![]() |
Asroruddin Zoechni dan Kemarau di Sedanau (dok. IG/@asroruddinzoechni) |
Oleh: Gita FU
Cilacap, kopidarigita.com--Halo, Sobat! Tanggal 17 Mei diperingati
sebagai hari buku nasional. Tentunya ini
bukan sekadar seremonial tahunan, ya. Sebab menurutku ada semangat gemar
membaca yang perlu diperbarui oleh kita semua. Tak hanya kalangan pelajar,
melainkan meluas ke masyarakat umum, hingga kalangan pejabat di atas sana. Jika
kegiatan membaca berhasil menjadi budaya, aku yakin itu bisa mengubah banyak
hal di diri kita.
Nah, masih dalam semangat perayaan hari buku, aku mau membahas
salah satu novel bertema kedokteran berjudul Kemarau di Sedanau. Ini bukan
sekadar novel medis biasa, loh, karena ternyata setelah kubaca novel setebal
317 halaman tersebut juga mengangkat tema kesehatan mental, perjuangan meraih
mimpi, hingga spiritual. Ulasannya bisa kamu baca di beberapa tempat seperti
Goodreads, Yoursay (ada tulisanku juga di sana), ataupun media sosial seperti Instagram. Pokoknya, novel ini kudu
masuk daftar bacaan pembaca usia 15+.
Oh iya, sebelumnya sebagai informasi bagi sobat. Sedanau yang
menjadi judul novel adalah nama salah satu kota di Kabupaten Natuna,
Provinsi Riau Kepulauan. Pemandangan lautnya cakep, kalian boleh cek di Google. Mata pencaharian penduduk sebagian besar masih tergantung dari hasil
laut. Namun, fasilitas kesehatan dan pendidikan tinggi belum merata di sana.
![]() |
Pemandangan di pelabuhan Natuna (dok. IG/@asroruddinzoechni) |
Menariknya, yang nulis novel ini adalah dokter spesialis mata, yakni Asroruddin
Zoechni. So, narasi dunia medisnya tak perlu
diragukan keabsahannya. Dokter asal Kalimantan Barat ini termasuk piawai
merangkai kata, sehingga novelnya terasa enak dan mengalir. Kok, bisa, ya? Karena
penasaran itulah beberapa waktu lalu aku melakukan wawancara via telepon, untuk
mengulik kisah di balik layar penulisan novel Kemarau di Sedanau.
Berikut ini rangkuman wawancara kami. Selamat menyimak.
Kenapa memilih latar Sedanau?
Awalnya secara tidak sengaja saya menemukan latar Sedanau ini. Pada
awalnya saya hanya ingin menulis tentang
perjuangan mahasiswa kedokteran yang berasal dari Kabupaten Natuna di UNTAN yang sudah berlangsung sejak 2006. Banyak
cerita yang sudah saya siapkan dari hasil pengamatan saya sebagai
dosen sejauh ini.
Nah, latar Sedanau ini menjadi menarik karena saya mendapatkan narasumber yang berasal dari Sedanau dan Kota Ranai, yang bersedia menceritakan kehidupannya. Dan saya tahu bahwa latar Sedanau sangat menarik untuk diangkat dalam bentuk tulisan panjang.
Dari mana idenya?
Ide menulis
ini dari pengalaman sehari-hari mahasiswa kedokteran secara umum, terutama
mahasiswa kedokteran UNTAN.
Proses penerimaan mahasiswa kedokteran yang rumit
menjadi ide awal cerita, kemudian dikembangkan menjadi cerita yang lebih
panjang, mulai dari diterima kuliah hingga mendapat gelar dokter.
Selama
menjalani masa pendidikan, semua hal atau konflik-konflik yang terkait
kehidupan mahasiswa atau tokoh tersebut, masuk dalam unsur cerita. Konfliknya
termasuk tentang biaya hidup, akademik, pertemanan, konflik batin tokoh,
percintaan, hubungan sosial, keluarga, dan orang tua.
Berapa lama risetnya?
Riset saya lakukan sekitar 6 bulan, lalu mulai menulis secara aktif. Selama proses penulisan yang berlangsung sekitar 6 bulan juga, masih terus melakukan riset untuk memperkaya cerita dan proses penulis hingga tamat.
Berapa lama proses
menulisnya?
Proses menulis novel ini hingga naskah tamat sekitar 6 bulan. Setelah naskah disubmit ke editor penerbit, penulis masih menunggu proses revisi dan naik cetak sekitar 1 tahun kemudian.
Apa saja hambatan selama menulis?
Hambatan yang paling terasa adalah ketersediaan waktu yang terbatas, karena hanya bisa menulis di luar jam kerja dan saat libur. Hambatan lain adalah menyempurnakan setting, alur dan plot cerita yang cukup memakan waktu lama.
Penggunaan bahasa Melayu yang dapat diterima oleh pembaca juga cukup menantang karena terdapat perbedaan logat dan dialek dengan bahasa Melayu yang digunakan oleh penulis. Menentukan ending cerita yang sesuai ekpektasi penulis dan pembaca nantinya juga menjadi tantangan tersendiri.
Bagaimana membagi waktu antara menulis novel dengan pekerjaan sehari-hari?
Menulis
naskah saya lakukan saat di luar jam kerja, yaitu setelah salat Subuh sebelum
berangkat kerja, atau setelah pulang kerja di atas jam 10 malam. Waktu menulis
lainnya adalah saat hari
libur, sehingga saya bisa fokus menulis paling tidak 2-3 jam dengan target
tertentu, misal harus selesai satu bab. Selama jam kerja saya juga sempat
melakukan penulisan yaitu pada saat jam istirahat, dengan jumlah kata yang juga
terbatas. Jadi dengan proses penulisan ini, tidak sepenuhnya mengganggu
pekerjaan utama saya.
![]() |
Versi digital Kemarau di Sedanau (Dok. IG/@asroruddinzoechni) |
Kenapa Cerita Salman dibikin
open ending?
Iya, betul sekali novel ini dibuat dengan open ending, untuk memberi kesempatan bagi penulisan buku kedua. Sebetulnya buku pertama ini memang sudah dibuat sampai selesai (tamat), namun saya tahan dulu ending akhirnya, karena bisa nanti terlalu panjang untuk sebuah buku.