![]() |
| Setyo Wardoyo saat gelar wicara di acara Jumpa Penulis Novel Ratu Kalinyamat (Foto: dokpri/GFU) |
Oleh: Gita FU
Cilacap,
kopidarigita.com—Sobat, siapa nama tokoh wanita dalam sejarah Nusantara
yang sudah kalian ketahui? Mungkin sebagian besar jawabannya adalah RA.
Kartini, Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, atau Kristina Marta
Tiahahu. Semuanya tak salah. Namun jika kita mundur kembali ke masa kerajaan,
ada banyak nama gemilang yang mungkin jarang mencuat di pelajaran sejarah
sekolah. Sebut saja Laksamana Keumalahayati dari Aceh, Ratu Shima dari
Kalingga, Tribhuwana Tunggadewi dari Majapahit, dan Ratu Kalinyamat dari Jepara.
Patut disyukuri, studi sejarah terbaru telah berhasil
mengulik nama-nama tersebut beserta peranan masing-masing. Bahkan kisah Ratu
Kalinyamat diangkat ke dalam novel fiksi sejarah berjudul sama. Penulisnya
adalah Setyo Wardoyo, yang sebelumnya sukses pula menulis novel berjudul The
Rise of Majapahit.
Nah, pada hari Kamis, 30 Oktober 2025 lalu saya
berkesempatan mengikuti acara Jumpa Penulis Novel Fiksi Sejarah “Ratu
Kalinyamat” Setyo Wardoyo, di Hall Anggraeni Hotel Sindoro, Cilacap. Acara
tersebut diselenggarakan oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten
Cilacap, sebagai satu rangkaian dengan Penutupan Pameran Literasi yang telah digelar
sejak 28-30 Oktober 2025. Tentunya hal ini
adalah suatu pengalaman berharga bagi saya.
Oh iya, Sobat, sebelum sesi gelar wicara dimulai kami
disuguhi penampilan luar biasa dari Keylha Hasna Aulia yang menyanyikan “Jepara
1574”, dan Dyah Gayatri Kusumarini yang membacakan puisi “Jepara 1574”. Asli,
penampilan mereka bikin terpukau, lho.
Setelah itu tibalah saat yang ditunggu. Setyo Wardoyo,
lelaki alumni SMAN 1 Cilacap yang punya sapaan akrab Yoyo, memaparkan secara
sistematis proses di balik layar penulisan novel Ratu Kalinyamat. Ia bilang
latar belakang memilih tokoh perempuan, antara lain guna melengkapi dan
mengenalkan sosok tokoh utama kepada khalayak. Ratu Kalinyamat sendiri adalah
putri Sultan Trenggono. Ia hidup di Jepara di abad 16, di masa kedatangan
Portugis ke Nusantara. Nama aslinya, Ratu Mas Ayu Ratna Kencana.
Setyo mengungkapkan ia ingin mengangkat peran perempuan dalam
sejarah. Selain itu ia juga menyoroti situasi maritim kala itu, serta mengangkat budaya
lokal.
Mengingat genre novelnya adalah fiksi sejarah maka Setyo
menggunakan beberapa metode penulisan. Pertama, metode riset pustaka sehingga
ia menemukan empat sumber primer dari Portugis, referensi dari Forum Diskusi
Denpasar 12 yang digagas Lestari Moerdijat (wakil Ketua MPR RI), dan laporan
Riset Penelitan Empiris Ratu Kalinyamat.
Kemudian ia juga bertemu narasumber yang memiliki
keterkaitan dengan sejarah lokal, termasuk
menemui kuncen, demi menggali cerita-cerita lisan yang belum didokumentasikan
dalam bentuk arsip. Setelah merasa mendapat cukup bahan barulah ia mulai
menulis.
Fyi Sobat, novel
Ratu Kalinyamat karya Setyo Wardoyo telah diterbitkan oeh Grasindo, Desember
2024 lalu. Tebal novelnya adalah 496 halaman. Wajar tebal, ya, mengingat genre
yang diusung kisah ini.
Peran Ratu Kalinyamat
![]() |
| Cover Novel Ratu Kalinyamat (Foto: Grasindo) |
Menurut data dan fakta sejarah yang saya baca di Laporan
Hasil Penelitian Empiris Ratu Kalinyamat,
diterbitkan oleh MPR-RI, 2025, Ratu Kalinyamat adalah sosok pemimpin perempuan pertama yang mencetuskan anti-kolonialisme terhadap
Portugis di abad XIV. Ia sosok yang tangguh, bermental baja, dan amat berpihak
kepada rakyatnya.
Bayangkan, sang ratu meneruskan tampuk kepemimpinan setelah
suaminya Pangeran Hadiri tewas dibunuh Arya Penangsang, penguasa Blitar yang
ingin merebut kekuasaan di Demak. Bukannya goyah setelah kematian tragis
suaminya, ia malah berhasil menegakkan marwahnya. Terutama setelah akhirnya
Arya Penangsang mati di tangan Jaka Tingkir atau Hadiwijaya. Ratu Kalinyamat mendedikasikan
hidup untuk kemajuan Jepara.
Di samping itu, Ratu Kalinyamat adalah diplomat unggul.
Berkat diplomasinya, ia berhasil membentuk poros maritim dengan kesultanan lain
(Aceh, Cirebon, Hitu). Poros inilah yang berhasil merepotkan Portugis dengan
empat kali serangannya. Serangan pertama pada 1551, ia mengirimkan pasukan ke
Malaka, atas permintaan Kerajaan Aceh.
Serangan kedua, pada 1564, ia mengirimkan pasukan ke Teluk
Ambe, atas permintaan Sultan Ternate.
Tujuannya guna menangkal upaya pendudukan Portugis.
Ketiga pada 1565, Ratu kembali mengirimkan pasukan ke
wilayah Ambon. Kali ini atas permintaan Sultan Hitu, untuk melawan hegemoni
Portugis terhadap sumber-sumber ekonomi, dan pelabuhan.
Keempat, pada 1574, ia secara mandiri mengirimkan 15 ribu
pasukan dan 30 jung besar ke Malaka untuk menyerang Portugis. Ke empat serangan
ini tergambar dalam buku-buku primer yang terbit di Portugis.
Atas keberanian, dan
kepandaiannya ini pihak Portugis pun menaruh rasa hormat kepadanya. Ratu
Kalinyamat diberi julukan Rainha de
Japora, Senhora Poderosa e rica. Artinya, Ratu Jepara, seorang wanita kaya dan
sangat berkuasa.
Seni ukir Jepara pun maju pesat di bawah kepemimpinan sang
Ratu. Demikian pula pelabuhan jepara kala itu menjadi besar, dan memegang peran
strategis dalam perdagangan lintas kerajaan.
Semua sepak terjang tersebut benar-benar pantas diteladani
oleh bangsa Indonesia saat ini. Ratu Kalinyamat telah mencontohkan semangat dan
patriotisme, sekaligus kecerdikan, dan pandangan visioner. Ia pantas dijadikan
salah satu pahlawan nasional kita, bukan?
Demikianlah Sobat, sedikit catatan pinggir terkait
pengalaman saya mengikuti Jumpa Penulis Setyo Wardoyo. Ups, hampir lupa. Menjelang
akhir sesi gelar wicara, Setyo sempat membocorkan novel berikutnya bakal
mengangkat kisah kepahlawanan dari Cilacap. Wow, tak sabar menunggu hasilnya
kelak.
Sampai jumpa di artikel selanjutnya, Sobat!

