Cari Blog Ini

Senin, 24 Desember 2018

[Cerita Mini] Remah-remah Keju



Oleh: Gita FU

Hujan  menderas. Belasan kali Gea menyibak korden jendela, memindai kemunculan Ayah di pelataran kompleks rumah kos ini. Sudah  lewat satu jam dari azan ashar. Entah kemana perginya Ayah.

Gadis cilik sebelas tahun itu menekap perutnya, mencoba menghentikan genderang marching band di dalam sana. Makanan terakhir yang masuk  adalah dua potong bakwan, berjam-jam lalu di kantin sekolahnya. Kini Gea bergulingan di kasur. Perih. Lapar.

Nyalang matanya mengukuri empat dinding kamarnya. Gea mengingat-ingat waktu. Rasanya sudah berabad-abad ia dan Ayah meninggali tempat ini. Kalau tak salah hitung, empat bulan ia terpisah dari Ibu dan dua adiknya. Benar, empat bulan.

Ah, kenapa sih, orang-orang dewasa itu begitu rumit? Kenapa mereka yang katanya lebih pintar, tak bisa memecahkan masalah? Gara-gara mereka, ia dan adik-adiknya dipaksa menerima kosakata baru: cerai. Cerai adalah berpisah; Ayah dan Ibu tak satu rumah lagi; ia dibawa pergi Ayah, sedangkan Rea dan Aga tinggal bersama Ibu. Menyebalkan! Gea mengusap matanya yang mendadak banjir.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Gea berderap membuka kuncinya, berharap itu Ayah yang datang.

"Gea, sendirian, ya?" Bukan, bukan Ayah. Itu Pak Isa tetangga sebelah kamar. "Ah, ini ada sedikit roti dan keju buat Gea dan Ayah. Dimakan, ya?"

Gea menerima bungkusan, "Terima kasih, Pak!" Untung Gea belum lupa kesopanan. Pak Isa tersenyum sebelum kembali ke kamarnya.

Duduk menghadap meja satu-satunya di kamar, Gea mengeluarkan isi bungkusan. Dahinya mengernyit, ada empat lembar roti tawar persegi, dan empat lembar ... Keju?

Ia tahu tentang keju dari iklan-iklan di televisi dan majalah. Konon keju dibuat dari susu, bergizi, dan lezat pula. Benarkah? Ia belum pernah melihat  secara langsung. Jadi begini bentuknya? Tipis, persegi empat, berwarna kekuningan. Ia usap permukaan selembar keju. Lalu Gea mengendus-endus, mirip kucing membaui ikan. Seperti apa rasanya?

Gea mencuil salah satu ujungnya, membawanya ke mulut. Oh, asin! Dicuilnya lagi ujung yang lain, dan mengunyahnya. Eh, gurih!
Cuilan demi cuilan berubah menjadi suapan yang lebih besar. Terus kunyah, dan telan. Lidah Gea berdansa. Cacing-cacing di perutnya bersuka ria. Gea lupa menyisihkan bagian untuk Ayah. Yang ada hanya ia dan keju. Terus hingga tandas. Namun Gea masih mencari remahan, barangkali terjatuh  di permukaan meja. Ia masih belum puas. Rasa keju itu membuatnya ketagihan.

Mendadak pintu dibuka seseorang. "Gea, Ayah pulang!" Wajah Ayah terlihat lelah. Rambut dan jaketnya basah. Ia menenteng bungkusan plastik di kedua tangannya.

"Maafkan Ayah yang pulang terlambat, ya, Nak. Tadi Ayah ada urusan penting. Ini Ayah bawa makanan," ucapan Ayah terputus, "kamu sedang apa, Nak?"

Gea mendongak, sesaat berhenti dari kesibukannya menjilati plastik pembungkus keju. "Ngg, Ayah? Ini Gea lagi makan keju. Enak banget! Tapi maaf, ya, bagian Ayah juga Gea makan. Habis Ayah lama, sih. Gea 'kan lapar!" Gadis cilik itu kembali pada kesibukannya.

Ayah termangu, sisa air hujan menetes ke pelipisnya. Dia baru sadar telah menelantarkan putrinya seharian ini. (*)

Cilacap, 241218

Jumat, 21 Desember 2018

[Review] Ove, si Pria Hitam Putih



Oleh: Gita FU

"Ove memahami hal-hal yang bisa dilihat dan disentuhnya. Semen dan beton. Kaca dan baja. Perkakas. Hal-hal yang bisa dicari jawabannya. Dia memahami sudut tegak lurus dan manual instruksi yang jelas. Model dan gambar rakitan. Hal-hal yang bisa digambarkan di kertas. 
Ove adalah lelaki hitam-putih." (Hal. 50)

Secara umum, pria seperti Ove bukanlah jenis orang populer yang ingin kita jadikan teman mengobrol akrab. Dia kaku, pemberang, dan sulit. Dia amat saklek pada aturan. Jika kamu melihat plang dilarang berkendara di atas 40 km/jam, ada kemungkinan kamu akan sedikit melanggarnya. Terutama saat sedang buru-buru. Tapi Ove tidak. Jika dia mempunyai kupon bertuliskan "50 krona 2 tanaman", besar kemungkinan dia siap adu mulut dengan penjaga gerai agar dia hanya membayar 25 krona saja karena hanya butuh satu tanaman. Seperti itu.

Ove sama sekali tidak menaruh simpati pada orang yang tidak bisa membetulkan papan lantainya sendiri, atau kasau rumah yang lepas. Karena dia selalu melakukan semua hal itu dengan amat baik. Ove juga tak bisa mengerti mengapa zaman sekarang orang tergila-gila pada mobil otomatis, berteknologi canggih, yang mengandalkan bantuan radar mundur untuk memundurkan mobil. Menurut Ove orang seperti bitu tak pantas punya SIM. Ove tak menyukai mobil buatan luar. Baginya Saab yang terbaik. Hanya Saab, sebelum diambil alih General Motor.


"Kau merindukan hal-hal teraneh ketika kehilangan seseorang. Hal-hal sepele. Senyuman. Cara perempuan itu berbalik ketika sedang tidur. Kau bahkan rindu mengecat ulang ruangan untuknya." (Hal. 76)

Dan Ove amat merindukan Sonja. Bahkan setelah 6 bulan kepergiannya, Ove masih berkeliling rumah setiap pagi, mengecek apakah Sonja menaikkan suhu radiator diam-diam. Bagi Ove, dia tidak hidup sebelum bertemu dan sesudah ditinggal Sonja. Karena dia memandang semua warna melalui Sonja, istrinya. 

Sungguh novel ini berulang kali berhasil membuat saya tertawa dan menangis bergantian. Cara Fredrik Backman menarasikan kisah sang tokoh utama beserta tokoh-tokoh lainnya, amat membetot hati. Saya bersimpati pada dukacita dan kehilangan yang dirasakan Ove. Saya bisa mengerti kenapa dia ingin menyusul Sonja saja. Karena hidupnya tak sama tanpa wanita itu. Saya tersenyum-senyum bahkan tertawa sendiri ketika perlahan-lahan Ove ditarik keluar dari kesendiriannya oleh kehadiran tokoh lain. Sebut saja: Parvaneh, Patrick, dan dua anak mereka; Anders, Ilalang Pirang dan anjingnya; Jimmy si pemuda obesitas; Adrian si pelayan kafe; Mirsad si gay yang bertengkar dengan ayahnya; Anita dan Rune; Lena si jurnalis; pria berkemeja putih; dan jangan lupakan si kucing setengah botak.

Pada akhirnya Ove yang serba teratur dan taat aturan tak bisa tak peduli pada para tetangga yang melanggar aturan. Dia terlibat begitu saja dengan kehidupan orang lain. Uniknya, semua dia lakukan karena tak mau Sonja marah atau tak ingin ayahnya kecewa; keduanya orang-orang yang amat berpengaruh dalam hidup Ove.

Melalui novel ini saya bukan saja amat sangat terhibur, tetapi juga mendapat banyak perspektif baru tentang kehidupan dan kematian. "Sesuatu dalam diri seseorang akan hancur berkeping-keping jika dia harus menguburkan satu-satunya orang yang selalu memahaminya." (Hal. 426).

Kredit buat mbak Shabrina WS yang telah berbaik hati meminjamkan Ove, hingga saya bisa ikut berkenalan dengannya. Sungguh luar biasa. (*)

Cilacap, 211218

Keterangan foto: 
1. Dok. Pribadi
2. Mobil Saab 9000, sumber Google.



Kamis, 20 Desember 2018

[Ragam] Taman Cantik di DPR



Oleh: Gita FU


DPR yang saya maksud adalah Daerah Pinggir Rel. Daerah ini pada umumnya merupakan area gersang dan kosong yang tidak menarik hati. Warga yang tinggal di dekatnya pun harus berhati-hati tidak boleh lengah karena kereta bisa melintas sewaktu-waktu. Itulah sebabnya daerah pinggir rel biasanya diberi semacam tanggul sebagai pembatas. Namun kesan itu patah saat kita melihat DPR di suatu RT yang masuk  wilayah kelurahan Tegalreja, kecamatan Cilacap Selatan ini. Tepatnya areal pinggir rel di belakang Jalan Perkutut Timur- Jalan Beo Timur.




Sejak kurang lebih setahun yang lalu, warga setempat berswadaya membangun konsep taman, yang mereka namai Taman Kampung KB. Aneka tanaman hias, lengkap dengan beberapa gazebo, bangku, serta ayunan untuk bermain, menjadi kesatuan  yang berpadu indah. Bahkan di beberapa titik terlihat kreasi dari bahan limbah plastik. Unik, dan cantik. Saat malam tiba, taman ini diterangi aneka lampu hias.



Warga setempat bergiliran merawat taman tersebut. Saat saya berkunjung kemarin sore (19/12), beberapa warga terlihat menyirami tanaman dengan selang air, serta memperbarui cat yang memudar pada ornamen bebatuan.

Keindahan taman ini tak pelak menjadi pusat perhatian pelintas maupun warga dari kelurahan tetangga, seperti saya. Cukup berjalan kaki dari rumah sekira 30 menit, saya dan anak-anak sampai di taman. Apalagi kalau sambil bawa bekal makanan, terasa sedang piknik jadinya. Murah, meriah, sehat, dan menyenangkan.



Kekurangannya adalah tidak tersedia tempat parkir. Dikarenakan sempitnya jalan aspal yang melewati area ini. Pinggir jalan langsung berbatasan dengan rumah warga, dan sebagian besar tidak punya pekarangan. Akibatnya  pengunjung taman yang membawa kendaraan roda dua, harus rela parkir cukup jauh, yaitu di ujung jalan masuk ke area DPR ini.

Bagaimana, tertarik berkunjung? (*)

Cilacap, 201218