Cari Blog Ini

Minggu, 18 Mei 2025

Di Balik Layar Kemarau di Sedanau


Asroruddin Zoechni
Asroruddin Zoechni dan Kemarau di Sedanau (dok. IG/@asroruddinzoechni)

Oleh: Gita FU

Cilacap, kopidarigita.com--Halo, Sobat! Tanggal 17 Mei diperingati sebagai hari buku nasional. Tentunya  ini bukan sekadar seremonial tahunan, ya. Sebab menurutku ada semangat gemar membaca yang perlu diperbarui oleh kita semua. Tak hanya kalangan pelajar, melainkan meluas ke masyarakat umum, hingga kalangan pejabat di atas sana. Jika kegiatan membaca berhasil menjadi budaya, aku yakin itu bisa mengubah banyak hal di diri kita.

Nah, masih dalam semangat perayaan hari buku, aku mau membahas salah satu novel bertema kedokteran berjudul Kemarau di Sedanau. Ini bukan sekadar novel medis biasa, loh, karena ternyata setelah kubaca novel setebal 317 halaman tersebut juga mengangkat tema kesehatan mental, perjuangan meraih mimpi, hingga spiritual. Ulasannya bisa kamu baca di beberapa tempat seperti Goodreads,  Yoursay (ada tulisanku juga di sana), ataupun media sosial seperti Instagram. Pokoknya, novel ini kudu masuk daftar bacaan pembaca usia 15+.

Oh iya, sebelumnya sebagai informasi bagi sobat. Sedanau yang menjadi judul novel adalah nama salah satu kota di Kabupaten Natuna, Provinsi Riau Kepulauan. Pemandangan lautnya cakep, kalian boleh cek di Google. Mata pencaharian penduduk sebagian besar masih tergantung dari hasil laut. Namun, fasilitas kesehatan dan pendidikan tinggi belum merata di sana.

Pemandangan di pelabuhan Natuna (dok. IG/@asroruddinzoechni)

Menariknya, yang nulis novel ini adalah  dokter spesialis mata, yakni Asroruddin Zoechni. So, narasi dunia medisnya  tak perlu diragukan keabsahannya. Dokter asal Kalimantan Barat ini termasuk piawai merangkai kata, sehingga novelnya terasa enak dan mengalir. Kok, bisa, ya? Karena penasaran itulah beberapa waktu lalu aku melakukan wawancara via telepon, untuk mengulik kisah di balik layar penulisan novel Kemarau di Sedanau.

Berikut ini rangkuman wawancara kami. Selamat menyimak.

Kenapa memilih latar Sedanau?

Awalnya secara tidak sengaja saya menemukan latar Sedanau ini. Pada awalnya saya hanya ingin menulis tentang perjuangan mahasiswa kedokteran yang berasal dari Kabupaten Natuna di UNTAN yang sudah berlangsung sejak 2006. Banyak cerita yang sudah saya siapkan dari hasil pengamatan saya sebagai dosen sejauh ini.

Nah, latar Sedanau ini menjadi menarik karena saya mendapatkan narasumber yang berasal dari Sedanau dan Kota Ranai, yang bersedia menceritakan kehidupannya. Dan saya tahu bahwa latar Sedanau sangat menarik untuk diangkat dalam bentuk tulisan panjang.

Dari mana idenya? 

Ide menulis ini dari pengalaman sehari-hari mahasiswa kedokteran secara umum, terutama mahasiswa kedokteran UNTAN. Proses penerimaan mahasiswa kedokteran yang rumit menjadi ide awal cerita, kemudian dikembangkan menjadi cerita yang lebih panjang, mulai dari diterima kuliah hingga mendapat gelar dokter.

Selama menjalani masa pendidikan, semua hal atau konflik-konflik yang terkait kehidupan mahasiswa atau tokoh tersebut, masuk dalam unsur cerita. Konfliknya termasuk tentang biaya hidup, akademik, pertemanan, konflik batin tokoh, percintaan, hubungan sosial, keluarga, dan orang tua.

Berapa lama risetnya?

Riset saya lakukan sekitar 6 bulan, lalu mulai menulis secara aktif. Selama proses penulisan yang berlangsung sekitar 6 bulan juga, masih terus melakukan riset untuk memperkaya cerita dan proses penulis hingga tamat. 

Berapa lama proses menulisnya?

Proses menulis novel ini hingga naskah tamat sekitar 6 bulan. Setelah naskah disubmit ke editor penerbit, penulis masih menunggu proses revisi dan naik cetak sekitar 1 tahun kemudian. 

Apa saja hambatan selama menulis?

Hambatan yang paling terasa adalah ketersediaan waktu yang terbatas, karena hanya bisa menulis di luar jam kerja dan saat libur. Hambatan lain adalah menyempurnakan setting, alur dan plot cerita yang cukup memakan waktu lama.

Penggunaan bahasa Melayu yang dapat diterima oleh pembaca juga cukup menantang karena terdapat perbedaan logat dan dialek dengan bahasa Melayu yang digunakan oleh penulis. Menentukan ending cerita yang sesuai ekpektasi penulis dan pembaca nantinya juga menjadi tantangan tersendiri.

Bagaimana membagi waktu antara menulis novel dengan pekerjaan sehari-hari?

 

Menulis naskah saya lakukan saat di luar jam kerja, yaitu setelah salat Subuh sebelum berangkat kerja, atau setelah pulang kerja di atas jam 10 malam. Waktu menulis lainnya adalah saat hari libur, sehingga saya bisa fokus menulis paling tidak 2-3 jam dengan target tertentu, misal harus selesai satu bab. Selama jam kerja saya juga sempat melakukan penulisan yaitu pada saat jam istirahat, dengan jumlah kata yang juga terbatas. Jadi dengan proses penulisan ini, tidak sepenuhnya mengganggu pekerjaan utama saya.




Versi digital Kemarau di Sedanau (Dok. IG/@asroruddinzoechni)

Kenapa Cerita Salman dibikin open ending?

Iya, betul sekali novel ini dibuat dengan open ending, untuk memberi kesempatan bagi penulisan buku kedua. Sebetulnya buku pertama ini memang sudah dibuat sampai selesai (tamat), namun saya tahan dulu ending akhirnya, karena bisa nanti terlalu panjang untuk sebuah buku. 

Atas masukan beberapa pihak, untuk buku pertama ini saya buat open ending. Selain untuk meningkatkan rasa penasaran pembaca, juga membuka kesempatan untuk penulisan berikutnya, yang bisa merupakan lanjutan buku pertama atau spin off. Memang, untuk pertanyaan akhir cerita sebagaimana tertulis di awal cerita (prolog) telah menunjukkan antusiasme pembaca akan kelanjutan cerita ini. Dan hal itu menjadi nilai positif bagi penulis, dan juga tantangan untuk pengembangan cerita lebih lanjut.

 Bagaimana, Sobat? Apakah kalian makin penasaran ingin membaca novelnya? Kalian bisa membelinya di Gramedia. Silakan kepoin juga akun Instagram Asroruddin Zoechni di sini, ya! 

Selamat membaca buku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar