyak berkorban untukku. Selain mengajar, Ibu juga membuat kue-kue pesanan orang. Ia begitu larut dalam kesibukannya itu. Setiap aku ingatkan agar beristirahat, ibuku hanya tersenyum." 

Mita menggigit bibir. Papanya pun begitu  larut dalam pekerjaan. Awalnya ia kira hal itu karena semakin banyak klien menggunakan jasa Papa sebagai desainer interior. Belakangan ia menyadari, Papa mencari pelampiasan dari rasa kehilangan Mama.

"Hingga suatu hari Ibu cerita soal gedung TK-nya yang akan direnovasi oleh pihak pengurus yayasan. Ibu pun berkenalan dengan  Pak Darno," lanjut Radit. "Kemudian tahu-tahu aku melihat perubahan itu. Ibu menjadi lebih sumringah." 

Mita ternganga mendengar kisah versi Radit ini. Ah, ia jadi merasa bersalah karena kurang peka terhadap perasaan Papa.

"Waktu itu aku sedang bersiap nembak kamu, Mit. Dan aku belum tahu bahwa Pak Darno adalah papamu. Maafkan aku, Mita. Seandainya bisa mundur ke masa lalu, aku pilih kita berteman baik saja. Aku tetap menjadi kakak kelasmu yang tengil, dan kamu adik kelas bawel," pungkas Adit lirih. 

Mita terisak. Ia memang  sudah mengira, inilah akhir kisahnya dengan Adit. Ia hanya perlu jeda sebentar untuk  menata hatinya lagi. Mungkin lebih baik seperti ini. Ia dan Radit memberi kesempatan kepada orangtua mereka, menjalani musim kedua dalam pernikahan. Mita pun ingin melihat papanya bahagia. (*) 

Cilacap, 140920


Keterangan: ini adalah cerma versi utuh yang saya kirim ke Redaksi. Lalu disunting dan dipangkas beberapa paragraf oleh Redaktur, setelah itu baru ditayangkan di rubrik cerma. Hal ini terjadi karena penyesuaian ruang di Minggu Pagi. 


Kamis, 13 Agustus 2020

[Cerpen] Cublak-Cublak Suweng

 

Cerpen Radar Banyumas


(Tayang di Harian Radar Banyumas edisi Minggu, 2 Agustus 2020)

Oleh: Gita FU


Malam merangkak naik, jalanan telah lengang, hanya sesekali suara gonggongan terdengar di beberapa rumah penduduk yang memiara penjaga berkaki empat itu. Sementara sang ratu malam kian cerlang di singgasananya. Entah mengapa suasana purnama ini berbeda, seolah-olah ada teror tengah mengintai siapapun yang berani menjejakkan kaki di luar pintu rumah masing-masing, tanpa kecuali. 

Bagi Soni malam ini adalah malam yang paling ingin dilompatinya. Sekujur tubuhnya telah kuyup oleh keringat dingin sejak lepas isya tadi; bujang lapuk ini  tak tenang, tiduran salah, makanan apapun sulit ditelan, duduk-duduk pun bagai ada bisul matang di pantatnya. Emaknya sampai berulang kali menawari kerokan.

"Kayaknya kamu masuk angin, Son," ucap perempuan lanjut tersebut cemas. Ia raba dahi anak semata wayangnya penuh kekhawatiran.

"Aku ndak apa-apa, Mak, ndak apa-apa. Cuman lagi mikirin orang yang belum nyaur hutang ke aku," tepis Soni lembut. Ia tahu emaknya tak bisa menangkap kebohongan yang barusan ia lafalkan.

Perempuan tua itu menatap prihatin pada Soni. "Makanya jangan terlalu baik sama temanmu, Son. Kamu juga yang dibohongi seperti ini. Sudah ndak usah terlalu dipusingkan, Emak yakin nanti pasti ada ganti rejeki yang lain," ucap sang Emak berusaha menghibur. Soni hanya mengangguk dan tersenyum samar. Ditatapnya lekat-lekat wajah wanita paling berjasa dalam hidupnya itu. Mereka telah saling memiliki sejak lama sekali, tanpa kerabat lain. Bagaimana jika terjadi apa-apa padanya? Dengan siapa emaknya akan bersandar kelak? 

"Mak, kalau ada apa-apa sama aku, Emak tetap tinggal di sini, ya? Emak boleh ajak si Narisa buat menemani," kata Soni bersungguh-sungguh. 

"Eh, kamu ngomong apa? Ndak akan terjadi apa-apa, kamu belum kasih emakmu ini menantu dan cucu, jadi jangan bicara aneh-aneh. Pamali!" Emak membalas dengan nada tinggi dan kesal. Soni terdiam, ia lalu mencium tangan emaknya, pura-pura tak mempedulikan rasa heran wanita tersebut.

"Sudah malam, istirahatlah, Mak."

Setelah memastikan Emak masuk ke kamar tidurnya, Soni melangkah ke kamar kerjanya di sayap rumah, yang terpisah dari rumah utama. Ruangan ini berada di antara pepohonan pisang dan pepaya di pekarangan rumahnya. Ia menyengaja membuat kamar kerja ini, demi alasan khusus yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Bahkan Emak pun amat jarang masuk ke mari. Di luar angin kencang datang berpusar, menabrak pohon-pohon miliknya. Soni makin menggeletar.

Soni duduk lemas di lantai, kedua tangannya menyangga kepala. Pikirannya terasa berkabut. Agaknya inilah akhir untuknya: kalah oleh perjudian yang dibuatnya sendiri. Lelaki tambun ini menerawang, mengilas balik perjalanan hidupnya. Di suatu masa ketika belaian lembut tangan Emak masih sanggup meredakan tangisannya, akibat diejek sebagai anak haram. Ketika ia masih bisa bermain riang diiringi lagu dolanan bocah bersama Surti, Santi, dan Ning, meskipun kerap diolok-olok sebagai banci oleh anak lelaki lainnya. Kala ia masih bisa bungah menerima hadiah sepatu bekas dari anak majikan Emak. Soni mengusap matanya.

Mendadak jendela kamar terbanting terbuka. Selarik asap masuk ke tengah ruangan, mula-mula tipis, lalu menebal dan beralih rupa menjadi sosok seorang wanita. Tubuhnya dibalut kemben dan kain, menonjolkan lekak-lekuk menggoda. Kepalanya yang berambut panjang dan legam dihiasi semacam mahkota emas. Wanita itu tersenyum dingin pada Soni, kebengisan memenuhi tatapannya.

"Kau tidak lupa malam ini purnama ketiga puluh bukan? Jadi ... mana tumbal yang kuminta?"  Soni maju lalu mencium lantai di hadapan si makhluk.

"Ampun Kanjeng Nini, sa-saya tak bisa," jawabnya lirih.

"Apa maksudmu?" Makhluk yang berjuluk Kanjeng Nini itu menyeringai buas.

Soni tak langsung menjawab. Lamat-lamat ia menghidu bau mayat membusuk di sekitarnya. Hatinya menciut, ia nyaris ingin mengubah keputusan yang telah dibuatnya. Ah, kini Soni benar-benar menyesal. Namun sudah tak ada jalan untuk kembali.


**

Ingatannya kembali terbang ke malam celaka di hutan di punggung gunung Slamet kala itu. 

Setelah tersesat selama tiga hari akibat mengikuti petunjuk tak lengkap dari Kirun, temannya, akhirnya Soni menemukan petilasan yang dimaksud: sebuah ceruk pada sebatang pohon paling tua di sekitar situ. Ia segera melakukan ritual pemujaan di depan tempat tersebut. Lewat tengah malam muncullah sang Danyang¹, diterangi sorotan sinar bulan purnama. 

"Terimalah persembahan saya, Gusti," sembah Soni takzim. Makhluk itu mengikik panjang, bunyinya seolah datang dari kejauhan. Suasana hutan mendadak sepi tanpa suara-suara binatang hutan yang sebelumnya ramai terdengar oleh Soni.

"Panggil aku Kanjeng Nini, manusia. Aku bisa memberimu kekayaan yang kau idamkan selama ini," Kanjeng Nini berucap lembut. Senyumnya merekah selegit madu hutan. Serentak Soni menyembah si makhluk dengan perasaan membuncah. 

"Tapi tidak gratis, manusia. Ada syaratnya," tukas sang Danyang. "Setiap tiga purnama aku minta tumbal nyawa manusia. Apa kau sanggup?"

Soni menelan ludah. Ia sudah diberitahu perkara ini, tapi hatinya tetap merasa tergetar mendengarnya langsung. Ia lalu teringat kemiskinan yang membuatnya selalu tersisih dan tak dipandang banyak orang. Ia pun terbayang wajah emaknya yang amat ingin ia bahagiakan di sisa usia. Lagipula jumlah manusia di dunia ini sudah terlalu banyak, bukan? Apa salahnya dikurangi sedikit, ia nanti bisa memilih dan memilah calon tumbalnya.

"Baik, Kanjeng Nini. Saya sanggup," tercetus juga persetujuan dari mulut Soni. Di hadapannya si makhluk kembali tergelak, ia senang mendapatkan seorang manusia bodoh lagi sebagai pengikut.

"Bagus! Satu lagi yang perlu kau camkan, kelak di tumbal kesepuluh aku mau yang istimewa. Dan ingat! Jika kau langgar perjanjian ini, nyawamu jadi milikku. Sekarang pulang dan nikmati kekayaanmu!" 

"Terima kasih, Kanjeng Nini!" Soni girang, mengantuk-antukkan kepala ke tanah. Kanjeng Nini kemudian lenyap, menyisakan aroma kembang setaman dan sejumput kabut tipis. Selepas pertemuan manusia dan siluman tersebut, barulah para binatang malam kembali mengunggah suara mereka, seolah ikut berlega hati. Tak lama fajar pun terbit.

Itulah pangkal musabab perubahan nasib Soni. Setiap pagi, segepok uang  muncul dari balik bantalnya bagai disulap saja. Ia gunakan uang itu untuk membuka aneka usaha, sehingga pertambahan kekayaannya tidak terlalu menimbulkan pergunjingan. Selain itu ia pun membangun rumahnya  jauh lebih  bagus dari semula. Soni benar-benar melaksanakan niatnya membuat hidup emaknya lebih nyaman.

Ketika waktu mempersembahkan tumbal tiba, Soni memilih dari kalangan orang gila, lalu gelandangan, selanjutnya seorang preman, berikutnya seorang pesaing usaha, tak lupa ia pun mengorbankan sekaligus membalas dendam pada orang-orang yang pernah menghina dirinya maupun emaknya. Para korban  tersebut sebelumnya ia beri sesuatu benda, entah makanan, entah barang berharga yang telah diberi jampi. Mereka semua mati mendadak seakan-akan terkena serangan jantung. Demikianlah, tanpa sadar Soni telah menjadi pembunuh demi melanggengkan kekayaannya. 

Hingga menjelang tumbal kesepuluh, Kanjeng Nini mendatanginya. Sang siluman menginginkan tumbal istimewa. "Untuk purnama ketiga puluh kelak, aku mau kau tumbalkan orangtuamu, hai manusia!"

Melompat mata Soni mendengarnya. Permintaan itu sungguh tak pernah disangka-sangka. "Ke-kenapa begitu, Kanjeng?"

"Tiap sepuluh orang, kau harus semakin membuktikan pengabdianmu padaku. Dengan begitu aku pun akan semakin royal padamu. Mengerti?" Seringai sang siluman laknat. Soni gemetaran hingga tak sanggup menjawab. 

 "Jangan kecewakan aku!" Lalu siluman itu lenyap. Tinggallah pemujanya terduduk lemas tanpa daya.

Mana mungkin ia tega mengorbankan Emak, satu-satunya orangtua yang ia miliki? Demi apapun Soni tak akan menyakiti beliau yang telah banyak berkorban demi dirinya, semenjak lahir hingga dewasa. Batin Soni berkecamuk.

**

Siluman itu menggereng keras. Kemurkaan mulai merayapi parasnya. "Cepaaat! Mana tumbal yang kuminta?" Tiba-tiba taring panjang mencuat dari mulutnya. Bau bangkai busuk semakin santer mengisi kamar Soni. Bersamaan dengan itu, wajah dan tubuh Kanjeng Nini malih rupa menjadi raksasi buruk rupa; biji mata mencelat, rambut kusut awut-awutan, kuku-kuku memanjang, kulit bergelambir dan berlendir ....

Soni mengkerut menatapnya. Namun tekadnya sudah bulat. "A-ampun Kanjeng. Saya tak bisa menumbalkan orangtua saya."

"Keparat! Jadi kau memilih mati!" pekik sang siluman.

Secepat kilat sepasang tangan busuk mengangkat tubuh Soni. Lalu kuku-kukunya menembus dada Soni. Bunyi robekan kain, dan daging terdengar di udara. Darah Soni muncrat, matanya nyalang tak berkedip, teriakannya tercekat di tenggorokan. Tawa makhluk itu membahana. Tangannya terus merangsek mematahkan rusuk Soni ... siap meraup pusat kehidupannya.

Di kamarnya, Emak terjaga tiba-tiba. Suatu lintasan firasat membuatnya panik dan segera mencari anaknya. "Soni, Sini! Kamu di mana? Kamu belum tidur, ya?" Ia terus mencari di penjuru rumah induk. Tak lama perempuan yang amat dicintai oleh Soni ini teringat akan kamar kerja putranya. Ia pun menuju ke sana.

Sebelum nyawanya benjar-benar lepas, Soni terkenang tembang dolanan yang dulu pernah ia nyanyikan bersama kawan-kawannya.

 Cublak cublak suweng

Suwenge teng gelenter

Mambu kethundung gudel

Pak gempong lera-lere

Sapa ngguyu ndelekake

Sir sir pong dele kopong. (*)


Keterangan:

¹ Danyang : siluman penunggu suatu tempat yang wingit

²Cublak-Cublak Suweng adalah sebuah lagu tradisional yang mengiringi permainan anak-anak. Merupakan salah satu cara Sunan Giri saat itu menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Makna yang tersirat ialah: untuk mencari harta janganlah menuruti hawa nafsu tetapi semuanya kembali ke hati nurani.


Cilacap, 200816-040320

Senin, 20 Juli 2020

Uang Tidak Turun dari Langit

Img. Pixabay


Oleh: Gita FU


Orang bilang, peristiwa yang menyakitkan di masa anak-anak akan membekas lebih lama. Itu benar. Sebuah kejadian sepele menimpa saya ketika kelas 3 SD. Dan berhasil menjungkirbalikkan perspektif saya dalam memandang diri sendiri.


Waktu itu keluarga besar dari pihak Bapak tengah berkumpul di rumah Mbah dalam rangka lebaran. Lalu saya, Paklik, Bapak, adik lelaki saya,  dan seorang kakak sepupu duduk-duduk santai di ruang tamu. Kakak sepupu ini umurnya sebaya dengan saya, kita sebut saja namanya Intan.  Paklik, dan Bapak saling melempar guyonan segar, membikin suasana hidup. Mendadak saya teringat satu cerita lucu dan ingin menceritakannya, terutama kepada Bapak. Di saat yang bersamaan Intan pun rupanya ingin bercerita. Akibatnya kami mulai bicara berbarengan. Kemudian apa yang terjadi? Ternyata Bapak memilih mendengarkan cerita Intan, dan mengabaikan saya. Setelah Intan selesai, seisi ruangan (kecuali saya) tertawa terbahak-bahak karena ceritanya.


Saya merasa nelangsa sekali. Segera saya masuk ke kamar Mbah, menyembunyikan air mata. Memang saya akui, Intan pandai memikat lawan bicara karena gaya bicaranya ceplas-ceplos. Suatu kelebihan yang tidak saya miliki. Namun bukankah seharusnya Bapak mau menyediakan telinga untuk cerita saya, putrinya sendiri? 


Kejadian itu membuat saya belajar banyak hal. Di antaranya:

1. Kamu harus menarik agar diperhatikan orang lain;
2. Saudara atau bukan, tak ada hubungannya dengan rasa empati;
3. Lebih baik saya mencari jalur alternatif, agar tidak ditabrak pelintas lain yang punya kendaraan lebih menawan.


Demikianlah, hidup terus berjalan. Saya pun mengamalkan pelajaran nomor tiga. Alih-alih berusaha memperbaiki gaya bicara, atau penampilan misalnya, saya malah menarik diri dari keramaian. Saya lebih suka tenggelam dalam bacaan, apa saja jenisnya. Entah itu komik, novel, cersil, cergam, majalah, buku agama, buku IPA, koran, bahkan bungkus snack yang saya beli di warung. Dengan membaca saya merasa menemukan dunia baru, sensasi pengetahuan baru, mengenal tempat-tempat asing beserta penduduknya; pendek kata saya mendapatkan teman yang tidak akan mengabaikan saya.


Selain membaca ada satu lagi kegemaran saya yang muncul belakangan, yaitu menciptakan cerita-cerita. Awalnya saya tuangkan cerita-cerita itu ke dalam bentuk gambar. Di lembar-lembar buku tulis, saya asyik menggambar bebek-bebek yang saling mengobrol. Setiap kali saya bosan mendengarkan guru di depan kelas, maka saya akan  menggambar. Saya tenggelam ke dalam cerita yang saya ciptakan sendiri. Akibatnya guru-guru tersebut bakal menegur dengan lemparan kapur tulis, agar saya kembali memperhatikan pelajaran. Apakah saya menjadi kapok? Tentu saja tidak.


Beberapa teman sekelas di masa itu menganggap saya aneh dan tukang bikin masalah dengan guru. Mereka yang berpikir seperti itu lalu menjauhi saya. Namun saya tidak begitu memusingkannya. Sepanjang saya punya buku untuk dibaca, dan kertas untuk digambari, tidak mengapa tidak punya banyak teman di kelas. Begitulah cara saya membangun pertahanan diri.


Ketika memasuki masa remaja, kebiasaan membuat cerita bergambar pun surut. Sebagai gantinya saya mengenal buku diary. Karena tidak setiap masalah yang saya alami bisa saya katakan dengan bebas kepada orang tua, buku diary itu menjadi tempat bercerita yang paling baik. Saya merasa amat nyaman dan lancar ketika menuliskan yang ada di pikiran saya. Ajaib sekali, betapa banyak kata-kata yang mengalir keluar melalui goresan pena, lalu memenuhi lembar-lembar diary saya. Setiap usai menulis, saya merasakan kelegaan yang paling plong. 


Di SMP, bacaan  saya meluas. Beruntung sekolah saya memiliki perpustakaan yang cukup lengkap. Di situ saya menemukan buku-buku sastra angkatan balai pustaka, bersanding dengan majalah MOP,  majalah Anita Cemerlang, dan  bahan ajar lain. Selain itu, ada klub drama yang diampu guru bahasa Indonesia. Saya bergabung di klub ini, dan mendapatkan banyak ilmu baru tak hanya terbatas pada drama. Sebab guru kami mengajarkan pula prosa lama dan baru.


Terkait prosa baru, khususnya cerpen, saya punya pengalaman tak terlupakan. Ketika saya duduk di kelas 2, sekolah kami merayakan ulang tahunnya dengan berbagai lomba internal, salah satunya ialah lomba menulis cerpen. Saya merasa tertantang mengikutinya. Terutama karena di masa itu, saya banyak menjejali diri dengan membaca aneka cerpen remaja di majalah Anita Cemerlang, Aneka Yess, Gadis, dan Hai. Jadi mengapa saya tidak mencoba membuat cerita sendiri? Kemudian saya mulai menulis, setelah selesai langsung saya kirimkan ke posko pengumpulan naskah di perpustakaan.


Ketika diumumkan hasilnya, cerpen saya yang berjudul "Ketika Kamu Sakit" tersebut,  keluar menjadi juara.    Saya tidak tahu  bagaimana cara juri menilai   sehingga menganggap karya saya  itu yang terbaik. Dalam angan-angan saya,  mungkin karena jalan ceritanya yang dramatis, atau dialog-dialog nan puitis, atau penokohan yang sempurna. Semua kemungkinan ini membuat saya berbunga-bunga; ternyata saya punya bakat terpendam. (Baru belakangan saya mengetahui faktanya: cerpen saya adalah satu-satunya peserta dalam lomba itu. Apakah saya jadi merasa malu? Tidak juga. Itu, kan, bukan urusan saya).


Sayangnya, setelah menjuarai lomba di SMP tersebut, semangat menulis saya byar-pet, byar-pet, di tahun-tahun selanjutnya. Meskipun begitu, saya tetap membaca banyak buku. Itu tamasya tidak tergantikan. Barulah di tahun 2004 saya kembali tergugah untuk menulis. Saya bergabung dengan Forum Lingkar Pena cabang Purwokerto yang baru mulai didirikan. Kali ini saya bertekad untuk mempelajari cara-cara menulis yang baik dan benar. Terutama menulis fiksi, karena saya menyukai cerita.


Di tahun itu pula, ketika warnet sedang menjadi tren, saya memberanikan diri mengikuti Close Up Movie Planet Competition. Sebuah kompetisi  menulis ide cerita unik dan segar, yang lalu akan diwujudkan menjadi karya film pendek. Tawaran hadiahnya amat menggiurkan. Saya suka membayangkan diri saya menang, lalu terbang ke Australia untuk mengikuti pelatihan membuat film pendek. Pasti 'wow' sekali. Maka saya pun bersemangat mengikuti kompetisi itu. Usai mengirimkan karya, saya tidak mengikuti lagi berita dari Close Up Movie Competition. Entah siapa juaranya, yang jelas bukan saya.


Saya bertahan ikut FLP cabang Purwokerto selama tiga bulan saja. Penyebabnya karena saya mulai kuliah D3 di kampus swasta, ditambah membantu usaha orang tua, dipungkasi memberi les-les privat. Jadi terpaksa saya menyisihkan keinginan belajar menulis cerpen hingga waktu yang saya sendiri tidak tahu.


Di tahun 2006 saya kembali menulis cerpen. Awalnya saya tulis di buku, lalu saya pindahkan ke komputer di kampus, dan dibaca beberapa teman. Mereka menyatakan apresiasinya terhadap kisah itu. Saya juga menulis sebuah cerita anak untuk dikirimkan ke majalah Bobo via pos. Tak disangka, cerita berjudul "Didi dan Sepiring Nasi" itu dimuat beberapa minggu kemudian. Kala itu Bobo terbit satu pekan sekali. Betapa bahagia hati saya, mendapat kiriman bukti terbit, dan wesel berisi honor. Teman-teman di kampus yang mengetahui hal ini ikut mengucapkan selamat atas pemuatan karya saya.


Namun setelah itu saya kembali vakum. Apalagi di tahun 2006 itu pula saya menikah. Dan kesibukan baru setelah berkeluarga berhasil membuat saya lupa pada cerpen. Saya masih menulis diary, sesekali di waktu luang, berkomunikasi dengan diri sendiri. Hanya itu saja.  Tahun-tahun yang berlalu menyisakan kenangan samar belaka perkara dunia cerpen.


Tahun 2015 menjadi awal baru. Bermula dari HP Nokia C3 milik Ibu, saya terkoneksi kembali dengan internet. Saat membuka-buka akun Facebook saya menemukan informasi tentang grup-grup kepenulisan. Hal tersebut membuka lagi kenangan samar sekaligus kerinduan pada dunia menulis. Saya segera memilih bergabung dengan salah satu grup kepenulisan, yang didirikan seorang penulis wanita terkenal. Di situ saya kembali belajar menulis yang baik dan benar. Saya merasa telah lama berkarat, perlu diasah lagi.

Dari satu grup ke grup, membuka jalan saya untuk berkenalan dengan penulis-penulis yang lebih dulu eksis. Banyak dari mereka yang bersikap rendah hati, mau berbagi ilmu tentang kepenulisan yang mereka miliki. Sungguh suatu keberuntungan bagi saya.


Begitulah hingga hari ini, detik saya membuat tulisan ini. Saya selalu merasa berkarat dalam hal ilmu menulis. Ibarat uang tidak turun dari langit, begitu pun kemampuan manusia yang tidak serta merta mahir atau mumpuni; butuh belajar terus menerus, selama hayat dikandung badan. Jika saya berhenti maka saya akan tamat. Seringkas itu. (*)


Cilacap, 18-200720

(Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerjasama dengan Tempo Institute).


Sabtu, 04 Juli 2020

[Resensi] Kisah Cinta yang Muram dan Melukai Diri




(Tersiar di Harian Bhirawa edisi Jumat, 3 Juli 2020)

Oleh: Gita FU



Judul : Pirgi dan Misota
Penulis         : Yetti A. KAn
Penerbit : Diva Press
Cetakan  : Pertama, September 2019
Tebal : 132 hlm
ISBN : 978-602-391-753-2

Kisah cinta tidak selalu manis dan berakhir bahagia, ada pula yang mengalami kepahitan. Bahkan pada level yang parah ada sebagian orang yang menjalani 'toxic relationship', alias hubungan yang tidak sehat, tidak menyenangkan, dan merugikan bagi diri sendiri. Patut disayangkan kaum perempuan kerap terjebak di dalamnya, tak mampu atau tak mau keluar dari kondisi tersebut, meskipun dirinya makin terluka. Biasanya alasan yang dijadikan pembenaran adalah karena cinta.

Dalam novela ini Yetti A. KA mengetengahkan jalinan kisah nan muram dari tiga perempuan yakni Pirgi, ibunya, dan Misota.  Pirgi  seorang perempuan muda  naif yang punya sifat obsesif. Ayahnya adalah pensiunan pegawai kantor pos, tak pernah ikut mengurus  Pirgi semenjak  kecil. Sikapnya selalu masam dan tak banyak bicara kepada anak dan istrinya. Sedangkan ibu Pirgi wanita yang keras kepala, ia memiliki usaha rumah jahit dengan penghasilan lebih tinggi ketimbang  sang ayah. Ibunya mendominasi kehidupan Pirgi. Ia kerap bersikap keras dan memarahi apapun tindakan Pirgi yang tak berkenan di hatinya (hal. 26).

 Sejak kecil cita-cita Pirgi ingin menjadi penjaga toko roti dengan topi jamur di kepala. Ia mendambakan profesi itu semenjak di TK, walaupun ibunya habis-habisan mencela. Bahkan sang ibu mengarahkan cita-cita Pirgi agar menjadi seorang sekretaris di perusahaan besar. Pada akhirnya Pirgi berhasil mendapatkan yang ia inginkan: menjadi penjaga di toko roti, yang seragam karyawan perempuannya adalah baju dan rok selutut, lengkap dengan topi jamur berwarna putih. Di toko itu Pirgi bertemu Nodee, lelaki yang usianya bahkan lebih tua dari ibunya, dan ia seorang penulis. Pria itu bersikap manis dan perhatian padanya. Dua hal tersebut cukup membuat Pirgi dimabuk cinta, padahal ibunya tidak menyukai pria berumur itu.
 “Aku gadis muda berusia 22 tahun, bekerja di toko roti, terancam putus kuliah di jurusan sosiologi. Lelaki itu 45—satu tahun lebih tua dari ibuku—seorang penulis, tapi kata ibuku itu sama dengan pengangguran. Aku tak boleh menyukainya. Ibuku pasti murka.” (hal. 32).  

Atas dorongan perasaan, Pirgi mengambil keputusan nekat dengan menikahi Nodee dan keluar dari rumah ibunya. Ia lalu mengikuti Nodee yang memilih tinggal di sebuah rumah kontrakan sempit di kawasan padat penduduk (hal.47). Pernikahan tanpa restu itu berjalan hingga tahun kedua. Dari situ terkuak bahwa Nodee   mempunyai masalah  keseimbangan mental.  Pria itu selalu mengurung diri di ruangan sempit dengan alasan menulis novel, ia senang mengoleksi suvenir dari para penggemar perempuan, dan kerap mengabaikan keberadaan Pirgi. Ia pun sering tiba-tiba marah dan bersikap kasar. Hal-hal tersebut lambat laun mempengaruhi kejiwaan Pirgi. Ia bahkan percaya saja pada sugesti Nodee bahwa  dirinya adalah jamur raksasa yang memiliki kekuatan penghancur (hal. 58).    

Pirgi yang tengah dibelit masalah dalam pernikahannya tak bisa meminta bantuan pada orangtuanya. Maka ia berpaling pada Misota, yang dianggap sebagai sahabat baiknya. Misota sendiri adalah perempuan penuh masalah, sehari-hari bekerja sebagai operator telepon di rumah bordil. Meskipun tak bisa memberikan bantuan atas masalah Pirgi, Misota selalu bersikap ceria dan membesarkan hati. Sikapnya amat bertolak belakang dengan ibunya, sehingga Pirgi merasa nyaman berbicara pada Misota.

Namun akhirnya pernikahan mereka  berantakan saat Nodee memutuskan untuk berpisah. Beban psikis Pirgi tak tertanggungkan lagi sehingga ia mengamuk di toko roti tempatnya bekerja; ia berilusi dirinya betul-betul berubah  jamur raksasa.  Akibatnya Pirgi mendapat perawatan di rumah sakit jiwa selama tiga bulan. Setelah keluar dari sana, kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya pulih kembali. Ibarat gelas, Pirgi telah retak. 

Di sisi lain Misota menghadapi terornya sendiri. Ia yang sebelumnya dikenal Pirgi sebagai perempuan tangguh dan ceria, nyatanya punya masa lalu gelap; pria yang pernah memperkosa dan menjadikannya budak seks bertahun lampau berhasil menemukan tempat kerjanya. Ironisnya, jangankan melaporkan si pria kepada pihak berwajib, Misota bahkan tidak bisa membenci pria itu, karena ia mencintainya.   Pirgi yang baru keluar dari rumah sakit jiwa ingin bercengkrama seperti biasa dengan Misota. Namun kali ini Misota tak mampu lagi bersikap tegar dan memilih pergi (hal. 126).

Mau tidak mau Pirgi kembali berada dalam rengkuhan ibunya. Ibu Pirgi yang kerap menyebalkan, tapi tetap peduli padanya. Tanpa sepengetahuan Pirgi, Ibu pun menyimpan luka dari masa lalu yang membentuk karakternya menjadi keras dan kaku. Sejak Pirgi kecil, Ibu mengaku sebagai anak petani di kampung. Namun ternyata hal itu bohong belaka.  

“Aku ditinggalkan oleh ibuku, setelah ayahku lebih dahulu pergi. Jangan kau bayangkan bagaimana aku melewatinya. Umurku baru enam tahun. Aku belum mengerti apa-apa selain banyak menangis. Seseorang jatuh kasihan melihat tubuh kurus keringku di jalanan. Ia memang orang baik. Selain aku, ia membesarkan anak lain.” (hal. 128).

Berbagai peristiwa tidak menyenangkan telah dialami Ibu semenjak kecil,  beranjak remaja hingga dewasa. Bahkan Ibu pernah pula terjerumus ke pergaulan bebas. Karena itu setelah menikah lalu  membesarkan Pirgi, ia memutuskan menjaga putrinya dengan ketat. Rupanya Ibu ingin memperbaiki banyak bagian yang salah di hidupnya dahulu. 

Kisah dalam novela ini adalah kisah muram di dunia perempuan yang banyak terjadi di luar sana. Seyogyanya para perempuan menjadi lebih bijak dalam menjaga kewarasan dirinya sendiri, dan peran keluarga pun penting. Pesan ini menjadikan buku ini layak dibaca pembaca dewasa. (*)

Cilacap, 120320

Senin, 29 Juni 2020

[Cerpen] Erwin dan Tiga Dara


Medan Pos edisi Minggu, 21 Juni 2020
Rubrik Seni dan Budaya


(Tersiar di Harian Medan Pos edisi Minggu, 21 Juni 2020)

Oleh: Gita FU

Pagi ini langit kelabu.  Tak ada yang menyerbu kamar mandi satu-satunya di dekat dapur. Tak ada yang meributkan bedak atau lipstik yang berpindah tempat karena dipakai bersama. Tak ada yang mengeluhkan tugas kuliah hari ini. Pun tak ada yang bergegas ke warung Bu Lastri untuk antri membeli nasi bungkus. Tak ada yang ingin melakukan itu semua. Kami terlalu syok untuk melakukan rutinitas.

"Coba Gea, kamu ceritakan lagi. Rasanya aku susah percaya," ucap Malia gemetar. Aku memelotot sebal padanya.

"Iya, Ge. Barangkali kamu salah lihat tadi," timpal Ielma. Kali ini kegusaranku meluap.

"Kalau kalian memang tak percaya, ayo ikut denganku!" 

Jam setengah enam tadi, aku  bersepeda ke minimarket 24 jam terdekat di luar gang rumah kos kami ini. Aku kedatangan tamu bulanan dan baru ingat tidak punya persediaan pembalut wanita. Ketika dalam perjalanan pulang, aku mengayuh sepeda di sisi yang berseberangan dengan saat berangkat. Di muka rumah kosong berhalaman luas itulah aku menangkap pemandangan mengerikan. Aku nyaris terpeleset gara-gara menarik rem mendadak. 

"Erwin!" Aku menjerit tanpa sadar. Jalanan masih lenggang, tak ada yang tertarik mendekat. Aku merasa  tengah bermimpi buruk, dan berharap bisa terbangun untuk mendapati semuanya baik-baik saja. Namun lengan kiriku sakit menerima cubitan jemari tangan kananku. Aku ingin lebih mendekat, tapi kakiku menolak melangkah. Akhirnya aku bergegas pulang.

 Malia mengusap lelehan air matanya, sedangkan Ielma hanya mematung. "Padahal tadi malam aku masih melihatnya di kursi teras. Masa pagi ini dia sudah pergi, sih?" gumam Malia.

 "Menurutmu apa penyebab kematiannya, Gea?" Suara Ielma bergetar, ia menatapku pedih.

"Entahlah. Mungkin ia sakit, atau keracunan. Yang jelas,  tak ada darah tumpah di sekitar tubuhnya." Bila ada darah maka kemungkinannya bertambah: Erwin menjadi korban tabrak lari, atau seseorang sengaja memukulinya sampai mati.

Kami lalu duduk berjajar di sofa ruang tamu.  "Mungkin seharusnya kubawa pulang saja jasadnya tadi," sesalku, "tapi aku terlalu takut." 

 Malia meremas lembut pundakku. "Sudahlah, Gea. Aku jadi terkenang pada bantuan Erwin, saat aku sakit hati akibat dikhianati  Jon," cetusnya. "Kalian ingat masa-masa kacauku, kan?" 

Kami mengiakannya. Peristiwa putus cinta itu terjadi tiga bulan lalu. Malia dan Jon telah berpacaran setahun.  Jon adalah kakak tingkat flamboyan. Ia terpikat pada   Malia yang eksotis, setelah menatar teman kami ini sebagai anggota baru klub jurnalistik kampus. Namun kemudian Jon  melihat kecantikan gadis lain, dan berpaling dari Malia. 

"Erwin sering mengekoriku. Padahal aku cuma ingin menyendiri, mengasihani diri sendiri. Namun seolah-olah mengerti kesedihanku, ia malah bertingkah manja dan menggemaskan. Membuatku lama-lama merasa terhibur." Malia menerawang, bibirnya melengkung ke atas.

Aku melirik ke arah gadis itu. Erwin pun melakukan hal yang serupa padaku. Tingkahnya yang senang dekat-dekat pada manusia, rupanya berhasil menjadi terapi buatku. Aku pernah punya pengalaman buruk  sewaktu usiaku   sembilan tahun.  Ada seekor induk berwarna belang tiga datang dan melahirkan tiga anaknya di rumah. Kucing-kucing itu pun menjadi sasaran belaian, dan permainan bagi aku dan dua adikku. Mulanya orangtua kami  tidak keberatan. 

 Lalu anak-anak kucing semakin besar. Dan mulailah ibu kami mengomel-omel, tentang kotorannya, tentang betapa terganggunya ia dengan  kucing yang berlarian ke sana ke mari. Seolah belum cukup, adik terkecilku memukuli perut salah satu anak kucing hingga mati; aku ingat buih yang keluar dari hidung dan mulut kucing kecil itu. Disusul kematian seekor anak kucing lainnya akibat sakit. Kemudian ayahku memungkasinya dengan membuang si induk beserta seekor anak yang tersisa, entah ke mana. Patah hatilah aku.

Sejak kejadian itu aku selalu takut berdekatan dengan binatang berbulu itu. Hingga takdir membuatku bertemu Malia, dan Ielma di kampus yang sama. Kemudian kami memutuskan menyewa rumah kos secara patungan, di mana seekor kucing jantan berwarna cokelat putih milik penyewa sebelumnya, menyambut kami dengan riang.

"Kalian ingat tidak waktu Erwin berhasil menerkam  burung merpati Pak Mamet?" celetuk Ielma. "Itu bikin Pak Mamet muntab ke kita, kan?" Insiden itu terjadi dua minggu lalu.

 Kami  bertengkar dengan laki-laki paruh baya itu. Malia dan Ielma berbalik menyalahkan Pak Mamet selaku pemilik yang abai. Saban hari si burung   hinggap di teras kami, lalu buang kotoran seenaknya. Aku segera memeluk Erwin, berjaga-jaga seandainya Pak Mamet kalap. Pertengkaran itu sampai-sampai ditengahi Pak Heru, tetangga kos. Akhirnya Pak Mamet batal meminta ganti rugi, sebaliknya kami pun meminta maaf atas polah  Erwin.

"Kalau mengingat kemarahan Pak Mamet, mungkin tidak dia ada hubungannya dengan kematian Erwin?" Malia melontarkan prasangka. Seketika kami terlonjak menyadari kemungkinan yang tercipta. Balas dendam merupakan hal lumrah, tanpa memandang spesies.

"Mmm, bisa jadi, sih. Tapi andai benar, kita sulit membuktikannya. Salah-salah kita dituduh melakukan pencemaran nama baik," sanggahku. Malia dan Ielma terpaksa membenarkannya.

"Pertama-tama ayo kita lihat dulu bagaimana jasad Erwin," ajak Ielma. "Setelah itu kita bawa pulang dan kubur di halaman belakang." Apa yang diucapkan Ielma masuk akal. Sudah saatnya kami melakukan sesuatu, tidak hanya tenggelam dalam nelangsa.

Kami baru saja melangkah ke pagar. Saat itulah seekor kucing melompat turun dari tembok pembatas samping rumah. Ia lalu mengiau manja pada kami. 

"Lho? Erwin!" seru kami berbarengan. (*)

Cilacap, 180320



Selasa, 19 Mei 2020

Ide Kegiatan #DiRumahSaja: Membuat Bunga dari Pita dan Sedotan Plastik

Bunga Pita. Dokpri.


Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Haeee Sobat! Saya datang lagi, niih. Kali ini sebagai penutup rangkaian #BPNRamadan30DayChallenge, saya ingin menuliskan tutorial sederhana: membuat bunga dari pita Jepang dan sedotan plastik. Tutorial ini sekaligus bisa kalian jadikan ide mengisi kegiatan selama #dirumahsaja. Biar nggak bosen, gitu.

Nah, sebelum kita membahas langkah-langkah, ini dia bahan-bahan yang kalian butuhkan:

  • Beberapa gulung pita Jepang aneka warna. Potong-potong sepanjang 15 cm;
  • Sedotan plastik warna-warni. Pilih yang biasa buat pop ice, jadi plastiknya lebih kukuh nggak gampang mleat-mleot;
  • Cutter;
  • Penggaris besi;
  • Selotip



Setelah itu mulailah bekerja dengan langkah-langkah sbb:

  1. Satukan 5 lembar pita Jepang yang sudah dipotong, menggunakan stapler. Setelah itu bagian tengahnya digurat-gurat tipis, jangan sampai putus;
  2. Ambil selembar pita, lingkarkan bagian bawahnya mengelilingi ujung sedotan. Kemudian beri selotip;
  3. Tarik bagian pita yang masih tegak, ke badan sedotan. Buang kelebihan pita. Beri selotip;
  4. Cobalah dites. Jika  pita bagian pangkal bawah dapat didorong hingga ke pangkal atas sedotan, lalu bisa diputar membentuk kelopak bunga, itu tandanya sudah jadi.
  5. Siap dimainkan/dipajang di vas bunga/ dijual.

Ini dia hasil jadinya. Apik, kan? | Dokpri.

Hanna bahkan sempat menjual bunga ini ke kawan-kawan di sekitar rumah. Ia dan teman-temannya memberi nama: tongkat bunga. Selama beberapa waktu yang lalu, tiap pagi ada saja anak-anak yang datang minta dibuatkan. Mereka lalu membayar 1000 perak pada Hanna. 😁
Lumayan buat uang jajannya.




Gampil, kan? Semoga bermanfaat. Salam. (*)

Cilacap, 190520

#Day30
#BPNRamadan2020

Melatih Empati Anak-anak Terhadap Binatang




Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Saya amat bersyukur saat ini tinggal di rumah yang memiliki pekarangan belakang cukup luas. Sehingga kami bisa memanfaatkannya untuk menanam aneka tanaman, mulai dari toga, pohon alpukat, hingga beberapa jenis  tanaman konsumsi.

Selain aneka tumbuhan, pekarangan belakang kami pun menjadi tempat tinggal atau sekadar mampir sejumlah binatang. Sebut saja: burung emprit, burung dara, tawon, kupu-kupu, kepik, bunglon, kadal, bekicot, sirpoh, belalang, laba-laba, kelabang, lipan, tikus, kecoa, kucing, hingga semut.
Mirip kebun binatang, deh. 😆

Anak-anak kami biasa bermain di sini. Entah sekadar main panjat pohon, main tambang pasir, hingga gelar tikar lalu piknik-piknikan. Terkadang di waktu tertentu kami serumah kerja bakti sesuai kemampuan masing-masing, membersihkan pekarangan belakang.

Pada momen bermain atau bekerja inilah anak-anak berkesempatan berinteraksi dengan para binatang. Kami pun bisa mengajari mereka berbagai hal tentang binatang tersebut; misal: karakteristik, makanan, tempat hidup, jenis hama atau bukan.

Anak belalang sembah. Dokpri.

Bunglon di pohon alpukat. Dokpri.

Melalui para binatang ini juga kami melatih empati anak-anak. Binatang sebagai makhluk Allah, memerlukan perhatian dan kasih sayang kita. Kita tidak boleh berbuat sewenang-wenang, menyiksa, atau merampas hak hidup mereka; terkecuali binatang tertentu yang membahayakan keselamatan manusia.

Suatu kali si sulung Farhan menemukan bayi burung, di salah satu tumpukan terpal tak terpakai di halaman belakang. Ia lalu melaporkan pada saya dan si Abi. Adik-adiknya antusias ikut menonton. Setelah kami periksa bersama, rupanya bayi burung itu entah bagaimana terjatuh dari sarang. Kasihan sekali.

Si Abi lalu menyuruh saya membuatkan sarang buatan. Bayi itu kami letakkan di dalam piti (wadah nasi) plastik, yang dialasi kain. Setelah itu ia kami beri makanan berupa tepung beras yang diencerkan sedikit, serta air minum.

Bayi burung disuapi menggunakan potongan kayu tipis. Dokpri.

Pengalaman ini sungguh berharga. Anak-anak kami melihat  dan memperhatikan sendiri semua prosesnya. Meskipun pada akhirnya si bayi burung tak bertahan hidup lama. Paling tidak kami telah berusaha menyelamatkannya. Dan mudah-mudahan anak-anak kami tumbuh dengan rasa empati yang tinggi terhadap binatang.

Demikianlah cerita Ramadhan kami.
Semoga bermanfaat. (*)

Cilacap, 18-190520

#Day29
#BPNRamadan2020

Minggu, 17 Mei 2020

Sebelum Ramadhan Ini Berakhir





Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kita telah berada di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Itu berarti sebentar lagi kita akan ditinggalkan bulan mulia ini, kembali pada rutinitas biasanya. Sedih? Tentu. Tetapi Allah dengan segala kasih sayang-Nya kepada umat Nabi Muhammad, menjanjikan satu  bonus istimewa. Ialah malam Lailatul Qadar.

Malam ini mempunyai banyak keberatan dan kebaikan. Dalam ayat suci Al-Quran disebutkan bahwa ia lebih utama daripada seribu bulan; atau setara 83 tahun 4 bulan. Bayangkan berapa banyak pahala yang bisa diraih seseorang jika dia beribadah terus-menerus selama itu. Namun waktu sepanjang itu Allah ringkas bagi kita menjadi hanya satu malam saja. Betapa beruntungnya umat Nabi Muhammad!

Diriwayatkan dari Anas r.a., dia berkata, "Ketika Ramadhan telah masuk maka Rasulullah s.a.w. bersabda, 'Sesungguhnya bulan ini telah datang kepadamu, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa terhalang tidak mendapatkannya, sesungguhnya ia terhalang dari mendapatkan kebaikan seluruhnya dan tidaklah terhalang untuk mendapatkan kebaikan melainkan orang yang sial.'" (H.R Ibnu Majah).

Kapankah malam Lailatul Qadar tiba?


Di beberapa hadits diterangkan, bahwasannya Rasulullah s.a.w. menyebutkan kedatangan Lailatul Qadar ialah pada satu malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.

Apa yang seharusnya kita perbuat pada malam itu?


Perbanyak beribadah. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya i'tikaf di masjid bisa dilakukan guna menggiatkan amalan di sepuluh malam terakhir, maka tahun ini kita melakukannya di rumah masing-masing. Bacalah Al-Quran, berzikir sebanyak-banyaknya, dan berdoa memohon ampunan Allah serta doa-doa lainnya.

Ada satu doa utama yang diajarkan Rasulullah s.a.w.: 

Allaahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii 
 
Artinya: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Ampunan dan Maha Pemurah, Engkau senang memberikan ampunan, maka ampunilah aku
 
(H.R. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)."

( sumber : diaryummiadah19nk.blogspot.com)


Demikianlah yang bisa kita lakukan sebelum Ramadhan ini benar-benar berakhir. Semoga Allah dengan limpahan kasih sayang-Nya, berkenan meridhoi, serta mengampuni dosa-dosa kita. Dan semoga kita masih bersua dengan Ramadhan tahun depan. Aamiin. (*)

Cilacap, 170520

#Day28
#BPNRamadan2020

Tips Berhemat Kala Lebaran Ala Saya



Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Manusia dikaruniai kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan, seekstrem apa pun. Nggak percaya? Coba tengok ke kutub Utara yang penuh es, atau gurun pasir yang gersang, atau ke pulau-pulau terpencil di tengah laut, ada saja sekelompok orang yang memilih tinggal dan mampu bertahan hidup di sana, bukan?

Termasuk kondisi serba kurang menjelang lebaran kali ini. Meskipun terasa susah, tapi kita pasti bisa menyiasatinya, dengan berhemat misalnya.

Idih, tiap hari juga udah berhemat, kurang apa lagi coba? Kurang ajar, Eh. Nggak, ding. 😆 Ini berhemat khusus  saat lebaran, kok. Coba yuk, disimak.

1. Gunakan bahan-bahan yang tersedia di sekitar rumah, untuk membuat masakan spesial lebaran


Lebaran kali ini lupakan dulu segala yang berdaging. Bikin yang nggak biasa aja.  Di belakang rumah saya banyak ditanam lumbu kobis, tiungke (singkong),  pepaya, lumbu bisono, kemangi, kenikir, bayam. 




Semua bahan tersebut bisa diolah menjadi macam-macam menu seperti:  oseng lumbu kobis, kluban daun singkong+pepaya, lodeh daun singkong, oseng daun pepaya, sambal lalap kemangi dan kenikir, peyek bayam, Bisono rebus. Anti mainstream, sehat, dan hemat.

2. Beli yang memang dibutuhkan, tunda dulu yang diinginkan


Kalimatnya belibet nggak? Nggak, ya. Udah jelas maksudnya. Bahwa kita kudu bijak memilah mana kebutuhan mana keinginan, supaya uang yang dikeluarkan nggak boros.

3. Tutup mata dan telinga dari iklan


Terkadang hati kita sudah mantap beli hanya barang A, ehh, gara-gara iklan keputusan berubah malah jadi beli barang B. Otomatis anggaran ikut berubah. Makanya, kalau kita ingin berhemat, sementara waktu hindari cuci mata, ya.

Itulah 3 tips berhemat ala saya. Semoga bermanfaat. Salam. (*)

Cilacap, 16-170520

#Day27
#BPNRamadan2020

Sabtu, 16 Mei 2020

Cilacap, Home Sweet Home



Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Sudah jelas lebaran kali ini nggak ada acara mudik. Yang artinya keluarga kami nggak kumpul-kumpul bareng adik-adik, dan bapak saya di Patikraja. Kami pun menghapus agenda keliling rumah saudara di Purwokerto. Babai pula acara jalan-jalan menikmati wisata di kota pelajar itu. Yamogimanalagi, ya, kan? Kewajiban kita mematuhi himbauan positif dari pemerintah.

Jadi daripada terus gabut nggak jelas, kini program lebaran saya dan keluarga ialah: Cilacap, Home Sweet Home. 😁
Yak, Cilacap akan jadi rumah tunggal kami. Yeaaayyyy!

Foto: GPS tracker.

Sebenarnya, sih, bicara silaturahmi keluarga, di kota ini banyak kaum kerabat dari pihak si Abi, termasuk bapak mertua saya. Mungkin nantinya kami bakalan mengunjungi beliau, termasuk beberapa kerabat terdekat. Toh, mereka semua tinggal di wilayah kota, nggak pake mblusuk ke pinggir wilayah Cilacap (nan luas ini).

Umpama kemungkinan tersebut di atas terlaksana, tentu kami tetap mengikuti beberapa protokol kesehatan; pakai masker, cuci tangan dengan sabun dan air sering-sering, dan tidak salaman sembarangan. Plus bepergian tidak dalam jangka waktu terlalu lama. Ya, seperti itu gambarannya.

Baiklah, rencana sudah dibuat. Sekarang saatnya saya kembali konsen mengisi hari-hari Ramadhan, yang hampir berakhir ini.

Bye, Sobat. (*)

Cilacap, 15-160520


#Day26
#BPNRamadan2020

Kamis, 14 Mei 2020

Mudik Nggak, Ya?

Foto: Pixabay

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

🎶 Lebaran sebentar lagi 🎶

Hae hae hae, Sobatku. Lebaran memang sebentar lagi tiba. Kalian yang sedang di rantau, pasti ngerasa sedih ingat orangtua, dan keluarga. Ingin ketemu, ingin sungkeman, ingin melepas rindu. Percayalah, kalian nggak sendiri.

Musibah pandemi ini memang di luar dugaan siapa pun. Jika kita ikuti  berita di lini masa, maupun media elektronik mengenai perkembangan data penyebaran Covid-19, maka kita akan tahu bahwa kurva belum melandai.

Tak heran pemerintah--meskipun terkesan tumpang tindih dan menimbulkan reaksi negatif--mengeluarkan berbagai himbauan, dan larangan kepada rakyat. Yang terbaru adalah larangan mudik dan pulang kampung.

Kenapa ada larangan demikian? Karena dikhawatirkan para pemudik atau orang dari luar kota ini justru membawa virus covid-19 dalam tubuhnya,  lalu menularkannya di kota tujuan. Sehingga menimbulkan ledakan kasus baru. Oleh karena  itu masyarakat diminta bersabar demi kepentingan umum.

Demi menegakkan aturan yang berlaku hingga 31 Mei 2020 ini, didirikanlah posko-posko pengamanan pemudik (istilah lainnya "check point") di daerah perbatasan antar wilayah. Sanksi tegas berupa denda atau kurungan pun menanti mereka yang membandel.

Lah, umpama ada di antara Sobat yang orangtuanya meninggal dunia di daerah asal? Masa nggak boleh pulang? Emm, kalau saya tak salah baca, keadaan di atas termasuk kondisi khusus; asal membekali diri dengan surat keterangan yang ditentukan, maka Sobat boleh mudik.

Jadi secara umum, dalam hemat saya, jika kita tidak memiliki alasan yang mendesak maka lebih baik tak usah mudik lebaran ini. Kita bisa menggantinya dengan komunikasi via ponsel, bukan?

Semoga bermanfaat. (*)

Cilacap, 140520

#Day25
#BPNRamadan2020

Sesuatu yang Dirindukan Saat Lebaran

Foto keluarga. Dokpri.


Sepagi ini Hanna sudah terlihat sibuk mengisi jurnal Ramadhan-nya. Jurnal yang ia dapatkan dari Bu Guru Agama tersebut berupa lembaran-lembaran printout warna-warni; isinya panduan bagi orangtua dalam mendampingi anak beribadah di bulan Ramadhan, tabel kegiatan yang bisa diisi sendiri oleh anak, dan ide-ide kegiatan #dirumahsaja.

"Mi, bentar lagi lebaran, ya?" celetuknya.

"Hmm? Iya kayaknya," jawab saya sekenanya.

"Iya, nih. Kita kan udah puasa sampe hari ke 20." Ia menyodorkan tabelnya.

Benar juga, sih. Beneran nggak terasa puasanya, batin saya.

"Mi, besok lebaran kita ke Patikraja lagi, kan?"

Pertanyaan Hanna membuat saya tertegun. Buku yang tengah saya baca terpaksa saya tutup dulu. Mata bulat Hanna memperhatikan reaksi saya.

"Aku kangen sama Tante Jora, Om Jahid, Om Agung, Revi, Tante Devi, Mbah Hari, ... Kangen kumpul-kumpul. Aku pengin main sama teman-temanku yang di Patikraja," cerocosnya lagi.

Aduh, anak-anak memang polos sekali. Hati saya jadi terenyuh. "Tahun ini kita nggak kemana-mana, Na. Soalnya kondisi di luar masih belum memungkinkan," saya mencoba menjelaskan. Hanna manyun.

"Apa gara-gara korona, Mi? Kapan sih, koronanya selesai?"

"Kalo kapan, Umi nggak tahu Hanna. Ayo, Hanna bantu juga dengan minta sama Allah," jawab saya, "teruuus ... Hanna juga jangan malas diingatkan cuci tangan pakai sabun, jaga kebersihan, jangan kebanyakan main di luar rumah."

"Iiih, Umi. Memangnya kalo aku cuci tangan pakai sabun, koronanya pergi?"

"Iya, mudah-mudahan. Bisa, kan?" Kali ini gadis kecil saya hanya mengangguk singkat.

Nggak cuma Hanna yang kangen silaturahmi dan kumpul-kumpul bareng keluarga pas lebaran, saya pun demikian. Mengajak anak-anak keliling menjumpai sesepuh, bertukar cerita tentang hal-hal keseharian, icip-icip makanan khas lebaran, sejenak melepaskan rutinitas di rumah, itulah yang saya kangeni.

Mungkin lebaran esok kami tetap bisa bertemu sanak keluarga yang dekat rumahnya. Atau bisa jadi beberapa handai taulan terdekat mengunjungi kami. Tetapi suasananya tetap saja tidak semeriah lebaran sebelumnya.

Tak mengapalah. Tahun ini bisa melalui Ramadhan secara lebih bermakna, adalah hal yang pantas kami syukuri.

"Umi, berarti besok angpauku jadi sedikit, dong?"

Ya ampun, Hanna. (*)

Cilacap, 13-140520

#Day24
#BPNRamadan2020


Selasa, 12 Mei 2020

Menu Favorit Lebaran Khas Cilacap



Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Sobat, bicara soal lebaran, apa yang langsung melintas di benak kalian? Ketupat? Yes, samalah kita. 😁
Makanan yang sejatinya nasi kepal dibalut janur kelapa ini memang ikonik. Tak heran menjelang lebaran begini sudah mulai banyak penjual menawarkan songsong ketupat.

Asal sudah ada ketupat di meja makan, lauk pauknya bisa dikondisikan sesuai selera. Mulai dari yang sudah jamak seperti opor ayam, sambal goreng hati, hingga kerupuk. Ataupun yang merupakan menu khas daerah masing-masing.

Di Cilacap sendiri, menurut hemat saya, setidaknya ada 3 menu favorit yang khas. Yaitu:

1. Brekecek ikan laut


Seperti kita ketahui bersama bahwa Cilacap adalah daerah pesisir, otomatis termasuk daerah penghasil ikan laut segar. Meskipun bergizi tinggi, ikan laut terkenal lebih amis ketimbang ikan air tawar. Maka terciptalah masakan brekecek ikan ini, sebagai upaya meniadakan amis tadi sekaligus memberi rasa lezat.

Masakan brekecek ikan kuat rasa pedasnya. Selain itu, paduan bumbu-bumbu: jahe, kunir, lengkuas, bawang merah-putih, daun salam yang berani, menutupi aroma amis. Lazimnya ikan yang dipakai adalah kembung, kuniran, ekor merah. Ikan-ikan tersebut diolah utuh, tidak dipotong-potong dahulu.


2. Soto ayam kuah bening


Setiap daerah memiliki versi soto yang berbeda. Beberapa di antaranya terkenal ke penjuru negeri, contoh Soto Sokaraja yang gurih bersantan. Demikian halnya Cilacap. Sotonya berkuah bening, tanpa santan dan bumbu kacang, terasa segar.

Formulanya sederhana saja. Kuahnya menggunakan kaldu ayam rebusan. Ayamnya sendiri setelah direbus, lalu digoreng, sebagai suwiran di atas soto. Bumbu-bumbunya mirip bumbu Sop: merica, bawang putih, serai. Rasanya juga gurih, tetapi tidak 'ngglabet' seperti pada kuah yang bersantan.

3. Mendoan


Siapa belum kenal mendoan, cung! Tempe tipis dan lebar--dibuat khusus, dibaluri tepung berbumbu, lalu goreng dalam minyak panas hingga 'mendo' (setengah mateng). Hmmm, sedap!

Yang membedakan dengan mendoan ala Banyumasan, adonan tepung bumbu mendoan Cilacap berwarna kekuningan karena diberi sedikit kunir. Sehingga tidak terlihat pucat, Sobat.



Nah, itulah 3 kuliner Cilacap yang  cukup banyak difavoritkan warganya. Semoga kalian berkesempatan mencicipinya, ya. Punya menu lain? Share, yuk! (*)

Cilacap, 120520

#Day23
#BPNRamadan2020

Tips Membuat Baju Lama Rasa Baru





Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Hae, Sobat! Apa kabar puasa kalian? Semoga makin meningkat dari segi amalan, yaa. Luar biasa sekali tahun ini. Mungkin efek pandemi atau apa, bagi saya pribadi hari-hari terasa cepat sekali berlalu. Tahu-tahu Ramadhan sudah menjelang babak ketiga aja, aih. 😥

Omong-omong soal kalender, nih, tak pelak lagi Idul Fitri sudah terlihat di ujung sana. Biasanya hal apa yang kita lakukan, Sobat? Yak, tul! Mempersiapkan keperluan lebaran. Dan beli baju baru selalu masuk daftar teratas. Terutama keluarga yang punya anak kecil, macam saya.

Tetapi, eh, tetapi, lebaran kita sekarang bakalan berbeda dengan tahun lalu. Kita sedang mengalami masa-masa prihatin, perekonomian surut, tak ada pos dana bela-beli begituan. Lalu gimana caranya supaya semangat berlebarannya tetap terasa? Caranya: siasati yang bisa disiasati. 😉

Khusus perkara baju, ada beberapa tips yang bisa kita terapkan untuk membuat baju lama rasa baru. Dan ini Insya Allah lebih hemat ketimbang kudu belanja baju baru. Ingin tahu? Cekidot:

1. Pilih dan pilah koleksi baju lama yang masih oke


Yuk, buka lemari pakaian kita. Amati baik-baik koleksi yang ada di dalam. Kita akan terkejut ketika menyadari ada beberapa potong pakaian yang rupanya juarang dipake, padahal masih apik. Nah, pisahkan itu.

Setelah dipilah, baju-baju tersebut bisa kita pakai kembali buat lebaran besok. Jangan lupa, setrika lagi sampai licin, kasih pewangi sekalian. Kinclong lagi, kan?

2. Modifikasi ulang koleksi baju lama


Gini, Sobat. Bukan cuman motor aja yang bisa dimodifikasi, baju juga lho! Misal, kalian punya gamis yang panjang hingga mata kaki. Umpama dipotong hingga batas lutut/ paha, jadilah sebuah tunik baru. Ya, nggak?

Inspirasinya banyak kalau kalian belum punya ide. Cari, deh, di kanal-kanal yutub, akun-akun DIY di medsos, kalian pasti menemukannya.

3. Beri tambahan pernak-pernik untuk mempermanis tampilan baju lama


Tips ini senada dengan no. 2 di atas. Kalian amat sangat bisa menambahkan manik-manik di jilbab, blus, atau rok. Boleh juga menambahkan aplikasi sulaman bagi yang jago jahit-menjahit. Kalau nggak bisa menjahit, gimana? Ya, minta tolong penjahit di sekitar rumah, dong. 😁 Hitung-hitung memberi penghasilan buat orang lain.

Almarhumah ibu saya adalah salah satu contoh wanita kreatif. Banyak koleksi kerudungnya beliau beri payet, atau manik-manik. Nggak sampai full, palingan nemplok di salah satu sudut. Tetapi sudah berhasil membuat perbedaan. Sering pula beliau mengganti warna maupun  model kancing baju. Simpel, but it works.

 

Demikianlah 3 tips yang bisa saya tuliskan di sini. Jangan lupa garis bawahi semuanya dengan rasa syukur, ya. Walau bagaimanapun, baju luar hanyalah kulit sementara. Jangan sampai hanya karena tak punya baju baru, melunturkan semangat beribadah di bulan Ramadhan. Apalagi membuat kita melupakan nikmat dan karunia Allah lainnya, yang telah diterima selama ini. 

Semoga bermanfaat.(*)

Cilacap, 11-120520


#Day22
#BPNRamadan2020


Harapan-harapan Baik untuk Ramadhan Mendatang


Foto: Pixabay


Assalamu'alaikum Wr. Wb


Semangat pagi, Sobat! Dalam situasi seburuk apa pun, mari tetap jaga harapan di dalam dada. Harapan yang baik mampu menjaga kewarasan kita. Bukankah ada pepatah berbahasa Inggris mengatakan, "Every cloud has a silver lining". Atau mengutip janji Allah yang sudah pasti, di dalam Al-Quran: sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Jadi, tak ada alasan berputus asa. 😊

Masih membahas tentang menjalani puasa  di tengah pandemi, saya ingin kita saling berbagi harapan baik, nih, Sobat. Kalau harapan-harapan saya sederhana saja:

1. Situasi  normal kembali

Ya, tanpa intaian wabah, hidup kita kembali normal. Tak ada pembatasan wilayah, kewajiban menjaga jarak, rasa aman kembali pada kita. Saya rasa ini pun menjadi harapan semua orang.

2. Bisa beribadah lagi secara berjamaah di masjid


Cukup sudah kita merasakan 'kesunyian' pada Ramadhan kali ini. Semoga tahun depan masjid-masjid kembali makmur oleh kegiatan ibadah. Mulai dari majelis ilmu, tadarus, shalat berjamaah, tempat singgah para musafir. Aamiin.

3. Perekonomian pulih


Semoga perekonomian rakyat kembali pulih seperti sediakala. Yang sempat kehilangan mata pencaharian, kembali bekerja secara normal. Yang dagang bisa jualan lagi dengan tenang; daya beli pun kembali baik.  Bagaimanapun perekonomian yang stabil, membawa ketenangan, keamanan, dan kesejahteraan bagi rakyat.

4. Kesehatan masyarakat terpelihara

Jangan lagi ada cerita, orang takut berobat karena ngeri disangka terpapar Corona. 🙁  

Semoga kejadian pandemi ini membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi dunia kesehatan kita.  Baik bagi petugas medis, maupun pengguna jasa medis.


Itulah beberapa harapan saya untuk masa mendatang. Apa harapan kalian? (*)


Cilacap, 10-110520


#Day21
#BPNRamadan2020

Hal-hal yang Patut Disyukuri dari Ramadhan Tahun Ini


Foto: Pixabay


Assalamu'alaikum Wr.Wb

Allah Mahakuasa, makhluk tak kuasa. Ungkapan ini kerap saya dengungkan dalam hati dalam menyikapi kondisi sekarang. Bagaimana tidak? Ramadhan tahun lalu tentu tak pernah terbersit di benak kita, bakal mengalami situasi yang berbeda 180 derajat.

Tahun lalu kita masih melaksanakan aneka ritual bulan puasa: tarawih berjamaah di masjid, buka bersama, ngabuburit, tadarusan, dengerin ceramah-ceramah. Belum lagi segala bebunyian mercon, kembang api, atau kentongan ronda sahur yang meningkahi hari-hari puasa.

Tetapi tahun ini kita tinggalkan semuanya. Beribadah dari rumah saja. Rasa semarak menyambut Ramadhan seolah hilang. Semua gara-gara pandemi. Begitulah kira-kira yang banyak di pikirkan orang-orang.

Benarkah?

Menurut saya, tidak juga. Rasa semarak di bulan Ramadhan ini masih ada. Hanya berpindah ke dalam rumah kita masing-masing. Kegiatan-kegiatan positif untuk mengisi bulan Ramadhan menjadi terpusat dari rumah. Kini lantunan ayat-ayat Al-Quran lebih kerap terdengar dari mulut anggota keluarga.  Para ayah mendapat kehormatan mengimami shalat tarawih. Bukankah itu indah?

Ya, di balik musibah yang menimpa, tetap Allah sediakan banyak kebaikan dan hikmah bagi manusia. Tetap ada hal-hal yang patut disyukuri. Misalkan saja:

1. Masih diberi umur dan iman untuk menjalani Ramadhan


Bagaimanapun kondisinya, Ramadhan tetaplah istimewa, datang hanya setahun sekali. Alhamdulillah saya dan keluarga masih diberi umur hingga detik ini. Kami masih diberi kesempatan meraih pahala, dan melarung dosa-dosa yang telah ditimbun sebelumnya.

2. Kesempatan meningkatkan amal harian yang selama ini terabaikan


Dengan banyak berdiam di rumah, malah terlihat sekali betapa bolongnya amalan saya selama ini. Saya jarang shalat sunah, tadarus Al-Quran sedikit, malas membaca buku-buku agama, jarang zikiran, dan lain-lain. 😫 
Maka inilah kesempatan besar bagi saya meningkatkan ibadah. Mumpung diberi "space" luas oleh Allah. Kapan lagi?

3. Merekatkan rasa kebersamaan dalam keluarga


Keluarga kita adalah inti dari masyarakat. Bagaimana kita menginginkan punya masyarakat yang 'sehat', jika hubungan antar anggota keluarga sendiri tengah 'sakit'? 

Kejadian pandemi ini membuat kita kembali berpaling pada keluarga. Ditambah suasana puasa, klop sudah. Kita disadarkan alias diingatkan lagi untuk membersamai keluarga.
Saya bersyukur diberi kesempatan macam ini.

4. Meningkatnya rasa kepedulian sosial di masyarakat


Jumlah orang-orang yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi covid-19 amatlah banyak. Luangkan waktu untuk melihat sekitar kita sendiri. Saya yakin kita akan mendapatinya.

Bersyukur kondisi ini justru memantik rasa kepedulian sosial, dari warga untuk warga, dari masyarakat untuk masyarakat. Kepedulian melahirkan kebaikan, lalu kebaikan pun menular. Pada akhirnya kita bergandengan tangan untuk menghadapi musibah.


Hal-hal tersebut di ataslah membuat saya optimis, kita akan baik-baik saja. Ramadhan tahun ini memang luar biasa. Bagaimana menurut kalian, Sobat? (*)


Cilacap, 09-110520


#Day20
#BPNRamadan2020

Sabtu, 09 Mei 2020

Buka Puasa dengan Roti Kukus Pisang



Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah tadi pagi kami diberi pisang Putri nguling oleh adik ipar. Nggak tanggung-tanggung, sekira 4 sisir yang sudah matang. Oiya, Putri nguling ini jenis pisang lokal, bentuknya kecil, montok, rasanya manis banget, teksturnya agak berair. Sekilas mirip pisang susu. Wah, mau diapakan pisang sebanyak ini? Kan lagi puasa.

Kemudian saya memutuskan untuk membuat roti pisang kukus, buat camilan buka puasa nanti. Anak-anak langsung bersorak, Simbah dan si Abi mengangguk setuju. Okelah, cuss.
(Disclaimer: sebenarnya saya nggak ngerti bakal gimana jadinya pisang jenis ini kalo dijadikan roti kukus. Pengalaman sebelumnya pake pisang kepok yang lebih kesat teksturnya).

Untuk membuat roti pisang kukus, bahan-bahan yang saya gunakan adalah:

  • 2 sisir pisang Putri nguling
  • 8 sdm margarin, lelehkan
  • 4 sdm gula pasir
  • 4 btr telur
  • 10 sdm terigu
  • 2 tetes pewarna makanan, saya pakai perisa Nangka red bell.
Sekarang urutan membuatnya sebagai berikut:
  1. Hancurkan pisang, boleh gunakan sendok kayu. Campurkan gula dan telur, aduk rata. Nggak perlu pakai mixer, ya.
  2. Masukkan terigu yang sudah diayak, aduk pakai spatula. 
  3. Setelah itu masukkan margarin uang sudah dilelehkan, serta pewarna makanan. Saat melakukan langkah ini, panaskan panci pengukus.
  4. Tuang adonan ke dalam loyang bulat. Oh iya, adonan saya jadinya buat 2 loyang saking banyaknya pisang. 😝
  5. Kukus sampai matang. Dites tusuk, ya, Sobat. 
  6. Setelah dingin, sajikan, potong-potong sesuai selera. 

Roti kukus pisang. Resepnya re-cook dari @bungarosvita

Nyam, nyam, nyam. Setelah jadi ternyata memang untuk pisang yang agak berair seperti ini, takaran terigunya perlu ditambah agar tidak kelembekan.  Soal rasa, mah, sedaaap. Pas buat camilan yang disukai keluarga.  

Selamat mencoba! (*)

Cilacap, 080520

#day19
#BPNRamadan2020

Jumat, 08 Mei 2020

Ide Kegiatan di Bulan Ramadhan



Img. Pixabay


Assalamu'alaikum Wr.Wb

Tanpa terasa kita telah menjalani separuh bulan Ramadhan, ya, Sobat.
Apa kegiatan kalian selama ini? Masa-masa selama #dirumahsaja seperti sekarang, paling pas jika kita pakai untuk mengisi ulang ruhani. Sebab ruhani yang sehat, akan mendatangkan ketenangan jiwa, dan kesehatan tubuh.

Untuk itu saya ingin berbagi beberapa ide kegiatan yang bisa kita lakukan di rumah selama Ramadhan. Yaitu:

1. Membaca buku-buku kajian agama

Ada banyak macam kitab/buku yang bisa menambah ilmu pengetahuan kita, buah karya para ulama yang wara'. Misal: buku Fiqih Islam, Hadits Sahih Bukhari, Fadhilah Amal, Fadhilah Sedekah. 

Luangkan waktu khusus untuk membaca-baca kitab semacam ini, misal setelah Zuhur. Tujuannya agar kita bisa maksimal memetik manfaatnya.

2. Meningkatkan bacaan Al-Quran 

Keutamaan membaca Al Qur'an banyak disebutkan dalam berbagai hadis sahih. Antara lain:

Dari Utsman r.a beliau berkata, bersabda Rasulullah s.a.w., "Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya."

Jadi mumpung kini bulan mulia, di mana semua amalan dilipatgandakan pahalanya, kita bisa menambah bacaan Al-Quran kita. Umpama di hari-hari biasa kita hanya membaca dua lembar setiap usai Magrib, maka kita tinggal  menambah lebih banyak lagi usai tiap shalat fardhu.

3. Menambah hafalan surat pendek

Selain membaca Al-Quran, tak ada salahnya kita berusaha menambah hafalan kita terhadap surah-surah di dalamnya. Kita bisa memulainya dari surat-surat di juz ke 30/juz amma, yang relatif pendek-pendek ayatnya. Sehingga bacaan shalat kita tidak melulu surat 3 Qul saja, bukan? (Qulhu, Qul Falaq, Qul nas).

4. Shalat Tarawih berjamaah bersama keluarga 

Tahun ini benar-benar tahun spesial bagi kebersamaan dalam keluarga. Termasuk perihal beribadah pun bisa kita lakukan bersama anggota keluarga. Si Ayah menjadi imam, si ibu, serta anak-anak makmumnya. Sungguh syahdu rasanya, bukan?
Hitung-hitung ini saat yang tepat bagi para ayah melongok kemampuan membaca Al-Quran, ya.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat, Sobat. (*)

Cilacap, 070520 (late post)

#Day18
#BPNRamadan2020






Kamis, 07 Mei 2020

Masak Tanpa Ribet Ala @BungaRosvita




Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Aslinya nih, saya bukan orang yang hobi uprek di dapur. Memasak buat saya  ada di list terakhir bantu-bantu pekerjaan di rumah. Saya lebih memilih disuruh nyuci motor, deh, ketimbang masak. 😝

Tetapi orang-orang bisa berubah seiring perjalanan hidup. Demikian pula saya. Setelah berumah tangga pelan-pelan saya mulai tertarik memasak. Bukan karena dapat suami yang rewel terhadap masakan, sih, bukan itu. Sebab suami saya malah orang yang gampang perkara makan, nggak pernah menuntut kudu menu ini itu; la wong pernah kejadian saya masak mi bihun yang masih kaku kayak kawat bendrat gitu, masih mau dimakannya 🙈. Ketertarikan saya bermula dari penasaran.

Penasaran pingin bikin camilan sendiri, ketimbang beli melulu. Penasaran gimana sih masak ikan yang enak, contohnya. Penasaran bagaimana sama orang yang pinter bikin makanan trus bisa dapat penghasilan dari situ, kok bisa ya? Dan seterusnya.

Lalu saya mulai suka baca buku resep masakan, atau sengaja beli tabloid-tabloid yang memuat resep. Ya, seneng aja bacanya. Tapi buat mempraktekkannya? Hehe, nanti dulu. Menurut saya resep-resep yang saya baca itu masih terlalu wah buat ukuran saya (yang aslinya malesan masak 😜). Jadi ya baca sekadar baca aja.

Kemudian datanglah era sosmedan, trus saya ikutan bikin akun di Instagram. Singkat cerita, bertemulah saya dengan akun @bungarosvita. Awalnya saya pikir sang pemilik akun ini adalah blogger sebagaimana lazimnya. Hingga satu saat saya membaca unggahan beliau mengenai resep bikin spaghetti carbonara, dan donat tanpa telur, alias donat kampung. Saya langsung tertarik dan amat antusias. Wah, simpel banget! Praktek, ah!

Profil Mbak Bunga Rosvita di Instagram.

Baca juga: Pengalaman Pertama Masak Spaghetti

Sejak itu, saya jadi penggemar postingan beliau. Apalagi kalau sudah mengunggah resep, entah camilan, entah masakan. Menurut saya, yang bikin menarik dari status-statusnya adalah:


  1. Gaya bahasanya lugas, gampang dimengerti
  2. Bahan-bahan yang digunakan gampang diusahakan
  3. Menunya menggugah selera
  4. Didukung foto makanan yang cantik/video proses pembuatan yang gampang dimengerti
  5. Komunikatif

Hal-hal di atas yang membuat kemageran saya meleleh. Saya jadi tergugah bikin camilan yang disukai oleh keluarga, dan pengetahuan saya jadi bertambah. Beneran tanpa ribet, pokoknya. Kalau dihitung-hitung saya udah mempraktekkan 5 resep dari mbak Bunga Rosvita. 😍

Inilah beberapa foto hasil racikan blio, yang saya ambil dari akun Instagramnya. Terlihat menggoda, bukan?





Gimana? Setelah kalian baca postingan ini, boleh banget buka Instagram kalian, lalu follow akunnya. Semoga bermanfaat, ya. (*)

Cilacap, 060520

#Day17
#BPNRamadan2020