Cari Blog Ini

Senin, 31 Desember 2018

[Ragam] Taman Rumah Kreatif Cilacap, Ruang Rekreasi Terbuka yang Tanggung



Oleh : Gita FU



Satu lagi area terbuka sebagai ruang rekreasi keluarga hadir di kota Cilacap. Berlokasi tak jauh dari IGD RSUD Cilacap, tepatnya di sebelah PLUT UMKM Rumah Kreatif (Jl. Dr. Sutomo). Nama tak resmi ruang terbuka ini adalah Taman Rumah Kreatif. Seperti apa penampakannya? Terus simak artikel ini.



Tampak depan.

Beberapa totem bermotif batik terlihat mencolok mata pengunjung, begitu masuk dari arah depan. Di latar belakang tampak  gedung Rumah Kreatif Cilacap. Lajur jalan setapak cukup lega dan terkesan bersih. Lebarnya memadai untuk tiga orang dewasa berjalan beriringan.




Selayaknya taman, tempat ini ditanami deretan palem hias, rumput dan tanaman bunga lainnya. Memang belum menghijau, karena petak-petak tersebut belum lama ditanami. Selain itu demi kenyamanan pengunjung disediakan  blok bangku di beberapa titik, serta arena bermain anak-anak.




Mengingat kebiasaan berswafoto yang seakan sudah mendarahdaging di masyarakat kita, pengelola taman pun menyediakan pojok khusus yang cantik. Meskipun saat saya berkunjung, terlihat banyak pengunjung lain yang asik berfoto dengan di luar pojok tersebut.




Namun saya mencatat beberapa kekurangan pada taman ini. Yang pertama, tidak tersedia tempat sampah. Ini cukup fatal karena saya melihat sendiri sampah-sampah makanan yang ditinggalkan pengunjung di rerumputan. Bukankah hal ini merusak keindahan?
Yang kedua, belum berfungsinya toilet umum. Entah mungkin karena taman ini masih benar-benar baru dibuka atau ada penyebab lain. Tapi menurut hemat saya, apa salahnya bila pengelola membuka gembok toilet, dan mengalirkan air keran demi kenyamanan pengunjung. Yang ketiga, taman ini masih terasa datar. Mungkin jika ditambah fasilitas olahraga, misal lapangan basket atau voli, akan menambah nilai guna taman. Sebab saya lihat masih tersedia cukup lahan yang belum dimanfaatkan, di dekat areal parkir.

Kesimpulan saya, konsep taman ini masih agak tanggung mengingat kekurangan yang saya sebutkan di atas. Semoga ke depannya ada peningkatan fasilitas agar Taman Rumah Kreatif ini menjadi salah satu tujuan rekreasi keluarga di kota Cilacap. (*)

Cilacap, 311218

Sabtu, 29 Desember 2018

[Memoar] Kuku Simbah



Oleh: Gita FU

Februari 2001

Kabar meninggalnya Mbah Putri disampaikan Papa via telepon. Om Adi dan keluarganya langsung bersiap-siap meluncur ke Purbalingga dengan  sepeda motor. Aku sendiri akan menyusul via bus.

Saat berjalan menuju jalan raya, aku sempat berhenti sejenak di rumah tetangga. Hanya gara-gara menceritakan tujuan kepergianku pada si ibu tetangga, mataku mendadak banjir. Aku terduduk lemas di teras tersebut, tersengguk-sengguk oleh air mata. Si ibu tetangga menatapku prihatin penuh simpati. Setelah  berhasil mengatur napas, tangisku reda, dan kulanjutkan perjalanan.

Di dalam bus kenangan berlesatan muncul. Aku diasuh Mbah saat berusia kurang lebih dua tahun. Kemudian tepat setelah ulang tahun keempat, kedua orang tuaku datang dan membawaku ke Pontianak. Tak banyak kenangan yang berhasil kuingat di rentang waktu itu, hanya berdasarkan cerita Bulik serta beberapa lembar foto kenangan yang menangkap momen-momen tertentu.

Aku kembali tinggal bersama Mbah pada masa kenaikan kelas 6 SD hingga kelas satu SMA. Mbah semakin tua, sedangkan aku beranjak remaja. Itu adalah masa-masa di mana aku merasa sulit. Aku dengan energi yang berlebih, sering bentrok dengan kekolotan Mbah. Aku merasa terkekang, sementara Mbah dibebani tanggung jawab untuk menjagaku. Ah...

Mozaik kenangan makin berjejalan. 

Mbah Putri membekali jiwel, timus, atau mata roda untukku di sekolah. Mbah Kakung yang galak, tapi membukakan jendela kamar di pagi hari agar udara segar masuk, ketika aku terbaring karena tifus. Mbah Putri membuatkan kue lumpur kesukaanku saat aku ulang tahun. Aku dimarahi Mbah gara-gara membeli rok pendek sedikit di atas lutut. Bulikku rela berpanas-panas ke pasar demi membelikan rok panjang semata kaki sebagai gantinya. Aku dan Mbah Kakung terbahak bersama menonton lawak Ngelaba di tivi hitam putih kami. Aku mulai membohongi Mbah demi bisa ikut acara kemah Sabtu-Minggu, hanya karena Mbah mulai merasa aku terlalu banyak ikut kemah....

Mataku panas dan mulai meleleh. Terlalu banyak kenangan. 

Kemudian selepas SMA aku kembali lagi ke rumah Mbah. Dan saat itu pertengkaran mulai sering mewarnai hubunganku dengan beliau berdua. Mendadak aku kesal dengan cara Mbah Putri masak; kuno, tidak higienis. Mendadak aku ingin mengungkit masa lalu orangtuaku lalu menyalahkan Mbah Putri. Mendadak aku merasa lebih superior dari kedua orang sepuh ini. Sedangkan Mbah Putri mulai sakit-sakitan. 

Aku merutuki banyaknya egoisme yang muncul seiring bertambahnya usia seseorang. Dan ternyata itu pun terjadi padaku. Aku kerap menafikan kasih sayang tanpa syarat yang telah diterima semenjak kecil. Setelah dewasa pikiranku hanya tersedot pada  ketidakpuasan; seharusnya dulu jangan begini-begitu. Aku bahkan berani membentak Mbah Putri dalam suatu puncak pertengkaran kami.

Dan sekarang aku sudah sampai. Di depanku ada jenazah Mbah Putri. Dikelilingi para paklik dan Bulik, serta Papa. Mbah Kakung terlihat 'nrimo'. Kutatap wajah sepuh yang telah menutup mata itu. Betapa waktu yang terlewati terasa bagai mimpi. 

Aku ikut memandikan jenazah. Siraman air menyucikan tubuh Mbah untuk terakhir kalinya. Lalu pandanganku tertumbuk pada kuku tangan mbah Putri. Kuku itu panjang-panjang semua. Ya Allah, padahal aku pernah berjanji akan memotong kuku Simbah, saat beliau masih terbaring sakit. Janji yang sudah terlambat ditepati. Dan aku hanya bisa menyesal sedalam-dalamnya.(*)

Cilacap, 281218

(Mengenang alm. Mbah Putri dan Mbah Kakung. Semoga Allah melapangkan kubur mereka berdua).

Sumber gambar : pinterest.id


Jumat, 28 Desember 2018

[Ragam] Geliat Pegiat Literasi Cilacap


Oleh: Gita FU

Pada hari Kamis, 27 Desember 2018 saya mendapat undangan acara temu pegiat literasi, dari Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Cilacap. Pertemuan berlangsung di ruang audio-visual dan dibuka oleh Kepala Dinas, Bapak Supriyanto.
Tamu undangan yang hadir berasal dari perwakilan beberapa komunitas literasi di lingkar Cilacap, pustakawan dari beberapa sekolah (SDN 01 Sidareja, SMPN 2 Cilacap, SMAN 1 Cilacap, dan SMAN 2 Kroya), perseorangan seperti saya, instansi (Diskominfo, Depdikbud) dan perwakilan media yakni Yes Radio  dan Satelit Post.

Saya pribadi baru tahu keberadaan komunitas-komunitas tersebut. Ya, anggap saja akibat kekuperan saya pribadi. Antara lain Sangkanparan, Bale Sinaoe, Pojok Pustaka, Institut Ibu Profesional, Gembus, DKC, dan Sagu Sabu. Masing-masing komunitas bergerak di lingkaran wilayah masing-masing, semisal Bale Sinaoe di Cilacap wilayah Barat. Kegiatan yang mereka lakukan antara lain: mendirikan taman baca masyarakat, bedah buku, pemutaran film, membuka kelas menulis, dan membuka lapak baca di alun-alun kota.

Saya menarik kesimpulan dari apa yang masing-masing komunitas paparkan di forum, yaitu:
1. Keprihatinan yang sama, mengenai masih rendahnya minat dan budaya baca masyarakat;
2. Perlunya variasi kegiatan yang menumbuhkan minat baca, karena zaman sekarang orang lebih senang bermain gawai;
3. Butuh wadah yang bisa menyatukan semua komunitas literasi, mengingat luasnya wilayah Cilacap.
Menindaklanjuti poin ketiga, pihak Perpustakaan Daerah Cilacap telah menyatakan kesiapannya menjadi jembatan penghubung antar komunitas, sekaligus wadah pemersatu. Sehingga pada akhir acara disepakati bersama terbentuknya Forum Literasi Cilacap.



Saya pribadi mengamini rendahnya minat baca tersebut. Belanja buku bacaan pun belum menjadi kebiasaan yang umum di masyarakat. Saya bisa menulis lalu menerbitkan buku, tapi menjual buku? Itu tidak gampang. Mungkin dengan banyaknya kegiatan dari komunitas literasi semacam ini, bisa menyadarkan masyarakat akan perlunya membaca, kemudian menjadikan belanja buku sebagai investasi ilmu. Itu harapan positif yang harus terus dinyalakan.


Salam literasi! (*)

Cilacap, 281218


Rabu, 26 Desember 2018

[Review] Akibat Perjanjian Sesat


Oleh: Gita FU

Judul.       : Rumah Sakit
Penulis     : Ari Keling
Penerbit.  : Laksana (Diva Press Grup)
Cetakan.  : Pertama, 2018
Tebal.       : 184 hlm
ISBN         : 978-602-407-314-5

"Ketika mereka yang sudah lama mendiami, mulai menunjukkan eksistensi di tempat ini."

Tagline di atas  merupakan premis dari novel horor ini.  Sebuah gedung kuno peninggalan zaman Belanda  sejak dahulu dinamai Rumah Sakit. Meski penampakan luarnya mengesankan keangkeran, hal tersebut tidak menjadi persoalan bagi masyarakat sekitar. Lagipula tak pernah terdengar cerita ganjil  dari orang-orang yang pernah dirawat  di situ.  Hingga pada suatu Senin malam, rangkaian kejadian aneh dan tak masuk nalar terjadi di dalam gedung tersebut.

Reno, seorang pasien rawat inap, diteror oleh suara tanpa wujud sejak di ruangan IGD (hal. 18). Apalagi  hanya dia seorang yang mendengar suara-suara itu. Lalu ketika dia sudah dipindahkan ke kamar perawatan, Reno diusik oleh seorang pasien Kakek tua yang berada di ranjang sebelah. Pasien itu muncul hanya ketika para suster telah meninggalkan ruangan (hal. 46). Anehnya, saat dia melaporkan keberadaan suara-suara dan pasien tua itu pada para suster, keadaan ruangannya kembali normal dan sepi.

Lain lagi dengan kejadian yang menimpa Laras, Monica, dan Rere, tiga orang suster jaga malam. Rere melihat penampakan lelaki berkulit hitam, tinggi besar di sudut depan kamar perawatan pasien. Lelaki itu terus-menerus menatap  Rere. Sementara Laras melihat hantu nenek tua di  dekat IGD.  Kemudian mereka bertiga menyaksikan sebuah kursi roda  yang bergerak sendiri seperti ada yang menumpanginya (hal. 65). Tentu saja ketiga suster itu  ketakutan hebat. 

Hal menyeramkan pun dialami seorang pengunjung bernama Reza. Saat hendak mengambil motornya  di area parkir, dia tak menemukan kendaraan tersebut di tempat semula. Tiga petugas parkir yang membantunya pun tak menemukan motor tersebut di seluruh penjuru area parkir. Namun saat mereka kembali mencari di titik semula, tiba-tiba motor yang dicari telah berada di tempatnya. Tentu saja keheranan melanda mereka semua (hal. 94).

Bahkan sekelompok petugas kebersihan  yang tengah berkumpul di ruangan Office Boy, tak luput dari gangguan. Mereka melihat sosok kuntilanak berbaju merah di ruangan mereka. Makhluk itu tertawa-tawa menyeramkan. "Tiba-tiba lampu menyala kembali. Bersamaan dengan itu mereka semua membelalakkan mata. Sebab, mereka melihat sesosok perempuan yang berdiri di atas meja dengan rambut panjang terurai sampai menyentuh lantai." (Hal. 107).

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak para korban gangguan hantu ini akhirnya memunculkan jawaban tak terduga. Rupanya ada sejarah gelap yang selama ini rapi disembunyikan para petinggi Rumah Sakit. Sebuah perjanjian dengan setan telah diikrarkan sejak lama. Ketika ada yang salah dalam pelaksanaannya, maka setan atau hantu tersebut  berulah lagi dan menebar ketakutan.

Alur kisahnya sederhana. Cara penulis menarasikan keseraman di dalamnya ibarat   adegan film. Semua tokoh mendapat porsi  masing-masing. Sedikit bertele-tele menurut saya. Tapi kembali lagi pada selera pembaca. Pesan moral yang bisa diambil dari kisah horor ini ialah: manusia sebagai makhluk mulia, janganlah sudi diperbudak oleh setan apapun dalihnya. Karena lebih banyak kerugian daripada kebahagiannya.(*)

Cilacap, 251018

Senin, 24 Desember 2018

[Cerita Mini] Remah-remah Keju



Oleh: Gita FU

Hujan  menderas. Belasan kali Gea menyibak korden jendela, memindai kemunculan Ayah di pelataran kompleks rumah kos ini. Sudah  lewat satu jam dari azan ashar. Entah kemana perginya Ayah.

Gadis cilik sebelas tahun itu menekap perutnya, mencoba menghentikan genderang marching band di dalam sana. Makanan terakhir yang masuk  adalah dua potong bakwan, berjam-jam lalu di kantin sekolahnya. Kini Gea bergulingan di kasur. Perih. Lapar.

Nyalang matanya mengukuri empat dinding kamarnya. Gea mengingat-ingat waktu. Rasanya sudah berabad-abad ia dan Ayah meninggali tempat ini. Kalau tak salah hitung, empat bulan ia terpisah dari Ibu dan dua adiknya. Benar, empat bulan.

Ah, kenapa sih, orang-orang dewasa itu begitu rumit? Kenapa mereka yang katanya lebih pintar, tak bisa memecahkan masalah? Gara-gara mereka, ia dan adik-adiknya dipaksa menerima kosakata baru: cerai. Cerai adalah berpisah; Ayah dan Ibu tak satu rumah lagi; ia dibawa pergi Ayah, sedangkan Rea dan Aga tinggal bersama Ibu. Menyebalkan! Gea mengusap matanya yang mendadak banjir.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Gea berderap membuka kuncinya, berharap itu Ayah yang datang.

"Gea, sendirian, ya?" Bukan, bukan Ayah. Itu Pak Isa tetangga sebelah kamar. "Ah, ini ada sedikit roti dan keju buat Gea dan Ayah. Dimakan, ya?"

Gea menerima bungkusan, "Terima kasih, Pak!" Untung Gea belum lupa kesopanan. Pak Isa tersenyum sebelum kembali ke kamarnya.

Duduk menghadap meja satu-satunya di kamar, Gea mengeluarkan isi bungkusan. Dahinya mengernyit, ada empat lembar roti tawar persegi, dan empat lembar ... Keju?

Ia tahu tentang keju dari iklan-iklan di televisi dan majalah. Konon keju dibuat dari susu, bergizi, dan lezat pula. Benarkah? Ia belum pernah melihat  secara langsung. Jadi begini bentuknya? Tipis, persegi empat, berwarna kekuningan. Ia usap permukaan selembar keju. Lalu Gea mengendus-endus, mirip kucing membaui ikan. Seperti apa rasanya?

Gea mencuil salah satu ujungnya, membawanya ke mulut. Oh, asin! Dicuilnya lagi ujung yang lain, dan mengunyahnya. Eh, gurih!
Cuilan demi cuilan berubah menjadi suapan yang lebih besar. Terus kunyah, dan telan. Lidah Gea berdansa. Cacing-cacing di perutnya bersuka ria. Gea lupa menyisihkan bagian untuk Ayah. Yang ada hanya ia dan keju. Terus hingga tandas. Namun Gea masih mencari remahan, barangkali terjatuh  di permukaan meja. Ia masih belum puas. Rasa keju itu membuatnya ketagihan.

Mendadak pintu dibuka seseorang. "Gea, Ayah pulang!" Wajah Ayah terlihat lelah. Rambut dan jaketnya basah. Ia menenteng bungkusan plastik di kedua tangannya.

"Maafkan Ayah yang pulang terlambat, ya, Nak. Tadi Ayah ada urusan penting. Ini Ayah bawa makanan," ucapan Ayah terputus, "kamu sedang apa, Nak?"

Gea mendongak, sesaat berhenti dari kesibukannya menjilati plastik pembungkus keju. "Ngg, Ayah? Ini Gea lagi makan keju. Enak banget! Tapi maaf, ya, bagian Ayah juga Gea makan. Habis Ayah lama, sih. Gea 'kan lapar!" Gadis cilik itu kembali pada kesibukannya.

Ayah termangu, sisa air hujan menetes ke pelipisnya. Dia baru sadar telah menelantarkan putrinya seharian ini. (*)

Cilacap, 241218