Cari Blog Ini

Rabu, 19 Desember 2018

[Cernak] Rola Kena Batunya


Oleh: Gita FU

Di rumah Marsya, anak kelas empat sebuah SD di Banyumas, ada sebuah rak sepatu dari kayu. Semua sepatu, sandal, maupun selop milik Papa, Mama, dan Marsya, diletakkan dengan rapi di dalamnya. Ada satu rahasia yang tidak diketahui Mama, Papa, dan Marsya. Yaitu, setiap malam saat  penghuni rumah sudah tidur, semua alas kaki itu mengobrol! Ya, mereka bercakap-cakap seperti manusia.

"Aku tadi sore diajak mamanya Marsya mengunjungi toko tas, lho! Tokonya sejuk, lantainya mengkilap, dan harum!" celoteh Bali si selop bertali hitam.

"Kalau aku, seharian menemani papanya Marsya di kantor," balas Jo sepatu pantofel hitam.

"Senang ya, kita selalu bergantian diajak pergi Mama, Papa, dan Marsya!" Soli si sepatu bersol karet ikut menimpali obrolan. Mereka semua gembira. Bagi mereka, adalah suatu kebahagiaan bila dipakai oleh sang pemilik.  Itu tandanya  mereka berguna.

"Teman-teman, menurut kalian siapa yang paling cantik di antara aku dan Mela?" celetuk Rola, sandal ungu milik Marsya.

Teman-temannya terkejut. "Kenapa kamu bertanya begitu, Rola?"

"Huh! Tinggal bilang lebih cantik aku saja, susah amat!" Rola mendengus sombong.  Ya, tentu saja dari segi penampilan Rola lebih manis. Ada manik-manik serta hiasan bunga berwarna-warni pada talinya. Berbeda dengan Mela si sandal merah, yang polos tanpa hiasan. Teman-temannya saling lirik, kurang suka pada sikap Rola.

"Terus apa maumu, Rola?" Sera si selop cokelat menanggapi dengan gusar.

Si sandal ungu tertawa keras. "Aku mau kalian semua tahu, bahwa aku adalah sandal kesayangan Marsya. Aku yang selalu jadi pilihan utama untuk dipakai Marsya! Tidak seperti Mela. Dia itu sandal yang tidak berguna!"

"Rola! Omonganmu jahat sekali," ucap Mela sedih.

"Ya, benar. Kamu tak boleh bicara seperti itu, Rola!"

"Ayo, minta maaf sama Mela!"

"Untuk apa minta maaf? Kalian ingat-ingat saja yang terjadi selama ini," bantah Rola angkuh.

"Walau demikian, kamu tak berhak sombong," ucap Soli bijak. "Kita sama-sama alas kaki yang telah dipilih dari toko oleh pemilik kita dengan hati senang. Jadi kedudukan kita sama."

Namun Rola memang keras kepala. Dia tetap memandang rendah Mela. Suasana di dalam rak pun menjadi tidak menyenangkan. Mela yang menjadi rendah diri, ditenangkan oleh teman-temannya.

**

"Ma, Marsya jadi dijemput sama Tante Wina, kan?" tanya Marsya sepulang sekolah.

"Jadi, Sayang," senyum Mama.

"Asyik! Terimakasih ya, Ma, sudah mengijinkan Marsya ikut Tante."

"Iya, Sayang. Lagipula ini hari Sabtu, kamu nggak ada jadwal les," jawab Mama.

Tak berapa lama terdengar derum mobil memasuki halaman. Disusul suara-suara riang dari Denis dan Lala, para sepupu Marsya. Usai menyiapkan baju ganti dan perlengkapan lain ke dalam tas ransel, Marsya berpamitan pada Mama. Tak lupa dia kenakan pula sandal ungu favoritnya. Dia siap ikut berwisata bersama keluarga Tante Wina ke Purwokerto.

**

Malamnya keluarga Marsya berkumpul di ruang tengah. Marsya terlihat agak lelah. Dia sampai kembali di rumah menjelang magrib.

"Nah, Marsya. Bagaimana tadi di Baturraden?" tanya Papa.

"Wah, seru, Pa! Tadi Marsya mandi air panas di Pancuran Tiga. Dinding tebingnya tinggi dan terjal, lho! Benar-benar suasana hutan asli!"

"Kalian ke Pancuran Pitu tidak?" Mama ikut bertanya. Seingat Mama, letak Pancuran Pitu--atau Pancuran Tujuh-- itu di sebelah atas Pancuran Tiga. Di situ kadar belerangnya lebih tinggi.

"Kami memang naik ke atas lewat jalan mobil, Ma. Tapi Marsya nggak ikut jalan ke Pancuran Pitu. Marsya  tinggal di mobil."

"Lho, kenapa?" Papa dan Mama serempak bertanya.

"Marsya sedih, karena manik-manik di sandal ungu putus." Lalu Marsya menceritakan apa yang terjadi. Rupanya saat keluar dari area Pancuran Tiga, Marsya terpeleset dan jatuh terjerembab. Saat itulah hiasan di sandalnya terlepas.

"Kasihan... Tapi syukurlah kamu nggak kenapa-kenapa," ungkap Papa prihatin.
Marsya beranjak ke rak sepatu. Dia menunjukkan kondisi sandal ungunya pada papa dan mama.

"Nggak apa-apa, Sya. Walau hiasannya lepas, sandal ini masih bisa kamu pakai," hibur Mama. Marsya mengangguk pelan.

**

Setelah keluarga Marsya tidur, terdengar isakan  Rola di dalam rak sepatu. "Hiks hiks hiks, sekarang aku jadi jelek...."

"Huh! Itu namanya kamu kena kualat!" ketus Sera. Tangisan Rola semakin keras.

"Sudahlah, Sera. Jangan mengungkit peristiwa yang lalu," lerai Bali.
"Rola, meskipun hiasanmu hilang kamu tetap sandal yang masih berguna." Soli menasihati  lembut. Semua alas kaki mengangguk sepakat.

Rola terdiam mendengar nasihat itu. Diliriknya Mela yang telah dia ejek. Sekarang penampilan mereka sama, polos tanpa hiasan. Rola merasa malu.

"Rola, kamu nggak ingin bilang sesuatu pada Mela?" tegur Jo mengingatkan.

"Eh, i-iya... Mela, maukah kamu memaafkan aku?"

"Iya, Rola. Aku bersedia memaafkanmu," jawab Mela tenang.

Setelah Rola menyadari kesalahannya, suasana di dalam  rak sepatu kembali damai. Memang tak ada manfaatnya menyombongkan diri, hanya karena penampilan lebih bagus dari orang lain.(*)

Cilacap, 191218

(Ilustrasi: pinterest.id)

Selasa, 18 Desember 2018

(Memoar) Cinta Bersemi di Mading


Oleh: Gita FU


Purbalingga, tahun 1994

"Asyik!" Saking senangnya aku berjingkrak-jingkrak tanpa sadar.

"Apa, sih, Git? Heboh amat?" Vita menegur. Ikut penasaran, mata bulatnya menekuri isi mading.

"Hah? Klub drama?"

"Iya! Asyik, kan? Aku mau ikut!"

Tatapan 'ih-masa-nggak-banget-deh' ala Vita langsung menyorot. Aku terbahak, memaklumi ketidaksukaannya pada pelajaran bahasa dan sastra. 

"Sudah, yuk! Kita pulang sekarang. Si Fitri nungguin di gerbang, tuh!" Vita menarik lenganku.

"Eh, tunggu sebentar! Aku hapalin dulu jadwal klub!"

Selanjutnya setiap hari Rabu usai sekolah, aku ikut berkumpul di perpustakaan. Tak banyak yang mendaftar, hanya enam siswa;  dua anak kelas satu, dua anak kelas dua--termasuk aku, dan dua kakak kelas tiga. Namun Pak Rahman tak  berkecil hati. Beliau tetap bersemangat tinggi hingga kami tertular antusiasmenya. Kualitas itulah yang kusukai dari guru bahasa Indonesia kami ini. Selain berwawasan luas, beliau juga penuh dedikasi, serta mengemong pada kami. Minatku pada bahasa dan sastra tumbuh berkat beliau.

Suatu saat beliau meminta kami berakting berdasarkan secuplik naskah sederhana. Suasana yang digambarkan oleh naskah itu adalah obrolan  santai sore hari antara dua teman.

"Gita, postur tubuhmu masih terlalu kaku. Anis, cara berdialogmu terlalu lurus kurang intonasi. Coba sekarang giliran Septi dan Sugi." Pak Rahman menunjukkan kekurangan kami. Dua kakak kelas yang ditunjuk segera berakting.

"Nah, mari kita bandingkan," ucap Pak Rahman mengevaluasi. "Septi dan Sugi membawakan  adegan mengobrol dengan lebih rileks. Memang seperti itulah seharusnya. Beraktinglah  sewajar mungkin, bayangkan jika kamu sedang bercakap-cakap dengan temanmu. Mengerti, ya?" Kami mengangguk paham.

Kegiatan ekskul di klub drama   menjadi candu bagiku. Pak Rahman tak hanya mengajarkan seni peran, tapi juga pengayaan pelajaran bahasa Indonesia. Bergantian dengan Bu Makarti, guru bahasa Indonesia kelas tiga, kami diajarkan pula menulis cerita dan puisi. Hal-hal yang menjadi minatku sejak SD.

Selain itu aku pun jadi tahu bagaimana proses pemuatan karya di mading--majalah dinding. Siswa yang ingin mengirim karya--entah  puisi, artikel pengetahuan umum, maupun gambar--bisa memasukkan hasil karya itu ke kotak khusus. Kotak tersebut berupa kotak kayu dengan lubang seukuran amplop di atasnya. Isi kotak akan disortir setiap Sabtu siang, oleh pustakawan, dan dipantau guru bahasa serta guru kesenian. Karya yang terpilih ditayangkan tiap hari Senin hingga Sabtu. Karya yang dianggap tak layak adalah yang tidak rapi, atau bahasanya tidak sopan.

Animo para siswa cukup besar terhadap isi mading. Dan tentu saja, jika ada karya yang mengundang kehebohan hampir bisa dipastikan adalah puisi cinta. Seakan sudah jadi kesepakatan, puisi cinta adalah alat untuk menyatakan perasaan antar siswa secara terselubung. Ditandai adanya catatan kecil di bagian bawah: dari 'a' kepada 'b'.

"Vit, ini gambarmu, kan?" Fitri menjawil pipi Vita. Terlihat gambar seorang gadis berambut ikal yang ekspresif di lembar kertas HVS. Khas coretan tangannya yang berbakat, terlihat komikal, dengan bubuhan warna cat minyak yang semarak.

Wajah Vita berseri-seri. "Ahay! Gambarku wagu, ya?" Serentak kami menggeleng. Wagu--jelek atau janggal--jelas bukan kata yang tepat untuk hasil gambar yang terlihat hidup seperti itu. Tapi begitulah cara Vita merendah.

"Eh, Git. Ini bukannya puisi si Rudi?" Gantian Vita mencolek lenganku. Seketika sebutir tomat matang di pipiku.

"Eciee, ini kenapa bagian akhirnya ada tulisan 'buat G di 2B'?" Fitri tambah membuat dadaku berdebar tak karuan. Dua sahabatku ini meledek habis-habisan. Mereka tahu aku sedang jatuh hati pada cowok kelas 3 itu. Menurutku, gayanya cool  dan wajahnya menarik. Nilai plus lain, cowok itu suka menulis puisi. Jadi aku coba-coba mengiriminya puisi terlebih dahulu lewat mading. Tak kusangka dia mau membalasnya.

"Ih, sudah, dong! Coba baca puisinya. Isinya, kan, biasa saja. Nggak ada bilang suka-sukaan." Aku berusaha mengalihkan perhatian Fitri dan Vita. Untunglah bel tanda istirahat berakhir segera berdering, memutus pembahasan tentang Rudi dan puisi.

Sejak Rudi membalas puisiku, kami jadi sering bertukar sapa tiap bertemu. Ternyata dia  ramah, tak seperti persangkaanku semula. Hingga beberapa kali edisi mading kami masih saling berbalas puisi. Sungguh menyenangkan rasanya. Tapi aku harus puas sampai di situ saja.

"Gimana, sih? Kok, nggak berlanjut?" protes Vita dan Fitri berbarengan.

Aku nyaris tersedak es kelapa yang tengah kuminum. "Ya, nggak apa-apa, tho?"

Dua gadis itu bersungut-sungut. Mereka bilang aku aneh. Punya rasa suka tapi tak mau berlanjut, jadi pacar misalnya. Padahal kesempatan sudah terbuka. Lama-lama keki juga aku dipojokkan begitu oleh sahabat sendiri.

"Sudah, pokoknya aku nggak mau berlanjut. Enakan jadi teman aja. Titik! Awas kalo masih ngeledek aja, aku pergi, nih!" pungkasku. Vita dan Fitri saling bertukar pandangan, lalu tergelak.

"Woo, jengkel, nih!" sorak Fitri

"Ya udah, sama si Supri aja, Git!" Vita dengan seenaknya menyebut nama seorang adik kelas.

"Enak aja!"

Ah, andaikan dua sahabatku tahu. Sebetulnya ada alasan lain mengapa hubunganku dan Rudi tak beranjak dari sekadar teman. Suatu hari sepulang sekolah, aku melihat cowok itu berjalan bersama cewek dari SMP lain. Mereka  sangat akrab. Selain itu, ternyata Rudi seorang perokok. Aku pernah memergokinya di gerbang belakang sekolah saat hendak mengeluarkan sepeda. Jadi, dua fakta tersebut membuatku pilih mundur teratur. (*)

Cilacap, 250317-181218


(Ilustrasi: pinterest)

Senin, 17 Desember 2018

[Review] Keluhuran Budi Seorang Anak Yatim


Oleh : Gita FU

Judul Buku            : Mukena untuk Ibu
Penulis.                  : Prajawan, S.Pd
Penerbit                 : JWriting Soul Publishing
Cetakan.                 : Pertama, Agustus 2018
Halaman                : 95 hlm, 14x20 cm
ISBN.                       : 978-602-5918-60-5


Mengajarkan anak-anak untuk berempati pada sesama antara lain bisa dilakukan melalui cerita. Ya, cerita anak yang sarat nilai edukasi, tapi dengan bahasa ringan supaya mudah dicerna. Buku ini salah satunya, novel anak yang ditulis seorang guru di sela-sela kesibukan mengajarnya.

Dikisahkan seorang anak yatim kelas 6 SD bernama Bayu, hidup dalam kondisi serba kekurangan bersama ibunya. Ibu Bayu bekerja keras sebagai buruh cuci piring di sebuah rumah makan yang cukup terkenal. Bayu sendiri bekerja paruh waktu selepas pulang sekolah, sebagai pencetak batu bata di ladang tetangga. Sungguh pun demikian, kemiskinan tidak mengurangi nilai positif dalam diri Bayu. Dia dikenal sebagai juara kelas, bersifat santun, dan baik hatinya (hal.3).

Namun malang tak dapat ditolak. Akibat terlalu memaksakan diri, ibu Bayu jatuh sakit. Sakit keras yang dialaminya  membuat roda perekonomian makin tersendat, karena ibu Bayu mesti absen bekerja. Tentu saja hal ini mengusik Bayu.  Sebagai anak yang bertanggung jawab, Bayu tergerak menggantikan pekerjaan ibunya di rumah makan itu. Bagaimana reaksi ibu Bayu? Tentu saja beliau berkeberatan. Namun Bayu gigih meyakinkan ibunya, sehingga wanita tersebut mau juga mengijinkan. Setelah itu Bayu menghubungi sang pemilik rumah makan. Awalnya dia ditolak dengan alasan belum cukup umur. Syukurlah berkat rekomendasi salah satu pegawai, sang pemilik akhirnya menerima Bayu bekerja paruh waktu (hal. 29).

Pada dasarnya Bayu mudah menyesuaikan diri. Dia rajin dan ramah. Hal ini menjadikan Bayu disukai majikannya. Sayangnya, putri sang majikan yang bernama Devi justru memusuhi Bayu. Rupanya mereka sekelas. Di sekolah Bayu adalah juara kelas, sehingga Devi menyimpan dendam dan iri hati pada prestasinya.
Berbagai hal Devi lakukan untuk menyakiti Bayu di rumah makan ayahnya tersebut. Namun Bayu bertahan dan menahan diri.

"Bayu teringat pesan Ibu untuk selalu bersabar dalam menghadapi segala cobaan. Ia juga sudah mengira Devi akan berbuat semena-mena terhadapnya. Di sekolah Devi juga menggunakan segala cara untuk menjatuhkan prestasi Bayu." (Hal. 32).

Puncak balas dendamnya, Devi melakukan fitnah keji pada Bayu. Akibatnya Bayu diusir dari rumah makan. Akankah kali ini Bayu berhasil keluar dari kematangannya?

Alur cerita dalam novel ini lurus dan sedikit mirip sinetron  di layar televisi. Terutama di bagian konflik yang dialami Bayu. Mungkin hal ini disebabkan sasaran utama pembaca adalah anak-anak.  Pesan yang ingin disampaikan penulis antara lain kejujuran dan sikap pantang menyerah. Dengan bersikap jujur niscaya mendatangkan kemujuran, dan meskipun dalam kondisi kekurangan hendaklah kita tetap berjuang meraih prestasi. Di luar kekurangannya buku ini  layak dibaca,  khususnya bagi anak-anak sekolah dasar. (*)

Cilacap, 171218