Cari Blog Ini

Selasa, 12 Februari 2019

5 Fungsi Unik Uang Koin yang Penting Kamu Ketahui




Oleh : Gita FU

"Ya ampun! Duitku receh semua! Bikin berat dompet aja, ih! Tuker uang kertas, ah!"

Pernah mengalami hal di atas? Rasanya malu karena duit koin semua, berasa habis mbobol celengan? Duh, kasian.
Padahal ya, andai kalian tahu betapa uang koin  recehan  100-an, 200-an, 500-an, atau 1000-an itu berguna bangeets. Mulai dari bayar parkir, nggenepin uang belanja, hingga ngisi dompet ketimbang kosong. Ya 'kan?
Bahkan uang koin itu punya 5 fungsi unik, gaes! Mau tahu? Ini dia:

1. Kerokan

Dok. Mila Maliki on twitter

Pernah masuk angin? Itu, lho, kondisi di mana badan terasa meriang, panas dingin. Kalau kata orang Jawa, nggreges! Terjadi karena tubuh kita kurang fit sehingga daya tahan tubuh menurun. Atau akibat kelelahan.

Biasanya masuk angin  sembuh setelah badan dikeroki. Yup, kerokan. Bersenjatakan sebuah koin dan balsem/minyak kayu putih/baby oil sebagai pelicin, lalu dikerokkan pada punggung, leher, dada dengan pola mirip tulang ikan, hingga kulit berwarna merah tua. Setelah itu serdawa panjang atau kentut pun keluar, menandai keluarnya angin dari tubuh. Hasilnya? Tubuh berasa enteng lagi!

2. Koleksi

Koin Rp 1000 edisi 1996. Dokpri.

Secara berkala BI menerbitkan koin logam dan uang kertas dengan desain baru. Hal ini menyebabkan edisi yang lama tak beredar lagi. Namun beberapa edisi koin logam lawas desainnya nampol di hati. Meskipun tak berlaku lagi sebagai alat tukar, koin-koin itu tetap disimpan menjadi koleksi.

Contohnya gambar di atas. Edisi tahun 1996 itu apik, gambarnya kelapa sawit, pun logamnya tebal. Ada, lho, kolektor yang mau menghargai mahal belasan hingga puluhan ribu rupiah untuk sebuah koin saja. Menciptakan peluang bisnis baru 'kan?

3. Hantaran pernikahan

Contoh desain mahar pernikahan dengan koin logam.

Namanya kreativitas itu nyaris tak terbatas. Manusia dengan akal budinya mampu menciptakan aneka benda dari bahan-bahan, yang bahkan tadinya tak terbayangkan bisa diolah lagi. Contohnya desainer hantaran pernikahan, mereka telah mampu membuat tampilan yang nyeni dari susunan uang koin. Dan itu semua bisa disesuaikan selera pemesan. Tentunya jasa mereka pantas dihargai tinggi. Peluang bisnis lagi, kan?

4. Membayar jimpitan ronda

Koin 500 untuk membayar jimpitan ronda tiap malam.  Sumber: estudong.com

Di tempat saya ada tradisi jimpitan uang ronda. Apa 'tuh? Itu iuran harian dari rumah ke rumah dalam satu RT, sebesar 500 rupiah. Biar lebih gampang bagi petugas pengambil jimpitan, si pemilik rumah akan membuat wadah dari gelas atau botol plastik, lalu dicantolkan di dinding luar rumah, dan diisi uang koin.

Biasanya uang jimpitan bakal digunakan untuk keperluan bersama, misal perayaan 17 Agustus. Bagaimana di tempatmu, gaes? Ada tidak jimpitan semacam ini?


5. Buat sawuran

Isi sawuran. Sumber: deskgram.net

Sawuran berasal dari bahasa Jawa, artinya menyebar.  Apa yang disebar? Umumnya, sih, beras kuning (ditumbuk bersama kunir), kembang mawar, kenanga, irisan pandan, dan uang logam mulai dari 100-an hingga 1000-an.  Menurut kepercayaan gunanya sawuran ialah buang sebal, atau tolak bala. Sawuran dilakukan di jalan atau di sekitar rumah.

Di Jawa tradisi sawuran dilakukan untuk beberapa ritual. Misal: upacara tedak siti, saat bayi belajar jalan pertama kalinya; dan mengiring jenazah dari rumah duka hingga ke kuburan. Oh iya, uang sawuran pengiring jenazah itu biasanya jadi rebutan anak-anak setempat, lho! Meski kadang berbahaya karena uang itu menggelinding di pinggir jalan raya, namanya anak-anak nggak peduli--yang penting dapat duit jajan. Saat itulah orang dewasa kudu waspada dan ikut mengingatkan mereka.

Nah, bagaimana, gaes? Unik-unik bukan? Makanya jangan sepelekan uang receh begitu saja. Karena di balik nilainya yang terkesan kecil, ada fakta luar biasa! Semoga menginspirasi, ya. Salam! (*)

Cilacap, 120219 (finish)

Senin, 11 Februari 2019

Cah Pesisir Cilacap: Gerakan Literasi untuk Anak



Oleh : Gita FU

Tanggal 18 Desember 2018 lalu empat orang gadis--Uyi, Winda, Ella, dan Tiara--sepakat memulai sebuah gerakan literasi di kota Cilacap. Berbeda dari kebanyakan gerakan atau komunitas literasi lainnya, mereka memfokuskan diri pada dunia anak-anak. Karena bukankah kebiasaan baik itu sebaiknya dimulai sejak dini?

Selanjutnya bergulirlah kegiatan mereka, tiap akhir pekan berlokasi di RTH Jl. Dr. Sutomo, Cilacap. Tempat ini memang cocok sebagai panggung karena banyak keluarga muda datang berkunjung. Saya sendiri menyebutnya sebagai Taman Rumah Kreatif, dan pernah mengulasnya di sini.

Nah, Alhamdulillah pada hari Ahad sore tanggal 10 Februari kemarin saya dan duo HanHan berkesempatan mengunjungi lapak Cah Pesisir ini. Kebetulan mereka sedang berkolaborasi dengan lapak Mengkaji Pustaka; menjadikan RTH makin semarak.

Awalnya duo HanHan masih canggung, "Ini mau ngapain, ya?" Syukurlah tak lama datang Sulis, seorang relawan Cah Pesisir, yang sigap menarik Hanna mengikuti aneka kegiatan. Sementara Farhan minta ditemani mencari buku bacaan.  Dari apa yang saya saksikan, inilah konsep kegiatan Cah Pesisir Cilacap:

1. Lapak baca

Kru Perpusda Cilacap dan Cah Pesisir Cilacap berfoto di depan mobil Perpustakaan Keliling. Dok. Instagram @cahpesisir.clp


Beralaskan tikar, digelarlah buku-buku bacaan anak. Ada seri KKPK, cergam, komik, ensiklopedi bergambar. Anak-anak bebas duduk selonjor sambil membaca. Orang tuanya bagaimana? Ikut baca boleh, hanya duduk mendampingi pun oke. Oh iya, untuk lapak baca ini mereka mendapat dukungan dari mobil Perpustakaan Keliling milik Perpusda Cilacap. Mantap, kan?

2. Mewarnai

Mewarnai-Cah-Pesisir-Cilacap
Mewarnai gambar dua dimensi. Dokpri. 

Sebagian besar anak-anak tentu suka mewarnai. Maka Cah Pesisir memfasilitasi dengan kertas gambar, aneka pewarna, dan pendampingan. Asyiklah anak-anak tersebut mewarnai gambar mereka.

3. Panggung Dongeng

Seorang relawan tengah mendongeng. Dok: @mengkaji_pustaka

Mendengarkan dongeng adalah kegiatan mengasyikkan. Apalagi jika Kakak pendongeng pintar membawakan cerita. Itulah yang dilakukan relawan Cah Pesisir ini, sebuah dedikasi yang patut diapresiasi!

4. Dolanan Anak
Cah Pesisir Cilacap memfasilitasi beberapa dolanan anak, antara lain:  bola bekel, congklak, ular tangga, Lego, alat musik tradisional, lompat tali, monopoli, dan scrabble. Kesemuanya menarik perhatian anak-anak, sehingga mereka sejenak teralihkan dari gawai.

Main Lego, maracas, dan boneka tangan. Dokpri.


Main congklak. Dokpri.



Main scrabble. Dokpri.
5. Kelompok Belajar, Minat dan Bakat Kegiatan ini baru akan dilaksanakan pad tanggal  17 Februari mendatang di kampung pesisir pantai Teluk penyu. Tujuan dari kelompok belajar adalah  membantu kesulitan anak-anak akan pelajaran di sekolah. Sedangkan pengembangan minat dan bakat untuk sementara difokuskan pada kegiatan menggambar.

Tentunya untuk dapat menjalankan seluruh kegiatan tersebut diperlukan bantuan tenaga. Oleh karenanya semenjak  tanggal 26 Januari lalu, Cah Pesisir Cilacap telah menerima 16 relawan baru. Mereka ini bergabung atas dasar kesediaannya berbuat yang terbaik bagi dunia literasi anak.

Sementara itu yang namanya usaha tentu saja ada hambatan alias rintangan. Menurut Tiara hambatan tersebut ialah: masih minimnya koleksi buku-buku cerita anak, dan belum solidnya komitmen dari para relawan baru. Namun seiring berjalannya proses, mudah-mudahan semua itu teratasi. Sehingga harapan Cah Pesisir untuk menjadi rumah yang nyaman bagi anak-anak mengenal literasi dan mengasah minat bakat anak pesisir Cilacap, dapat terealisasi. Aamiin.

Bagi teman-teman yang tertarik ingin berinteraksi langsung dengan gerakan ini, silakan buka profil Instagram mereka: @cahpesisir.clp.

Demikian perkenalan singkat kita dengan Cah Pesisir Cilacap. Semoga menginspirasi dan bermanfaat. Salam!

Cilacap, 110219

Jumat, 08 Februari 2019

[Ragam] Tiga Tanaman Pereda Panas Bayi



Oleh: Gita FU

Saat anak sakit panas adalah saat drama bagi saya--Yeah, b/c i'm  a drama queen, beibeh! Karena jika anak demam biasanya dia akan rewel, susah tidur nyenyak, makan jadi nggak selera; apalagi  masih bayi, maunya digendong mulu.  Akibatnya siklus rutin jadi geser, ya 'kaan? Beberes rumah nggak sempat, masak nggak keburu, apalagi mandi--wih, boro-boro, dah! Lain soal jika ada yang membantu di rumah. So pasti masih bisa geraklah.

Nah, kali ini saya ingin berbagi pengalaman pribadi dalam menggunakan obat tradisional untuk meredakan panas bayi. Lha, memang ada obat tradisional pereda panas? Ada, dong! Lho, memangnya obat dari dokter nggak cukup? Bukan perkara cukup atau nggak, sih. Tapi lebih ke ikhtiar sebagai orang tua. Sepanjang aman dan berefek positif kenapa nggak, ya kan?

Mau tahu lebih lanjut? Yuk, simak. Inilah dia tiga tanaman pereda panas  bayi:

1. Jeruk Bayi

Jeruk bayi
Jeruk bayi/jeruk nipis Jawa. Dok: www.kangmulyono.com

Buah ini kerap menimbulkan kebingungan, "Lho, itu sama saja dengan jeruk nipis, 'kan?"
Hehe, jawabnya: mereka memang sama-sama jeruk. Dezigh! Aww!

Oke, begini. Singkat cerita jeruk bayi dan jeruk nipis masih satu marga, namun berbeda penampilan. Jeruk bayi berbentuk bulat, bobot lebih ringan. Jika diperas kandungan air lebih banyak, dan aroma lebih wangi. Sedangkan jeruk nipis bentuknya tidak bulat, melainkan cenderung lonjong. Bobotnya lebih berat, namun kandungan air serta aroma kalah jauh dengan jeruk bayi.
Jelas, ya? Kalau bingung terus, silakan berdayakan Mbah Gugel, ya.

Jeruk bayi memiliki banyak khasiat, misalnya meredakan batuk, menghilangkan jerawat, dan meredakan panas alias demam. Saya akan bahas untuk yang terakhir itu.

Bagaimana cara menggunakan jeruk bayi sebagai pereda demam? Ambil sebutir jeruk, potong empat bagian, peras airnya lalu campurkan ke parutan bawang merah. Selanjutnya? Balurkan merata ke tubuh bayi. Jangan lupa sambil dipijat-pijat lembut. Lakukan sehari dua kali, insyaallah demam segera reda.

2. Bawang Merah

Tanaman bumbu bawang merah
Bawang merah

Hmmm, ini dia tanaman bumbu serba guna dari dapur kita. Khasiatnya sebagai obat antara lain: meredakan flu, dan meredakan demam. Bagaimana caranya? Kupas dan cuci satu hingga dua siung bawang, parut hingga lembut, campurkan dengan sedikit minyak telon dan baby oil. Selanjutnya balurkan merata ke seluruh tubuh bayi, sambil dipijat-pijat lembut. Mantap juga dikombinasikan dengan air jeruk bayi seperti disebutkan di atas. Lakukan sesuai kebutuhan tubuh bayi. Namun sepengalaman saya, baru sekali digunakan pun langsung kelihatan khasiatnya, insyaallah.

3. Burus Kecombrang

Bagan tanaman Kecombrang. Sumber: Wikipedia.

Tahu Kecombrang? Nama lainnya Honje. Bunganya yang merah dan berkelopak panjang kerap dicampurkan ke dalam masakan urapan. Sedangkan bagian tanaman yang digunakan sebagai obat ialah pangkal batang, yang mirip dengan kamijara/sereh, dan berwarna merah muda. Orang Banyumas menyebutnya burus Kecombrang.

Cara menggunakannya cukup mudah. Pangkal batang/burus dipotong-potong, dikupas, lalu dicuci bersih. Setelah itu diparut hingga lumat, peras airnya. Nah, airnya ini yang diminumkan ke penderita demam. Untuk bayi ya dua hingga tiga kali tiga sendok teh sehari. Rasanya tawar cenderung getir, dan airnya berwarna cokelat kemerahan. Oh iya, ampasnya bisa dibalurkan ke tubuh bayi. Insyaallah cespleng, berdasarkan pengalaman banyak anak.



Burus-dipotong-potong
Burus Kecombrang sedang dipotong-potong sebelum digunakan. Dokpri.

Tiga tanaman di atas saya rasa masih mudah didapat di sekitar kita, sehingga mudah dipraktekkan. Demikianlah pengalaman yang dapat saya bagikan, semoga bermanfaat dan menginspirasi. Salam! (*)
Cilacap, 080219



Senin, 04 Februari 2019

[Ragam] Mari Mengkaji Pustaka


Oleh: Gita FU

Hari Minggu tanggal 3 Februari, kami sekeluarga pergi refreshing murah meriah ke pantai Teluk Penyu. Setelah anak-anak puas bermain, suami mengajak pulang. Tapi saya berhasil membujuknya untuk tinggal lebih lama. Ada satu tujuan lagi yang ingin saya tunjukkan, terutama pada Farhan dan Hanna. Yaitu sebuah lapak komunitas literasi di Cilacap: Mengkaji Pustaka.

Nama yang unik ini sempat menimbulkan tanda tanya di benak saya, komunitas apakah gerangan? Ternyata setelah dekat barulah kami tahu, itu adalah perpustakaan jalanan. Mengambil lokasi di pinggir lapangan voli pantai, kami melihat buku-buku digelar di atas tikar. Sebagian besar buku sastra, sisanya novel populer, komik, dan buku cerita anak. Jika melihat sekilas orang-orang bakal mengira buku-buku itu dijual. Namun sebuah banner yang berdiri tegak di sebelah lapak menegaskan, 'Silahkan Baca Buku! Gratis!'.

Saya pun berkenalan dengan dua penjaga lapak, Mas Nevvin dan Mbak Fitri. Mas Nevvin bilang, mereka menggelar lapak sejak pukul 07.30. Lapak akan ditutup saat dirasa kondisi sudah tidak kondusif. Saya menyimpulkan, mungkin maksudnya pengunjung sepi, atau turun hujan, atau cuaca terik membara, atau semut merah menyerang, eh. Yang terakhir itu benar, loh! Di bawah lapak mereka banyak ditemukan lobang-lobang sarang semut merah--gigitannya terasa panas dan perih!


Mengkaji Pustaka
Hanna sedang membaca salah satu novel anak.


Sementara Farhan, Hanna, dan suami membaca buku pilihan masing-masing, saya mengobrol bergantian dengan Mas Nevvin dan Mbak Fitri. Saya penasaran ingin tahu lebih banyak tentang komunitas ini.

Selayang Pandang Mengkaji Pustaka

Semua dimulai dari keresahan dan kegelisahan Mas Nevvin dan Mas Trias. Dua pemuda ini pernah merasakan kedekatan dengan kehidupan jalanan. Sehingga mereka berpendapat betapa pentingnya arti pendidikan untuk semua kalangan. Pendidikan yang bertujuan meraup ilmu pengetahuan bukan hanya di sekolah formal, melainkan di mana saja. Dapat menjangkau siapa saja tanpa sekat usia, status sosial, suku, agama, ras, dan pilihan politik (ehem!). Maka mereka pun merumuskan ide pembentukan komunitas berbasis literasi. Sebuah perpustakaan dengan konsep terbuka  tak perlu ruangan formal, alias berdiri di ruang publik, resmi beroperasi sejak 23 Juni 2017.

Kenapa dinamakan Mengkaji Pustaka? Karena menurut mereka, bacaan apapun yang kita dapat hendaknya dikaji lebih lanjut, agar manfaatnya maksimal bagi pengembangan diri sendiri, dan lingkungan. Buku-buku koleksi mereka awalnya berasal dari koleksi pribadi. Seiring waktu, mereka mendapatkan tambahan koleksi dari donasi perseorangan, maupun sekolah dan komunitas lain. Sehingga pilihan bacaannya kini variatif.

Pada awalnya rutinitas menggelar lapak baca jatuh pada malam Minggu. Namun menurut Mas Nevvin, lama kelamaan jadwal semacam ini malah membuat mereka tidak fleksibel. Sehingga kini gelar lapak bisa juga di hari lain. Yang penting sebelum kegiatan mereka pastikan untuk mempublikasikan flyer lewat media sosial, dan belakangan di forum literasi Cilacap.


Foto kegiatan diambil dari akun Instagram komunitas ini.


Tempat untuk menggelar lapak pun berganti-ganti, melihat situasi dan kondisi. Walaupun demikian, ada tiga tempat yang sering mereka pakai; yaitu: pinggir lapangan voli pantai di Teluk Penyu, di bawah pohon beringin samping lapas alun-alun Cilacap, dan di samping pos Halilintar alun-alun Cilacap/ berseberangan dengan toko Laris.

Selama berkegiatan Mas Nevvin menyatakan ada beberapa kendala yang mereka hadapi. Antara lain: terbatasnya ruang publik untuk area membaca, dan rendahnya kesadaran literasi masyarakat; buku yang mereka gelar sering dikira untuk diperjualbelikan, padahal sudah ada keterangan pada banner. Ya, begitulah Mas, i feel you untuk kendala yang satu itu.

Selain mengobrol dengan Mas Nevvin, saya sempat bercakap-cakap dengan mbak Fitri yang imut. Menurutnya, jumlah relawan Mengkaji Pustaka yang on the spot tidak bisa dipastikan. Hal tersebut disebabkan sebagian besar adalah anak kuliah, atau karyawan tetap. Dirinya sendiri  baru bisa membantu ketika sedang libur kuliah dari kampusnya di IKJ. Wow, luar biasa. Berarti dedikasi Mas Nevvin dan Mas Trias sungguh kuat, ya! Terbayang waktu, dan tenaga yang harus dicurahkan demi terus berjalannya komunitas.

Di akhir obrolan saya dan anak-anak meminjam tiga buku untuk dibaca di rumah. Sebab  belum selesai baca di tempat, gerimis mulai menitik, sehingga mau tak mau kami harus segera pulang. Oh iya, kegiatan komunitas ini bisa diikuti melalui FB: Mengkaji Pustaka, dan Instagram: @mengkaji_pustaka.

Demikianlah perkenalan kita dengan salah satu komunitas literasi di Cilacap. Sampai jumpa di liputan berikutnya. Salam! (*)


Cilacap, 040219



Jumat, 01 Februari 2019

[Review] Psikosis Post Partum yang Mengerikan


Oleh: Gita FU

Judul.       :  Mama
Penulis    : Wulan Mulya Pratiwi dan  Erby S.
Penerbit  : Elex Media Komputindo
Terbit.      : 2018
Tebal.       : ix+144 hlm.
ISBN         : 978-602-04-5519-8

Well, tempo hari sebuah paket diantar oleh Mas Kurir JNE. Dengan heran saya menerima dan menandatangani resi digital yang disodorkan. Paket buku dari siapa, ya? Pikir saya.

Pertanyaan saya langsung terjawab begitu membaca nama pengirim. Oalaaah, ini dari Jeng Arwen di Bekasi, sebagai reward kerajinan dari AHAD BLOK-ING. Alhamdulillah, thanks ya, Jeng!

Menilik kaver dan blurb-nya, ini seperti novel horor. Anak saya si Farhan langsung mendelik, meminta saya menyingkirkan buku ini. Hohoho, maklum, dia parno sama cerita horor. Sementara Hanna bertanya penasaran, itu, sih, gambarnya orang lagi ngapain? Bhahahahaha. Hadeeeh!

Sebelum saya ulas isi novel, kalian tahu film Pihu yang sedang booming itu? Kalau belum tahu bacalah ulasan dari teman saya Sabrina di blog-nya. Lha, memang ada hubungannya? Ada dikit. Sama-sama mempunyai benang merah: wanita depresi. Cuman di novel ini disebutkan spesifik namanya, yakni Psikosis Post Partum. Wah, apakah itu?

Jadi Psikosis Post Partum itu adalah bentuk kelainan psikiatri yang terparah dalam tingkatan Post Partum blues. Biasanya terjadi dalam tiga bulan pertama setelah ibu melahirkan. Ibu dengan Psikosis yang parah bahkan bisa melukai diri sendiri, membunuh anak-anaknya, dan mengancam nyawa orang lain (hal. 136). Wew, kok, serem, ya? Memang seram. Dan keseraman itulah yang menimpa Mala.

 Dalam novel ini dikisahkan Mala dan Galih pasutri muda yang tengah bahagia. Galih sukses secara finansial, ditandai berhasil membeli rumah mewah sebagai kado istri. Selanjutnya Mala hamil, menambah kebahagiaan mereka. Saat sedang semangat mempersiapkan kedatangan bayi, ujian mulai menerpa. Rupanya kehamilan Maka bermasalah. Dia menderita tekanan darah tinggi yang beresiko terjadinya eklampsia. Disusul kehadiran ibunya Galih, alias ibu mertua Mala. Bu Retno ini wanita berpikiran sempit. Selalu menekan Mala untuk berperilaku sesuai standar dirinya. Setiap ada kesempatan dia menjelek-jelekkan Mala. Celakanya Galih tak bisa menengahi konflik. Akibatnya Mala jadi korban perasaan. Sampai di sini terasa mirip sinetron, ya? *Putar bola mata*.

Kemudian Mala melahirkan lewat operasi Caesar. Ya ampun, itu ibu mertua bukannya mendoakan malah menyalahkan Mala yang dianggapnya manja. *Pengen ngemilin*. Setelah pulang ke rumah bersama bayi mereka, tentu saja Mala butuh dukungan fisik dan psikis. Apalagi namanya pasca operasi itu pasti sakit dan harus jaga kondisi badan. Eh, tapi si Galih malah langsung tancap gas kerja lagi. Dia meninggalkan istrinya hanya bersama ibunya. Dikiranya sang ibu pasti bisa merawat Mala karena sudah berpengalaman. Mana dia tahu bahwa ternyata istrinya langsung disuruh kerjain urusan rumah dan urus bayi. Sama sekali nggak peduli sama kondisi pasca Caesar. *Menghela napas panjang*.

Suatu hari bayinya sakit demam. Mala yang sudah kelelahan ya fisik dan psikis, tak bisa berpikir jernih lagi. Mana ibu mertuanya cuma menyalahkan saja kerjanya. Terjadilah tragedi itu. Tanpa Mala sadari, dalam upaya menenangkan bayi yang rewel, dia menutup jalan napas putri kecilnya sendiri. Akibatnya bayi mungil itu pun meninggal dunia.

Seakan baru permulaan mimpi buruk, dalam kondisi down Mala masih saja menanggung tuduhan ibu mertua. Ke mana Galih? Dia sedih luar biasa tapi memilih melarikan diri ke pekerjaan, dan meninggalkan Mala sendirian. Nah, mulailah depresi Mala berlanjut menjadi delusi serta halusinasi. Akhirnya dia melakukan serangkaian kegiatan kriminal mengerikan, tanpa menyadari akibatnya kelak.

Penulis novel ini memang ingin menunjukkan pada kita, betapa kondisi pasca melahirkan itu berat untuk ditanggung sendiri oleh si ibu. Diperlukan adanya dukungan moril dari keluarga terdekat, utamanya kasih sayang suami. Tujuannya tentu saja agar kondisi mental si ibu kembali pulih. Hormon yang sempat labil kembali stabil. Bayi pun sehat, dan gembira.

Mengingat latar pendidikan Wulan Mulya Pratiwi berasal dari kebidanan, tak heran ada artikel tambahan di bagian penutup. Kita jadi tahu apa saja masalah mental yang kerap dialami ibu pasca melahirkan. Apa saja tanda-tandanya, bagaimana menanganinya, disertai sumber rujukan.

Tapiii tetap saja ada kekurangannya, ya. Karena tak ada kesempurnaan di dunia fana ini, bukan? Nah, apalagi kekurangan ini cukup menyolok. Apakah itu? Yaitu:
1. Kalimat-kalimatnya cenderung terlalu berbunga-bunga; tidak tedas dan tegas ke inti masalah.
2. Novel ini maaf saja, seperti tidak melalui korektor naskah. Seolah-olah langsung terbit saja. Karena saya menjumpai banyaknya kesalahan EYD, huruf kapital, tanda baca. Ya ampun, my eyes!

Jadi secara keseluruhan saya beri skor 2/5. Sisanya kembali ke selera pembaca. Demikian review saya kali ini. Semoga bermanfaat. Salam bahagia. (*)

Cilacap, 010219