Kereta Malam Menuju Harlok (Dok. Gita FU) |
Oleh: Gita FU
Judul : Kereta Malam Menuju Harlok
Penulis : Maya Lestari Gf
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : Pertama, Januari 2021
Hal : 144 hlm
ISBN : 978-623-253-017-1
Harga : Rp 45.000 (P. Jawa)
Novel yang menjadi juara dua pada Kompetisi Menulis Anak Indiva 2019 ini mengambil tema yang tak biasa, yakni kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak bisa diartikan sebagai tindakan kekerasan fisik, penganiayaan emosional/psikologis, pelecehan seksual, dan pengabaian. Dari empat macam kekerasan tersebut, Maya Lestari Gf mengambil fokus pada pengabaian anak.
Pengabaian atau penelantaran anak adalah kondisi di mana orang dewasa yang bertanggung jawab, gagal menyediakan kebutuhan yang memadai untuk berbagai keperluan; termasuk fisik (kegagalan menyediakan makanan yang cukup, pakaian, kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), dan medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
Anak adalah anugerah, titipan, sekaligus ujian bagi orang tua. Setiap anak terlahir suci, bagaimanapun kondisi fisik yang menyertainya. Apabila seorang anak lahir dengan cacat bawaan itu bukanlah kesalahan si anak. Ia tak minta dilahirkan. Justru kewajiban orang tua memberi pengayoman pada sang buah hati. Bukan malah diabaikan atau ditelantarkan.
Novel ini ditulis dengan semangat menyadarkan pembaca akan hakikat kemanusiaan, perlakuan manusiawi dan penuh kasih terhadap anak-anak. Ditujukan untuk pembaca anak-anak, dibalut fantasi tentang Kereta Malam dari langit.
Anak-anak Telantar yang Dimanfaatkan
Di Kukila, panti khusus anak-anak cacat, terdapat sembilan anak dan satu pengasuh panti. Masing-masing memiliki cacat fisik. Misalnya Tamir, ia tak punya kaki dan mata kanan. Atau Awab yang terkena sindrom autis. Begitu pula Amar, semua jemari tangan kirinya tidak tumbuh sempurna (hal. 6-8).
"Betapa enaknya punya ibu. Ada yang selalu memasakkan makanan lezat untukmu. Di panti asuhan semuanya berbeda. Kau harus mengurus dirimu sendiri. Semua anak punya jadwal memasak. Jika mereka tidak patuh pada jadwal, tidak ada yang makan hari itu." (hal. 11).
Pengasuh panti mereka adalah lelaki lima puluh tahun bernama Amang. Ia lelaki pemarah, tidak sayang pada anak-anak panti. Dan tepat di malam takbiran Amang pergi meninggalkan Kukila begitu saja. Ia menelantarkan Tamir dan teman-temannya (hal. 16).
Siapa nyana, di malam itu pula terjadi sesuatu yang hebat pada Tamir. Ketika petir menggelegar bersahutan, sebuah kereta api dari angkasa meluncur ke arah Kukila. Hanya Tamir yang melihat kedatangannya, lalu gelap melanda (hal. 20). Ketika Tamir terbangun, ia sudah ada di dalam gerbong kereta yang terlambung-lambung oleh turbulensi di awan. Rupanya Tamir dijemput oleh Kereta Malam, kereta khusus anak telantar, untuk dibawa ke Harlok, sebuah kota di langit (hal. 27).
Sesudah turun dari gerbong, barulah Tamir mengetahui nasib buruk yang bakal menimpanya. Adalah Vled, seorang pria keji, yang telah menyebabkan Tamir dijemput Kereta Malam. Vled punya usaha penambangan batu seruni di Harlok. Di sana ia mempekerjakan 40 anak laki-laki telantar dari kota-kota di bumi. Liciknya, ia menutupi pertambangan ilegal tersebut dari mata Pemerintah Kota Harlok, sebagai panti bernama Rumah Asuh Bahagia.
Bersama anak-anak tambang lain, dan Baz sebagai pengurus mereka, Tamir menjalani hari-hari menyiksa di tambang gelap, sejak pagi hingga petang. Tenaga anak-anak terlantar itu diperas, makanan mereka memprihatinkan, kondisi mereka tak terawat. Bahkan tak ada keringanan bagi Tamir yang cacat.
Anak-anak tambang bercerita pada Tamir, bahwa tak ada yang bisa meloloskan diri dari tambang Vled, ataupun melapor pada Departemen Anak Telantar. Karena Vled serta anteknya telah memagari lokasi mereka dengan pagar tinggi, dan singa kabut. Ironisnya, Baz sebagai orang yang bersikap baik pun tak berdaya melawan Vled. Sebab anak perempuannya disandera oleh Vled.
Lama kelamaan penindasan Vled menjadi tak tertanggungkan lagi. Tamir dan teman-temannya memutuskan bangkit dan melawan (hal. 125-126)
Beberapa kesalahan penulisan yang saya temukan dalam novel ini tidak sampai mempengaruhi jalan cerita. Secara keseluruhan novel ini amat layak dimiliki sebagai bacaan yang bergizi, dan kontemplatif.
Akhir kata saya ucapkan, selamat membaca. (*)
Cilacap, 310321
Tidak ada komentar:
Posting Komentar