Cari Blog Ini
Selasa, 11 Desember 2018
[Cernak] Kemenangan Palsu
Oleh: Gita FU
Sore ini Dida yang baru pulang dari rumah sakit, dikunjungi Doni teman sekelasnya. Sambil berbaring Dida mendengarkan cerita temannya itu.
"Wah, jadi sekarang sekolah kita sedang ramai ya, Don?"
"Tentu. Parade lomba-lomba saja berjalan seminggu penuh. Ada lomba cerdas cermat antar kelas, cipta puisi dan cerita pendek, serta pidato. Belum lagi lomba-lomba yang mirip acara tujuh belasan," celoteh Doni berapi-api. Lalu tangan kanannya mencomot biskuit cokelat dari stoples.
Dida termenung. Betapa inginnya dia segera masuk sekolah. Tanpa sadar tangan kirinya meraba perban di puncak kepala.
"Berapa lama lagi baru kamu bisa masuk, Da?" prihatin Doni.
"Hmm, kata ibuku paling cepat minggu depan. Aku masih harus periksa jahitan lagi," sahut Dida pelan. Kepalanya belum lama ini dioperasi akibat kecelakaan tiga minggu lalu. Saat itu dia bersepeda sepulang sekolah, lalu ditabrak pengendara motor dari belakang.
Doni menepuk-nepuk bahu temannya. "Sabar, ya. Pasti kamu cepat pulih, kok."
Doni melihat ke jam dinding, sudah pukul lima. "Aku mau pamit dulu, Da," ucapnya. "Oh iya, bolehkah aku meminjam beberapa majalah anak-anak ini? Aku ingin mencari inspirasi untuk ikut lomba cipta puisi."
Dida menoleh pada rak berisi koleksi majalah miliknya. "Boleh saja. Asal ingat, jaga baik-baik majalahku, ya!"
"Siap!" Tak lama Doni pun berpamitan pada Dida dan ibunya. Tinggallah Dida seorang diri di kamarnya. Dida tak sabar ingin masuk sekolah kembali.
***
Seminggu kemudian, Dida kembali ke sekolah. Bu Erna dan teman-temannya menyambut meriah. Dida merasa terharu sekaligus gembira atas perhatian mereka.
Saat jam istirahat tiba, Dida bertanya pada kawan-kawannya. "Hei, bagaimana perlombaan minggu lalu? Apa sudah ada pengumuman pemenang?"
"Tentu saja sudah! Kelas kita juara pertama lomba cerdas cermat, mengalahkan kelas 5A dan 5C! Dan Doni jadi juara satu cipta puisi, lho!" seru Tatang, dan Wawan.
"Syukurlah! Mana Doni? Aku ingin kasih selamat," tanya Dida.
"Paling ke kantin," jawab Dina.
"Omong-omong hasil karya juara cipta puisi dan cerita pendek, dipajang di Mading, Da."
"Wah, aku mau lihat, ah!"
"Yuk, kuantar," sambut Dina.
Dida merasa ada yang aneh, usai membaca puisi berjudul 'Istana Paling Indah'. "I-ini puisinya Doni?" tanyanya pada Dina.
"Iya. Bagus, kan?"
Dida menggeleng bingung. "Entahlah, tapi rasanya..."
Tiba-tiba dari belakang Doni mengagetkan mereka. "Hai! Sedang membaca karyaku?"
Dida tersentak. Dia ingat sesuatu. "Eh, Doni. Emm, selamat, ya. Oh iya, bisakah kamu kembalikan majalah-majalahku sore ini?"
Mendadak Doni gugup. "Oh, majalahmu? Ngg, ya-ya. Nanti kalau sempat, ya. Sudah dulu, ya. Aku mau ke kelas!"
Dina heran, "Kenapa dia?"
Dida menarik Dina menepi ke dekat perpustakaan. "Aku mencurigai sesuatu, Din. Begini, puisi yang jadi juara itu aku yakin dijiplak dari salah satu majalah anak-anak!" Lalu Dida menceritakan soal beberapa majalah miliknya yang telah dipinjam Doni. Karena Dida gemar membaca, tentu saja dia masih hafal isi dari majalah-majalah kesukaannya itu.
Dina terbelalak kaget. "Begini saja, nanti sepulang sekolah kamu menghadap Bu Erna saja, Da. Ceritakan semuanya. Selanjutnya biar Bu Erna yang memutuskan. Bagaimana?"
Dida mengangguk setuju. Tak lama terdengar bel masuk berbunyi.
***
Berkat laporan Dida, Bu Erna dan guru lainnya segera menyelidiki puisi milik Doni. Doni pun tak bisa mengelak lagi saat disodori barang bukti. Yaitu puisi versi aslinya, di majalah anak-anak milik Dida. Pengumuman dari pihak sekolah menyusul dua hari kemudian, berupa pembatalan kemenangan Doni.
Bu Erna bicara di depan kelas 5B mengenai peristiwa tersebut. "Tahukah kalian, anak-anak? Menjiplak suatu karya cipta, sama dengan perbuatan mencuri. Dan mencuri adalah tindakan tercela yang dibenci Allah. Jujurlah kalian dalam berkarya. Tidak ada gunanya kemenangan yang palsu. Doni kemarilah. Mintalah maaf pada teman-teman sekelas yang telah kamu kecewakan."
Dida menatap Doni yang berdiri di samping Bu Erna. Sebenarnya dia kasihan pada temannya itu. Namun perbuatan salah tak boleh ditutupi atau dibela. Itulah pesan ibu dan ayah padanya. (*)
Cilacap, 280318
(Pernah dimuat di Harian Fajar Makassar)
Labels:
Cerita Anak

Senin, 10 Desember 2018
[Review] Mengapresiasi Parodi dalam Puisi
Oleh: Gita FU
Judul : Tuhan Tidak Tidur Atas Doa Hamba-Nya yang Begadang
Penulis. : Maulidan Rahman Siregar
Cetakan. : Pertama, 2018
Hlm : x + 90
ISBN. : 978-602-6506-85-6
"Aku mencintaimu, dan berpikir keras
bagaimana puisi menyelesaikan ini." (Hal. 3).
bagaimana puisi menyelesaikan ini." (Hal. 3).
Seringkali saya mengerutkan dahi ketika membaca kebanyakan puisi. Mencoba memaknai apa yang dimaui sang penyair. Hal itu diakibatkan metafora alias bahasa kiasan tingkat tinggi yang kerap bertebaran di tubuh puisi. Dan katanya itu lumrah. Sebab puisi tak sama dengan cerita pendek. Puisi harus puitis, diksinya pilihan, ada kaidah yang (wajib) diikuti.
Setidaknya itu pelajaran yang saya dapat semasa sekolah.
Kembali pada persoalan memahami bahasa puisi, dalam buku kumpulan puisi ini saya temukan perbedaan. Alih-alih berdiksi rumit, Maulidan malah menuliskan apa adanya, tanpa kehilangan watak puisi. Meskipun di beberapa tempat cenderung banal. Tema yang diambilnya pun cukup beragam. Mulai dari persoalan cinta, hingga aneka persoalan sosial.
Selain terkesan apa adanya dalam memilih kata, Maulidan pun kerap menggunakan peristiwa Kekinian sebagai pembanding. Sehingga pembaca dapat ikut memaknai pesannya. Misalnya puisi berjudul 'Rindu Melulu' (hal. 38) ini:
Mencintaimu, kekasih,
lebih pedih dari cerpen
yang tokoh utamanya,
bunuh diri karena tak mampu beli rokok.
Mencintaimu, kekasih,
Lebih baik puisi, dari sajak segala pilu
Lebih sendiri dari malam pekat
Seringkali tak mampu tertulis
Keluar-berlari dari sajak-sajak ini.
Mencintaimu bahkan
lebih ngilu dari goyangan biduan dangdut semok
tak ada pilihan bagiku
selain mabuk dan pulang.
Hal menarik lainnya adalah unsur parodi pada sebagian besar puisi Maulidan. Dengan teknik interteks penulis menyandingkan puisinya dengan puisi Sapardi Djoko Damono. Misal puisi 'Maaf Sapardi' (hal. 14), di mana dia menukil bait terkenal dari puisi 'Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana', menjadi puisi cinta yang sama sekali berbeda.
Aku ingin mencintaimu dengan ribet
Dengan cerita yang tak sempat dikisahkan air kepada toilet yang menjadikannya mencret.
Aku ingin mencintaimu dengan ribet
Dengan mata pencopet yang tak sempat diceritakan Bayu kepada Slamet yang menjadikannya kepepet.
Mencintaimu bukan soal bagaimana cara bertahan,
Mencintaimu adalah seberapa kuat merawat kehilangan.
Tentunya masih banyak judul lain dalam kumpulan puisi ini yang layak diapresiasi. Maulidan sebagai penyair muda asal Padang telah ikut memberi warna dalam ranah sastra kita.(*)
Cilacap, 101218
Selain terkesan apa adanya dalam memilih kata, Maulidan pun kerap menggunakan peristiwa Kekinian sebagai pembanding. Sehingga pembaca dapat ikut memaknai pesannya. Misalnya puisi berjudul 'Rindu Melulu' (hal. 38) ini:
Mencintaimu, kekasih,
lebih pedih dari cerpen
yang tokoh utamanya,
bunuh diri karena tak mampu beli rokok.
Mencintaimu, kekasih,
Lebih baik puisi, dari sajak segala pilu
Lebih sendiri dari malam pekat
Seringkali tak mampu tertulis
Keluar-berlari dari sajak-sajak ini.
Mencintaimu bahkan
lebih ngilu dari goyangan biduan dangdut semok
tak ada pilihan bagiku
selain mabuk dan pulang.
Hal menarik lainnya adalah unsur parodi pada sebagian besar puisi Maulidan. Dengan teknik interteks penulis menyandingkan puisinya dengan puisi Sapardi Djoko Damono. Misal puisi 'Maaf Sapardi' (hal. 14), di mana dia menukil bait terkenal dari puisi 'Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana', menjadi puisi cinta yang sama sekali berbeda.
Aku ingin mencintaimu dengan ribet
Dengan cerita yang tak sempat dikisahkan air kepada toilet yang menjadikannya mencret.
Aku ingin mencintaimu dengan ribet
Dengan mata pencopet yang tak sempat diceritakan Bayu kepada Slamet yang menjadikannya kepepet.
Mencintaimu bukan soal bagaimana cara bertahan,
Mencintaimu adalah seberapa kuat merawat kehilangan.
Tentunya masih banyak judul lain dalam kumpulan puisi ini yang layak diapresiasi. Maulidan sebagai penyair muda asal Padang telah ikut memberi warna dalam ranah sastra kita.(*)
Cilacap, 101218
Labels:
Review

Jumat, 07 Desember 2018
[Review] Kisah yang Membuatmu Makin Percaya Tuhan
Oleh: Gita FU
Saya yakin sudah banyak ulasan mengenai novel fenomenal ini di internet. Karena itu saya tidak akan mengulas plot, kelebihan atau kekurangan cerita seperti biasanya.
Lalu apa yang mau saya angkat dari novel ini? Jawabannya: ide tentang kesadaran adanya kuasa Tuhan dalam medium apapun.
Begini, dalam hidup kita pasti ada yang namanya titik rendah. Yaitu semua sikap negatif saat menghadapi problematika kehidupan. Bahkan mungkin yang paling buruk ialah mempertanyakan di mana Tuhan saat saya butuh? Begitu, bukan? Nah, bagian terpanjang dari kisah Pi Patel ini ada pada bagian itu. Titik terendah hadir dalam bentuk dia kehilangan seluruh anggota keluarga, tercabut dari rumah, lalu terombang-ambing di tengah samudera Pasifik berminggu-minggu, ditemani seekor harimau Bengal--dan ajaibnya tidak memakan Pi. Siapa yang bisa dia andalkan? Tak ada. Hanya kewarasan dirinya sendirilah yang bisa menolong. Dan untuk tetap waras dia butuh keyakinan kuat pada Tuhan.
Pi merangkai seluruh kejadian yang menimpanya sebagai takdir Tuhan. Termasuk keberadaan Richard Parker sang harimau pun sudah diatur Tuhan. Segala keajaiban hidup di tengah laut beserta makhluk-makhluk yang muncul di hadapannya, dia maknai sebagai pertolongan Tuhan. Setiap dia merasa frustasi dengan nasibnya hingga terpikir mengakhiri hidup, kembali dia ingat Tuhan.
Karena imannya yang kuat pada konsep Tuhan sebagai Mahasegala, Pi menganut nyaris semua agama. Dia menjalankan ibadah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Sikh. Karena bagi Pi semua cuma soal tata cara. Intinya adalah penghambaan pada Tuhan. Begitulah cara Pi bertahan hidup.
Sungguh buku ini membawa saya pada petualangan yang seru, menghibur, dan kontemplatif. Layak dibaca. (*)
Cilacap, 071218
Saya yakin sudah banyak ulasan mengenai novel fenomenal ini di internet. Karena itu saya tidak akan mengulas plot, kelebihan atau kekurangan cerita seperti biasanya.
Lalu apa yang mau saya angkat dari novel ini? Jawabannya: ide tentang kesadaran adanya kuasa Tuhan dalam medium apapun.
Begini, dalam hidup kita pasti ada yang namanya titik rendah. Yaitu semua sikap negatif saat menghadapi problematika kehidupan. Bahkan mungkin yang paling buruk ialah mempertanyakan di mana Tuhan saat saya butuh? Begitu, bukan? Nah, bagian terpanjang dari kisah Pi Patel ini ada pada bagian itu. Titik terendah hadir dalam bentuk dia kehilangan seluruh anggota keluarga, tercabut dari rumah, lalu terombang-ambing di tengah samudera Pasifik berminggu-minggu, ditemani seekor harimau Bengal--dan ajaibnya tidak memakan Pi. Siapa yang bisa dia andalkan? Tak ada. Hanya kewarasan dirinya sendirilah yang bisa menolong. Dan untuk tetap waras dia butuh keyakinan kuat pada Tuhan.
Pi merangkai seluruh kejadian yang menimpanya sebagai takdir Tuhan. Termasuk keberadaan Richard Parker sang harimau pun sudah diatur Tuhan. Segala keajaiban hidup di tengah laut beserta makhluk-makhluk yang muncul di hadapannya, dia maknai sebagai pertolongan Tuhan. Setiap dia merasa frustasi dengan nasibnya hingga terpikir mengakhiri hidup, kembali dia ingat Tuhan.
Karena imannya yang kuat pada konsep Tuhan sebagai Mahasegala, Pi menganut nyaris semua agama. Dia menjalankan ibadah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Sikh. Karena bagi Pi semua cuma soal tata cara. Intinya adalah penghambaan pada Tuhan. Begitulah cara Pi bertahan hidup.
Sungguh buku ini membawa saya pada petualangan yang seru, menghibur, dan kontemplatif. Layak dibaca. (*)
Cilacap, 071218
Labels:
Review

Langganan:
Postingan (Atom)