Cari Blog Ini
Jumat, 01 Februari 2019
[Review] Psikosis Post Partum yang Mengerikan
Oleh: Gita FU
Judul. : Mama
Penulis : Wulan Mulya Pratiwi dan Erby S.
Penerbit : Elex Media Komputindo
Terbit. : 2018
Tebal. : ix+144 hlm.
ISBN : 978-602-04-5519-8
Well, tempo hari sebuah paket diantar oleh Mas Kurir JNE. Dengan heran saya menerima dan menandatangani resi digital yang disodorkan. Paket buku dari siapa, ya? Pikir saya.
Pertanyaan saya langsung terjawab begitu membaca nama pengirim. Oalaaah, ini dari Jeng Arwen di Bekasi, sebagai reward kerajinan dari AHAD BLOK-ING. Alhamdulillah, thanks ya, Jeng!
Menilik kaver dan blurb-nya, ini seperti novel horor. Anak saya si Farhan langsung mendelik, meminta saya menyingkirkan buku ini. Hohoho, maklum, dia parno sama cerita horor. Sementara Hanna bertanya penasaran, itu, sih, gambarnya orang lagi ngapain? Bhahahahaha. Hadeeeh!
Sebelum saya ulas isi novel, kalian tahu film Pihu yang sedang booming itu? Kalau belum tahu bacalah ulasan dari teman saya Sabrina di blog-nya. Lha, memang ada hubungannya? Ada dikit. Sama-sama mempunyai benang merah: wanita depresi. Cuman di novel ini disebutkan spesifik namanya, yakni Psikosis Post Partum. Wah, apakah itu?
Jadi Psikosis Post Partum itu adalah bentuk kelainan psikiatri yang terparah dalam tingkatan Post Partum blues. Biasanya terjadi dalam tiga bulan pertama setelah ibu melahirkan. Ibu dengan Psikosis yang parah bahkan bisa melukai diri sendiri, membunuh anak-anaknya, dan mengancam nyawa orang lain (hal. 136). Wew, kok, serem, ya? Memang seram. Dan keseraman itulah yang menimpa Mala.
Dalam novel ini dikisahkan Mala dan Galih pasutri muda yang tengah bahagia. Galih sukses secara finansial, ditandai berhasil membeli rumah mewah sebagai kado istri. Selanjutnya Mala hamil, menambah kebahagiaan mereka. Saat sedang semangat mempersiapkan kedatangan bayi, ujian mulai menerpa. Rupanya kehamilan Maka bermasalah. Dia menderita tekanan darah tinggi yang beresiko terjadinya eklampsia. Disusul kehadiran ibunya Galih, alias ibu mertua Mala. Bu Retno ini wanita berpikiran sempit. Selalu menekan Mala untuk berperilaku sesuai standar dirinya. Setiap ada kesempatan dia menjelek-jelekkan Mala. Celakanya Galih tak bisa menengahi konflik. Akibatnya Mala jadi korban perasaan. Sampai di sini terasa mirip sinetron, ya? *Putar bola mata*.
Kemudian Mala melahirkan lewat operasi Caesar. Ya ampun, itu ibu mertua bukannya mendoakan malah menyalahkan Mala yang dianggapnya manja. *Pengen ngemilin*. Setelah pulang ke rumah bersama bayi mereka, tentu saja Mala butuh dukungan fisik dan psikis. Apalagi namanya pasca operasi itu pasti sakit dan harus jaga kondisi badan. Eh, tapi si Galih malah langsung tancap gas kerja lagi. Dia meninggalkan istrinya hanya bersama ibunya. Dikiranya sang ibu pasti bisa merawat Mala karena sudah berpengalaman. Mana dia tahu bahwa ternyata istrinya langsung disuruh kerjain urusan rumah dan urus bayi. Sama sekali nggak peduli sama kondisi pasca Caesar. *Menghela napas panjang*.
Suatu hari bayinya sakit demam. Mala yang sudah kelelahan ya fisik dan psikis, tak bisa berpikir jernih lagi. Mana ibu mertuanya cuma menyalahkan saja kerjanya. Terjadilah tragedi itu. Tanpa Mala sadari, dalam upaya menenangkan bayi yang rewel, dia menutup jalan napas putri kecilnya sendiri. Akibatnya bayi mungil itu pun meninggal dunia.
Seakan baru permulaan mimpi buruk, dalam kondisi down Mala masih saja menanggung tuduhan ibu mertua. Ke mana Galih? Dia sedih luar biasa tapi memilih melarikan diri ke pekerjaan, dan meninggalkan Mala sendirian. Nah, mulailah depresi Mala berlanjut menjadi delusi serta halusinasi. Akhirnya dia melakukan serangkaian kegiatan kriminal mengerikan, tanpa menyadari akibatnya kelak.
Penulis novel ini memang ingin menunjukkan pada kita, betapa kondisi pasca melahirkan itu berat untuk ditanggung sendiri oleh si ibu. Diperlukan adanya dukungan moril dari keluarga terdekat, utamanya kasih sayang suami. Tujuannya tentu saja agar kondisi mental si ibu kembali pulih. Hormon yang sempat labil kembali stabil. Bayi pun sehat, dan gembira.
Mengingat latar pendidikan Wulan Mulya Pratiwi berasal dari kebidanan, tak heran ada artikel tambahan di bagian penutup. Kita jadi tahu apa saja masalah mental yang kerap dialami ibu pasca melahirkan. Apa saja tanda-tandanya, bagaimana menanganinya, disertai sumber rujukan.
Tapiii tetap saja ada kekurangannya, ya. Karena tak ada kesempurnaan di dunia fana ini, bukan? Nah, apalagi kekurangan ini cukup menyolok. Apakah itu? Yaitu:
1. Kalimat-kalimatnya cenderung terlalu berbunga-bunga; tidak tedas dan tegas ke inti masalah.
2. Novel ini maaf saja, seperti tidak melalui korektor naskah. Seolah-olah langsung terbit saja. Karena saya menjumpai banyaknya kesalahan EYD, huruf kapital, tanda baca. Ya ampun, my eyes!
Jadi secara keseluruhan saya beri skor 2/5. Sisanya kembali ke selera pembaca. Demikian review saya kali ini. Semoga bermanfaat. Salam bahagia. (*)
Cilacap, 010219
Labels:
Review

Kamis, 31 Januari 2019
Jangan Menyimpan Dendam
Oleh: Gita FU
Saya ini aslinya mudah baper, alias terbawa perasaan. Melihat anak kucing mengeong mencari induknya yang telah mati, saya ikut mewek. Menonton berita bencana alam, saya ikut menitikkan air mata. Mendengarkan seseorang curhat drama kehidupannya, saya bisa ikut geregetan. Ya, meskipun saya berusaha menyembunyikannya dari mata orang lain, sih.
Dan sekarang saya sedang baper gara-gara JasmineElektrik, grup band indie yang belum lama ini merilis single terbaru berjudul 'Ibu'. Ya Allah, ini topik sensitif. Karena saya jadi terkenang ibu sendiri yang jauh di mata! Oh, ibu, maafkan anakmu ini yang sering mengucapkan selamat hari Ibu, tapi tetap belum bisa berbakti penuh kepadamu.
Baiklah, saya ingin berbagi cerita mengenai sosok ibu dalam hidup saya. Selain ibu yang melahirkan saya ke dunia, ada seorang wanita lain yang saya hormati peranannya. Beliau adalah Bu Suparmiyati, Mbah mertua saya.
Begini cerita singkatnya. Semasa bayi karena satu dan lain hal, suami saya dibawa untuk dibesarkan oleh Mbah putrinya. Ibu kandungnya sendiri masih ada, namun sedang menghadapi kondisi yang sulit saat itu. Karena dirawat sejak berumur tiga bulan maka suami saya kadung menyebut 'Ibu' dan 'Bapak' kepada Mbah Putri dan Mbah kakung. Sedangkan kepada ibu kandungnya sendiri ia memanggil 'Mamak'. Otomatis setelah kami menikah, saya pun terbawa menyebut 'Ibu' kepada Mbah mertua putri.
Jika saya ingat kembali, betapa selepas menikah (th. 2006) saya telah mendesak suami untuk langsung misah dari ibu-bapaknya. Sebab saya tidak ingin masalah rumah tangga kami dicampuri orang tua maupun mertua. Namun suami menolak tegas. Alasan utama karena merasa kasihan meninggalkan kedua orang sepuh itu begitu saja. Alasan lainnya adalah agar saya belajar dulu cara menata rumah tangga pada mereka. Mau tak mau saya menurut, walaupun dalam hati merasa sebal.
Dalam perjalanan rumah tangga kami, alasan kedua yang pernah diajukan suami menjadi kenyataan. Saya benar-benar belajar dari Ibu; mulai urusan memasak, berbenah, hingga cara meladeni suami. Termasuk soal bagaimana membuat segelas kopi yang enak.
Saya hamil anak pertama tak lama berselang. Mual dan muntah saya alami hingga trimester kedua. Ibu merawat saya, menyediakan ember untuk tempat muntah di kamar; sesekali beliau membersihkan ember itu jika dilihatnya saya tengah kepayahan. Ibu sering membuatkan segelas teh manis hangat, atau air gula asam yang segar untuk meredakan mual saya. Beliau pun tak pernah membebani saya dengan pekerjaan rumah tangga, meskipun sekadar menyapu. Pendek kata, perlakuan dan perhatian beliau ke saya benar-benar selayaknya seorang ibu kepada anak kandungnya.
Tekad Untuk Memutus Keburukan
Ibu pernah menceritakan masa lalunya. Beliau tak ingat rupa orang tua kandungnya, karena diadopsi semenjak bayi. Ayah dan ibu angkatnya berbeda karakter dalam membesarkannya; ayah penuh dengan kasih dan kelembutan, sedangkan ibunya keras dan mengekang.
Lalu setelah menikah dan tinggal serumah dengan orang tua suaminya, ia dapati ibu mertuanya galak bukan kepalang. Ibu kerap diperlakukan seperti pembantu. Dan ironisnya hal tersebut berlangsung di bawah hidung suami serta ayah mertuanya. Saya sering merasa gemas kala mendengar kisah ibu.
Karena sering menerima perlakuan keras itulah ibu berjanji pada dirinya, besok kalau punya menantu perempuan bakal disayangi seperti anak sendiri. Ya Allah, saya terpana. Rupanya itu sebabnya beliau menyayangi saya bagai anak kandung. Di luar fakta bahwa sebenarnya saya ini cucu menantu beliau, ya. Betapa beruntungnya saya.
Ibu bertutur lagi, tak baik berlarut-larut menyimpan dendam. Peristiwa buruk yang sudah lewat ya biarkan saja. Yang penting jangan diulangi supaya anak cucu kita tidak kena getahnya. Saya langsung beristighfar dalam hati. Nasihat ini begitu dalam, sesuai dengan yang saya alami. Telah lama saya menyimpan kekecewaan besar pada orang tua sendiri. Ada banyak hal yang tak bisa saya sebutkan di sini, yang jelas dampaknya merenggangkan ikatan saya dengan mereka.
Boleh jadi ibu mengucapkan nasihat tersebut dilambari doa nan tulus, sehingga merasuk ke kalbu saya. Perlahan-lahan saya mengurai simpul amarah dan kecewa saya. Kini di usia pernikahan yang memasuki tahun ke-13, hubungan saya dengan orang tua telah membaik.
Kasih Sayang Ibu Tak Terbantahkan Waktu
Si sulung Farhan lahir prematur lewat persalinan Caesar di tahun 2007. Sepulang dari rumah sakit saya menjadi pasien di rumah. Ibulah yang merawat saya dengan tak kenal lelah. Jika perempuan lain memanggil dukun pijat untuk bayi mereka hingga 40 hari, saya tidak. Ada ibu yang merawat bayi Farhan setiap hari.
Saat kelahiran anak kedua tahun 2012, kami sudah misah rumah dengan bapak-ibu mertua. Namun ibu sama sekali tak keberatan datang, saat kami mintai tolong merawat bayi Hanna. Meskipun tidak nyaris 24 jam seperti si sulung, perhatian dan rasa sayang ibu tak berkurang untuk Hanna.
Bulan Agustus tahun 2017 adalah momen duka cita untuk ibu. Ibu kehilangan pasangan hidup yang telah menemaninya puluhan tahun. Tak tega melihat ibu tinggal seorang diri di Sokaraja (Banyumas), kami mengajak beliau ikut tinggal bersama di Cilacap.
Bulan September tahun 2018 anak ketiga kami lahir. Segala puji bagi Allah, ibu masih berkesempatan melihat dan momong si bayi. Walaupun kekuatan fisiknya telah mundur, ibu tetap gembira meladeni ocehan si kecil. Bahkan ibu masih kuat menggendong buyutnya ini, di usia 77 tahun!
Sungguh, Ibu telah menjelma sosok penting dalam hidup saya. Darinya saya belajar ketulusan, kasih sayang, dan semangat hidup. Semuanya menjadi bahan bakar yang kembali memantik gairah hidup saya, di hari-hari paling gelap sekalipun. Terima kasih ibu, tulisan ini saya dedikasikan untukmu. (*)
Cilacap, 310119
#JasmineElektrikCeritaIbu
Labels:
Lomba Blog,
Memoar

Jumat, 25 Januari 2019
[Review] Menyelami Mimpi Sang Pelaut Tua
Oleh: Gita FU
Judul Buku : Kapal Selam Mimpi dan 16 Kisah Aneh Lainnya
Penulis. : Fazamatahari
Penerbit. : Gramedia
Cetakan. : Pertama, November 2015
Tebal. : ix+139 hlm
ISBN : 978-602-03-1898-1
Setelah pensiun sebagai teknisi mesin di kapal asing yang berlayar keliling dunia, Pak Pelaut Tua menghabiskan hari-harinya dalam kedamaian bersama keluarga putranya di sebuah pulau kecil.
"Selepas subuh, ia akan berjalan menyusuri pantai sambil melihat matahari merayap naik. Ia lalu pulang dan menyaksikan kesibukan cucunya berangkat sekolah. Ia akan mandi dan sarapan, lalu duduk diam atau menonton televisi. Semakin hari, rasanya waktu tidur siangnya semakin panjang. Sore hari ia akan membersihkan halaman rumah dan menyirami tanah yang kering. Lalu malam akan datang dan begitulah hari itu berakhir." (Hal. 4).
Hingga di suatu pagi, Pak Pelaut Tua menemukannya: sebuah kapal selam tua terdampar di balik tanjung karang. Mula-mula ia menyembunyikan keberadaan benda itu dari masyarakat. Kemudian ia memasuki bagian dalamnya, mencari tahu benda apa yang masih tersimpan di sana. Tak dinyana, Pak Pelaut Tua menemukan pintu lain ke dunia paralel! Di dunia satunya, ia disambut aneka keajaiban luar biasa. Gairah hidupnya pun kembali. Sejak itu rutinitasnya berubah; dari pagi hingga matahari terbenam ia berkelana di dunia paralel.
Lewat cerpen "Kapal Selam Mimpi" ini penulis mengajak kita mengikuti mimpi-mimpi terpendam Pak Pelaut Tua. Ya, rupanya dunia paralel tersebut adalah mimpi si pelaut tersebut untuk kembali bertualang ke tempat-tempat baru; menemukan keajaiban yang menggairahkan laksana semangat masa muda (hal. 12).
Ilustrasi Pak Pelaut Tua dan dunia paralelnya.
Cerpen ini menyelipkan pesan moral, bahwasannya manusia itu tak pernah puas, selalu saja ingin menuntaskan hasrat selama masih memiliki hayat. Terkadang mimpi-mimpi diperlukan untuk menjaga semangat hidup. Namun kita pun tetap harus tahu batas untuk berhenti.
Masih membahas tentang impian, cerpen "Professional Daydreamer" di halaman 59 mengisahkan Cynthia seorang ilustrator lepas. Semenjak kecil ia sudah suka menggambar. Saat kuliah ia magang dan bekerja lepas di beberapa biro ilustrasi sehingga ia sekarang memiliki beberapa klien tetap.
Cynthia menamakan pekerjaannya sebagai professional daydreamer. Karena hampir seluruh proses menggambarnya dilakukan sambil melamun, dan ia dibayar untuk itu. Ini benar-benar pekerjaan impian Cynthia yang menjadi kenyataan. Namun kini ia malah memutuskan berhenti menjadi ilustrator lepas, dan mencari pekerjaan kantoran penuh waktu.
Hal. 61
Di luar dua judul di atas, masih ada 15 judul lain, yang pendek maupun panjang, dan semua menarik. Sebut saja "Buku-buku yang Tidak Dapat Dibaca", "Pemilihan Umum", "Mimpi Hutan Pinus", "Meja Batu Milikku, di Tengah Dunia Milikku", "Seluas Apakah Pelangi", "Sebuah Rumah yang Terletak di Tengah Kebohongan","Kutukan Persia", "Rusa Pohon Niwa", "Pewaris Naga Laut", "Dongeng Si Anak Sirkus", "Rusa dan Beruang", "Nenek Sihir dan Ilmuwan Kimia", "Di Negeri Permen dan Cokelat", "Mimpi Bawah Laut Sang Wanita Karier", dan "Bear Dream in Windowpane".
Beberapa di antaranya dilengkapi ilustrasi buatan sang penulis sendiri. Ia meramu cerita-cerita dengan kesegaran yang tak biasa. Ada citarasa dongeng pada tulisannya. Saya pribadi tidak bosan membacanya sampai akhir.
Dan selalu ada makna yang saya temukan di balik kumpulan imajinasi tersebut. (*)
Cilacap, 250119
Labels:
Review

Langganan:
Postingan (Atom)