Cari Blog Ini

Senin, 01 November 2021

Pentingnya Melatih Soft Skill Anak di Era Digital

  


Dear Parents,

Pandemik yang telah berlangsung lebih dari setahun ini ternyata menyimpan bahaya laten tersembunyi bagi kondisi psikologis anak-anak kita. Bahkan sesungguhnya merekalah korban tersembunyi dari Covid-19. Demikian yang disampaikan oleh Yohana Theresia, M. Psi., psikolog dari Yayasan Heart of People.id, dalam webinar parenting bersama Faber-Castell Indonesia pada hari Sabtu, tanggal 25 September lalu. 

Yohana memaparkan hasil penelitian Soetikno, Agustina, Verauli, Tirta (2020). Bahwa ditengarai ada peningkatan permasalahan perilaku dan masalah akibat paparan stres, di kala pandemik ini. Masalah-masalah tersebut antara lain:

  • Menarik diri dari keramaian (withdrawal); 
  • Gangguan psikosomatis, yakni gangguan psikologis yang ditandai adanya keluhan di area fisik tertentu; 
  • Agresi; 
  • Depresi. 

Faktor pencetus masalah tersebut di atas ialah: ruang gerak yang terbatas, hambatan menjalani proses pendidikan di masa pandemik, orangtua yang sibuk, serta kondisi psikis yang labil. 

  Keadaan tersebut di atas memunculkan perilaku instan, yang banyak dilakukan orang tua untuk mengatasi masalah pada anaknya. Apakah itu? Memberikan gawai. 

Padahal gawai di tangan anak-anak bak koin bermuka ganda, ada sisi positif dan ada sisi negatif. Selama ini kebanyakan para orangtua cenderung mengabaikan sisi negatifnya. Sehingga mereka tidak memberi batasan waktu yang jelas (screen time) kepada anak-anaknya, perkara durasi memakai gawai. 

Omong-omong, apa sajakah efek negatif dari pemakaian gawai berlebihan terhadap anak-anak? Yohana menyitir riset yang dilakukan oleh Straker, Leon M. & Howie, Erin K. (2016) dan Dr. John Hutton (2020), bahwa efeknya adalah:




Maka dari itu Yohana memberi saran agar para orangtua bersikap cerdas. Pilihkanlah bentuk permainan yang cocok bagi anak-anak, sesuai umur dan kebutuhan. Sebab dengan permainan yang tepat guna akan mendukung tumbuhnya daya kreativitas, serta mengembangkan imajinasi mereka. Kreativitas dan imajinasi yang tinggi pada akhirnya bisa menciptakan pribadi-pribadi yang kreatif. 

Apa itu kreativitas? Ialah kemampuan untuk memproduksi/mengembangkan suatu karya asli, ide, teknik, atau pemikiran. 

Kriteria sosok yang kreatif:

  • Memaknai masalah dengan cara yang unik
  • Berani mengambil resiko
  • Menyajikan ide berbeda
  • Tahan banting dalam menghadapi berbagai masalah. 

Berita baiknya, kreativitas bisa diajarkan dan ditumbuhkan pada anak-anak melalui aktivitas sehari-hari di kehidupan nyata. 

Ingatlah, anak-anak kita tumbuh di era digital. Suatu era yang ditandai laju arus informasi dan data, yang menerabas sekat geografis. 

Mari asah soft skill anak-anak semenjak dini, parents! Melalui medium kegiatan yang menyenangkan tentunya. Salah satunya dengan permainan yang berbasis pada kesenian. 

Rabu, 31 Maret 2021

Harlok dan Isu Kekerasan Terhadap Anak

Novel Kereta Malam Menuju Harlok
Kereta Malam Menuju Harlok (Dok. Gita FU) 


Oleh: Gita FU


Judul      : Kereta Malam Menuju Harlok

Penulis   : Maya Lestari Gf

Penerbit : Indiva Media Kreasi

Cetakan : Pertama, Januari 2021

Hal         : 144  hlm

ISBN       : 978-623-253-017-1

Harga     : Rp 45.000 (P. Jawa) 

Novel  yang menjadi juara dua pada Kompetisi Menulis Anak Indiva 2019 ini mengambil tema yang tak biasa, yakni kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak bisa diartikan sebagai tindakan kekerasan  fisik, penganiayaan emosional/psikologis, pelecehan seksual, dan pengabaian. Dari empat macam kekerasan tersebut, Maya Lestari Gf mengambil fokus pada pengabaian anak. 

Pengabaian atau penelantaran anak adalah kondisi di mana orang dewasa yang bertanggung jawab, gagal  menyediakan kebutuhan yang memadai untuk berbagai keperluan; termasuk fisik (kegagalan  menyediakan makanan yang cukup, pakaian, kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), dan medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter). 

Anak adalah anugerah, titipan, sekaligus ujian bagi orang tua. Setiap anak terlahir suci, bagaimanapun kondisi fisik yang menyertainya. Apabila seorang anak lahir dengan cacat bawaan itu bukanlah kesalahan si anak. Ia tak minta dilahirkan. Justru kewajiban orang tua memberi pengayoman pada sang buah hati. Bukan malah diabaikan atau ditelantarkan.

Novel ini ditulis dengan semangat menyadarkan pembaca akan hakikat kemanusiaan, perlakuan manusiawi dan penuh kasih terhadap anak-anak. Ditujukan untuk pembaca anak-anak, dibalut fantasi tentang Kereta Malam dari langit. 

Anak-anak Telantar yang Dimanfaatkan 


Di Kukila, panti khusus anak-anak cacat, terdapat sembilan anak dan satu pengasuh panti. Masing-masing memiliki cacat fisik. Misalnya Tamir, ia tak punya kaki dan mata kanan. Atau Awab yang terkena sindrom autis. Begitu pula Amar, semua jemari tangan kirinya tidak tumbuh sempurna (hal. 6-8).

"Betapa enaknya punya ibu. Ada yang selalu memasakkan makanan lezat untukmu. Di panti asuhan semuanya berbeda. Kau harus mengurus dirimu sendiri. Semua anak punya jadwal memasak. Jika mereka tidak patuh pada jadwal, tidak ada yang makan hari itu." (hal. 11).
Pengasuh panti mereka adalah lelaki lima puluh tahun bernama Amang. Ia lelaki pemarah, tidak sayang pada anak-anak panti. Dan tepat di malam takbiran Amang pergi meninggalkan Kukila begitu saja. Ia menelantarkan Tamir dan teman-temannya (hal. 16).

Siapa nyana, di malam itu pula terjadi sesuatu yang hebat pada Tamir. Ketika petir menggelegar bersahutan, sebuah kereta api dari angkasa meluncur ke arah Kukila. Hanya Tamir yang melihat kedatangannya, lalu gelap melanda (hal. 20). Ketika Tamir terbangun, ia sudah ada di dalam gerbong kereta yang terlambung-lambung oleh turbulensi di awan. Rupanya Tamir dijemput oleh Kereta Malam, kereta khusus anak telantar, untuk dibawa ke Harlok, sebuah kota di langit (hal. 27). 

Sesudah turun dari gerbong, barulah Tamir mengetahui nasib buruk yang bakal menimpanya. Adalah Vled, seorang pria keji, yang telah menyebabkan Tamir dijemput Kereta Malam. Vled punya usaha penambangan batu seruni  di Harlok. Di sana ia mempekerjakan 40 anak laki-laki telantar dari kota-kota di bumi. Liciknya, ia menutupi pertambangan ilegal tersebut dari mata Pemerintah Kota Harlok, sebagai panti bernama Rumah Asuh Bahagia. 

Bersama anak-anak tambang lain, dan Baz sebagai pengurus mereka, Tamir menjalani hari-hari menyiksa di tambang gelap, sejak pagi hingga petang. Tenaga anak-anak terlantar itu diperas, makanan mereka memprihatinkan, kondisi mereka tak terawat. Bahkan tak ada keringanan bagi Tamir yang cacat. 

Anak-anak tambang bercerita pada Tamir, bahwa tak ada yang bisa meloloskan diri dari tambang Vled, ataupun melapor pada Departemen Anak Telantar. Karena Vled serta anteknya telah memagari lokasi mereka dengan pagar tinggi, dan singa kabut. Ironisnya, Baz sebagai orang yang bersikap baik pun tak berdaya melawan Vled. Sebab anak perempuannya disandera oleh Vled. 

Lama kelamaan penindasan Vled menjadi tak tertanggungkan lagi. Tamir dan teman-temannya memutuskan bangkit dan melawan (hal. 125-126)

Beberapa kesalahan penulisan yang saya temukan dalam novel ini tidak sampai mempengaruhi jalan cerita. Secara keseluruhan novel ini amat layak dimiliki sebagai bacaan yang bergizi, dan kontemplatif. 

Akhir kata saya ucapkan, selamat membaca. (*)

Cilacap, 310321


 

Selasa, 30 Maret 2021

Kritik Sosial dalam Novel Anak

 
Novel Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko
Novel Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko (dok. Gita FU) 


Oleh: Gita FU 


Judul      : Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko

Penulis   : Yosep Rustandi

Penerbit : Indiva Media Kreasi

Cetakan : Pertama, Juli 2020

Hal         : 160 hlm

ISBN       : 978-623-253-002-7

Harga     : Rp 40.000 (P. Jawa) 


Kompetisi Menulis Novel Anak Indiva 2019 telah menahbiskan karya Yosep Rustandi ini sebagai jawara. Tentu saja hal ini memancing rasa penasaran yang membuncah dalam dada saya, apa keistimewaannya? Maka begitu novelnya terbit, saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera mendapatkannya. 

Ternyata begitu saya mulai membaca, saya tak bisa berhenti sebelum selesai. Alur ceritanya terasa mengalir, ditambah penokohan yang kuat, serta setting yang amat realistis. Setidaknya, itulah kesan pertama saya terhadap novel ini. 

Sebenarnya tema yang diangkat oleh sang penulis terhitung berat untuk kalangan pembaca anak; yakni masalah ketimpangan sosial, ekonomi, dan pendidikan di masyarakat. Saya yakin ada tantangan tersendiri bagi penulis guna membahasakannya sesuai alam pikiran anak-anak. 


Bermula dari Apel

 Di kota kecil Cibening, ada sebuah gang sempit berisi rumah-rumah kumuh. Di sana warganya sebagian besar berprofesi sebagai pemulung, pengamen, pengemis, pedagang kecil, tukang jamu, tukang parkir, kuli serabutan, calo, hingga preman. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasanya terlalu sibuk berjuang mencari sesuap nasi. Termasuk Alin, dan Jiko yang kesehariannya menjadi loper koran atau pemulung cilik. Padahal mereka baru berusia delapan tahun. 

Tidak jauh dari gang kumuh tersebut, ada kompleks perumahan Beautiful Garden.  Kondisinya amat kontras, jalan dan rumah-rumah di sana selalu bersih. Warganya berpendidikan, serta memiliki strata sosial yang lebih baik. Kakak beradik Doni dan Dini adalah  tokoh-tokoh yang mewakili kalangan berada ini. Doni sudah kuliah semester dua, sedangkan Dini pelajar di SMA Harapan Hati. 

Di antara dua kutub yang bertolak belakang tersebut, ada sekelompok orang yang berusaha membuat jembatan penghubung. Mereka diwakili oleh tokoh Yasmin, remaja SMA Harapan Hati sekaligus volunter di Sanggar Hati. Serta Ibu Rara, Ketua LSM Sanggar Hati, sebuah LSM yang peduli terhadap anak-anak jalanan dan anak-anak miskin perkotaan. 

Emak Alin sakit yang lebih parah dari sebelumnya. Terpaksa emak libur kerja sebagai buruh cuci, dan sepenuhnya tergantung pada Alin. Di awal sakit emak pernah mengucapkan keinginan  makan apel impor besar dan harum dari negeri Cina. Dulu emak pernah diberi apel semacam itu oleh majikannya. Dalam pikiran Alin yang polos, emak pasti sembuh jika sudah makan apel.

Namun harga apel merah itu tak terjangkau oleh Alin. Penghasilannya hanya cukup untuk makan amat sederhana berdua emak. Maka suatu hari ia terpaksa menjambret seplastik apel merah dari Dini, yang baru saja menyelesaikan transaksi dengan si pedagang apel di pasar. 

"Gila kamu, akhirnya mencuri juga!" seru Jiko setelah napasnya mulai teratur. Alin memandang Jiko kecut. "Kata buku, kalau mau jadi pencuri, jadilah pencuri besar!" kata Jiko lagi. (Halaman 20).

Kisah lalu bergulir ke arah yang tak pernah Alin duga. Untung saja ada Jiko, si kutu buku sahabatnya. Berkat pengetahuannya yang luas dari buku bacaan, Jiko memberi saran-saran untuk Alin. Akan tetapi daya mereka  terbatas. Pada akhirnya Alin dan Jiko tetap membutuhkan pertolongan dari orang-orang dewasa yang mau peduli pada masalah mereka. 


Pelajaran Hidup yang Tersirat dalam Cerita

Dialog-dialog antar tokoh dalam novel ini tak jarang mengundang tawa saya. Kepolosan anak-anak terlukis begitu nyata. Narasinya lincah, peristiwa demi peristiwa terjalin runtut dan logis. Yang paling disukai oleh anak saya Hanna (pembaca berumur delapan tahun) ialah adegan kejar-kejaran antara Alin, Jiko, Atan, Sura, dan Wira hingga ke tebing di pinggir sungai. Seru, katanya. 

Di balik petualangan Alin dalam mengusahakan kesembuhan untuk emaknya, tersirat berbagai pelajaran hidup. Antara lain kejujuran, kepedulian, kebaikan hati, dan kehangatan keluarga. Saya menyusut air mata haru ketika membaca tentang emak Alin. Dikisahkan meski berada pada kondisi paling terdesak sekalipun, emak tetap kukuh tak mau makan barang hasil curian. Bahkan emak melarang Alin mengutil makanan dari tempat syukuran perkawinan. 

"Nilai hidup tidak ditentukan dari mana kita berasal dan di mana kita mati. Nilai hidup ada dalam proses menjalani. Siapa yang bisa menjalani hidup lebih baik, lebih bijak, lebih berguna, lebih ikhlas, lebih bertakwa, itulah orang-orang yang berbahagia." (hal. 157).

Lalu di manakah narasi kritik sosial tersebut? Secara tersurat ada pada penjelasan Ibu Rara di depan siswa SMA Harapan Hati mengenai tujuan LSM Sanggar Hati (hal. 18-20). Pada bagian ini mau tak mau terasa menceramahi pembaca dan sedikit membosankan. Selebihnya berkelindan bersama jalinan cerita sehingga lebih natural. 

Jika diibaratkan menu makanan, boleh dikata novel ini adalah paket komplit, sesuai misi pendidikan karakter untuk anak. Orang dewasa pun layak membacanya, untuk turut memetik inspirasi dari kisah Alin dan Jiko. Akhir kata saya ucapkan, selamat membaca! (*)

Cilacap, 300321

#lombaresensibukuindiva2020


Catatan tambahan: Alhamdulillah resensi ini masuk ke dalam 10 Resensi Terfavorit dalam Lomba Resensi Buku Indiva 2020.

Selasa, 20 Oktober 2020

Musim Kedua

Rubrik cerma Minggu Pagi

(Terbit di Minggu Pagi edisi Kamis, 8 Oktober 2020)

Oleh: Gita FU

"Ge, papaku bilang mau nikah lagi," ungkap Mita. Siang itu mereka duduk di bawah pohon kersen, di belakang rumah Gea.

"Lho, bagus tho? Papamu kan sudah menduda empat tahun," sahut Gea sambil mengudap kersen, "kalau mau nikah lagi, ya, wajar. Beliau butuh pendamping hidup yang bisa diajak berbagi, selaku pria dan wanita dewasa. Sedangkan kamu suatu saat bakal punya kehidupan sendiri."

Mita terdiam. Ia menatap sebal pada cewek berambut ikal sebahu di sampingnya itu. "Iya, Ge, iya! Tapi, mbok, ya jangan wanita itu...."

Gea menatap buah kersen yang hampir habis di mangkuknya. Sebenarnya ia sedang ingin bersantai sambil makan kersen. Mumpung tak ada tugas daring dari sekolah. Namun Mita adalah sahabatnya sejak kecil.

"Ge! Kamu masih nyimak nggak, sih?"

"Eh, apa, Mit? Kamu tadi bilang apa?"

"Aku bilang, seharusnya Papa memilih wanita selain Bu Leyla!"

"Lha, memang ada apa dengan Bu Leyla?" Seingat Gea, Bu Leyla adalah guru TK mereka dahulu. Suami Bu Leyla telah meninggal dunia enam tahun lalu.  Bu Leyla dikenal berperangai lembut. Semestinya, kan, Mita merasa beruntung sudah mengenal karakter calon ibunya.

"Ya, karena Bu Leyla itu ibunya Radit!" sembur Mita. 

Mulut Gea membulat. Ia nyaris lupa.  Mita pernah cerita belum lama ini, bahwa dirinya dan Radit baru  jadian. Pantas saja cewek berpipi kemerah-merahan ini uring-uringan. Tanpa sadar Gea menyeringai lebar. 

"Kenapa kamu kayak ketawa, gitu, Ge?" Mita bersungut-sungut tak suka.

"Soalnya kamu lucu. Penting mana, sih, pacar atau papamu?" Gea mencoba mengingatkan. Di luar dugaannya, Mita malah berdiri dengan marah.

"Kamu memang susah ngerti perasaan orang, Ge. Nyesel aku cerita!" Setelah itu Mita berlari meninggalkan rumah Gea.

 Gea menatap nanar. "Lho, memangnya aku salah ngomong, ya?" ucapnya bingung.

**

Pak Darno sedang berusaha menarik perhatian putri tunggalnya. "Jadi kamu ingin kita makan malam di restoran mana, Sayang?"

Mita belum menjawab. Ia berpura-pura menekuri materi yang dikirimkan gurunya lewat  grup WhatsApp. Sejak marah dengan Gea seminggu lalu, Mita makin galau menghadapi papanya. Sementara Papa terus berusaha meluluhkan hatinya, agar mau menerima Bu Leyla. Contohnya tawaran Papa sekarang: sebuah ajakan makan bersama besok malam.

"Mita," Papa kembali memanggil. Akhirnya Mita mendongak dari layar laptop.

"Apa Radit juga bakal ikut, Pa?" 

Papa mengernyit mendengar pertanyaan Mita. "Kalau tak salah, Bu Leyla bilang Radit akan ikut."

Hati Mita mencelos. Papa masih menunggu jawaban darinya. Mita jadi merasa iba menatap raut penuh harap, orang yang disayanginya tersebut. Ia berusaha mengatur degup jantungnya sebelum menjawab.

"Emh, bagaimana jika di Bangi Cafe, Pa? Kata teman Mita, makanan dan suasananya enak," ucap Mita, menyebut cafe baru di kota Cilacap. Papanya mengangguk lega dan gembira.

"Baik, Sayang. Terima kasih, ya. Papa janji nggak akan mengecewakan kamu. Sekarang Papa pergi sebentar. Ada urusan pekerjaan." Papanya mengacak-acak rambut Mita, penuh rasa sayang. 

Tak lama setelah Papa pergi, Mita menerima pesan WhatsApp baru. "Radit?" gumamnya. Mita berusaha menahan sesak di dada.  Ia menyudahi belajar, dan bersiap menunggu kedatangan Radit.

Tiga puluh menit kemudian Radit datang. Mita menemuinya di gazebo teras. Mereka  duduk berhadapan  dengan kikuk. Cahaya matahari sore menerabas dari sela dedaunan yang merimbuni halaman depan.

"Aku sudah memikirkan perkara hubungan kita, Mit." Cowok bermata elang itu bicara perlahan. Mita masih membisu.

"Ibu telah banyak berkorban untukku. Selain mengajar, Ibu juga membuat kue-kue pesanan orang. Ia begitu larut dalam kesibukannya itu. Setiap aku ingatkan agar beristirahat, ibuku hanya tersenyum." 

Mita menggigit bibir. Papanya pun begitu  larut dalam pekerjaan. Awalnya ia kira hal itu karena semakin banyak klien menggunakan jasa Papa sebagai desainer interior. Belakangan ia menyadari, Papa mencari pelampiasan dari rasa kehilangan Mama.

"Hingga suatu hari Ibu cerita soal gedung TK-nya yang akan direnovasi oleh pihak pengurus yayasan. Ibu pun berkenalan dengan  Pak Darno," lanjut Radit. "Kemudian tahu-tahu aku melihat perubahan itu. Ibu menjadi lebih sumringah." 

Mita ternganga mendengar kisah versi Radit ini. Ah, ia jadi merasa bersalah karena kurang peka terhadap perasaan Papa.

"Waktu itu aku sedang bersiap nembak kamu, Mit. Dan aku belum tahu bahwa Pak Darno adalah papamu. Maafkan aku, Mita. Seandainya bisa mundur ke masa lalu, aku pilih kita berteman baik saja. Aku tetap menjadi kakak kelasmu yang tengil, dan kamu adik kelas bawel," pungkas Adit lirih. 

Mita terisak. Ia memang  sudah mengira, inilah akhir kisahnya dengan Adit. Ia hanya perlu jeda sebentar untuk  menata hatinya lagi. Mungkin lebih baik seperti ini. Ia dan Radit memberi kesempatan kepada orangtua mereka, menjalani musim kedua dalam pernikahan. Mita pun ingin melihat papanya bahagia. (*) 

Cilacap, 140920


Keterangan: ini adalah cerma versi utuh yang saya kirim ke Redaksi. Lalu disunting dan dipangkas beberapa paragraf oleh Redaktur, setelah itu baru ditayangkan di rubrik cerma. Hal ini terjadi karena penyesuaian ruang di Minggu Pagi. 


Kamis, 13 Agustus 2020

[Cerpen] Cublak-Cublak Suweng

 

Cerpen Radar Banyumas


(Tayang di Harian Radar Banyumas edisi Minggu, 2 Agustus 2020)

Oleh: Gita FU


Malam merangkak naik, jalanan telah lengang, hanya sesekali suara gonggongan terdengar di beberapa rumah penduduk yang memiara penjaga berkaki empat itu. Sementara sang ratu malam kian cerlang di singgasananya. Entah mengapa suasana purnama ini berbeda, seolah-olah ada teror tengah mengintai siapapun yang berani menjejakkan kaki di luar pintu rumah masing-masing, tanpa kecuali. 

Bagi Soni malam ini adalah malam yang paling ingin dilompatinya. Sekujur tubuhnya telah kuyup oleh keringat dingin sejak lepas isya tadi; bujang lapuk ini  tak tenang, tiduran salah, makanan apapun sulit ditelan, duduk-duduk pun bagai ada bisul matang di pantatnya. Emaknya sampai berulang kali menawari kerokan.

"Kayaknya kamu masuk angin, Son," ucap perempuan lanjut tersebut cemas. Ia raba dahi anak semata wayangnya penuh kekhawatiran.

"Aku ndak apa-apa, Mak, ndak apa-apa. Cuman lagi mikirin orang yang belum nyaur hutang ke aku," tepis Soni lembut. Ia tahu emaknya tak bisa menangkap kebohongan yang barusan ia lafalkan.

Perempuan tua itu menatap prihatin pada Soni. "Makanya jangan terlalu baik sama temanmu, Son. Kamu juga yang dibohongi seperti ini. Sudah ndak usah terlalu dipusingkan, Emak yakin nanti pasti ada ganti rejeki yang lain," ucap sang Emak berusaha menghibur. Soni hanya mengangguk dan tersenyum samar. Ditatapnya lekat-lekat wajah wanita paling berjasa dalam hidupnya itu. Mereka telah saling memiliki sejak lama sekali, tanpa kerabat lain. Bagaimana jika terjadi apa-apa padanya? Dengan siapa emaknya akan bersandar kelak? 

"Mak, kalau ada apa-apa sama aku, Emak tetap tinggal di sini, ya? Emak boleh ajak si Narisa buat menemani," kata Soni bersungguh-sungguh. 

"Eh, kamu ngomong apa? Ndak akan terjadi apa-apa, kamu belum kasih emakmu ini menantu dan cucu, jadi jangan bicara aneh-aneh. Pamali!" Emak membalas dengan nada tinggi dan kesal. Soni terdiam, ia lalu mencium tangan emaknya, pura-pura tak mempedulikan rasa heran wanita tersebut.

"Sudah malam, istirahatlah, Mak."

Setelah memastikan Emak masuk ke kamar tidurnya, Soni melangkah ke kamar kerjanya di sayap rumah, yang terpisah dari rumah utama. Ruangan ini berada di antara pepohonan pisang dan pepaya di pekarangan rumahnya. Ia menyengaja membuat kamar kerja ini, demi alasan khusus yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Bahkan Emak pun amat jarang masuk ke mari. Di luar angin kencang datang berpusar, menabrak pohon-pohon miliknya. Soni makin menggeletar.

Soni duduk lemas di lantai, kedua tangannya menyangga kepala. Pikirannya terasa berkabut. Agaknya inilah akhir untuknya: kalah oleh perjudian yang dibuatnya sendiri. Lelaki tambun ini menerawang, mengilas balik perjalanan hidupnya. Di suatu masa ketika belaian lembut tangan Emak masih sanggup meredakan tangisannya, akibat diejek sebagai anak haram. Ketika ia masih bisa bermain riang diiringi lagu dolanan bocah bersama Surti, Santi, dan Ning, meskipun kerap diolok-olok sebagai banci oleh anak lelaki lainnya. Kala ia masih bisa bungah menerima hadiah sepatu bekas dari anak majikan Emak. Soni mengusap matanya.

Mendadak jendela kamar terbanting terbuka. Selarik asap masuk ke tengah ruangan, mula-mula tipis, lalu menebal dan beralih rupa menjadi sosok seorang wanita. Tubuhnya dibalut kemben dan kain, menonjolkan lekak-lekuk menggoda. Kepalanya yang berambut panjang dan legam dihiasi semacam mahkota emas. Wanita itu tersenyum dingin pada Soni, kebengisan memenuhi tatapannya.

"Kau tidak lupa malam ini purnama ketiga puluh bukan? Jadi ... mana tumbal yang kuminta?"  Soni maju lalu mencium lantai di hadapan si makhluk.

"Ampun Kanjeng Nini, sa-saya tak bisa," jawabnya lirih.

"Apa maksudmu?" Makhluk yang berjuluk Kanjeng Nini itu menyeringai buas.

Soni tak langsung menjawab. Lamat-lamat ia menghidu bau mayat membusuk di sekitarnya. Hatinya menciut, ia nyaris ingin mengubah keputusan yang telah dibuatnya. Ah, kini Soni benar-benar menyesal. Namun sudah tak ada jalan untuk kembali.


**

Ingatannya kembali terbang ke malam celaka di hutan di punggung gunung Slamet kala itu. 

Setelah tersesat selama tiga hari akibat mengikuti petunjuk tak lengkap dari Kirun, temannya, akhirnya Soni menemukan petilasan yang dimaksud: sebuah ceruk pada sebatang pohon paling tua di sekitar situ. Ia segera melakukan ritual pemujaan di depan tempat tersebut. Lewat tengah malam muncullah sang Danyang¹, diterangi sorotan sinar bulan purnama. 

"Terimalah persembahan saya, Gusti," sembah Soni takzim. Makhluk itu mengikik panjang, bunyinya seolah datang dari kejauhan. Suasana hutan mendadak sepi tanpa suara-suara binatang hutan yang sebelumnya ramai terdengar oleh Soni.

"Panggil aku Kanjeng Nini, manusia. Aku bisa memberimu kekayaan yang kau idamkan selama ini," Kanjeng Nini berucap lembut. Senyumnya merekah selegit madu hutan. Serentak Soni menyembah si makhluk dengan perasaan membuncah. 

"Tapi tidak gratis, manusia. Ada syaratnya," tukas sang Danyang. "Setiap tiga purnama aku minta tumbal nyawa manusia. Apa kau sanggup?"

Soni menelan ludah. Ia sudah diberitahu perkara ini, tapi hatinya tetap merasa tergetar mendengarnya langsung. Ia lalu teringat kemiskinan yang membuatnya selalu tersisih dan tak dipandang banyak orang. Ia pun terbayang wajah emaknya yang amat ingin ia bahagiakan di sisa usia. Lagipula jumlah manusia di dunia ini sudah terlalu banyak, bukan? Apa salahnya dikurangi sedikit, ia nanti bisa memilih dan memilah calon tumbalnya.

"Baik, Kanjeng Nini. Saya sanggup," tercetus juga persetujuan dari mulut Soni. Di hadapannya si makhluk kembali tergelak, ia senang mendapatkan seorang manusia bodoh lagi sebagai pengikut.

"Bagus! Satu lagi yang perlu kau camkan, kelak di tumbal kesepuluh aku mau yang istimewa. Dan ingat! Jika kau langgar perjanjian ini, nyawamu jadi milikku. Sekarang pulang dan nikmati kekayaanmu!" 

"Terima kasih, Kanjeng Nini!" Soni girang, mengantuk-antukkan kepala ke tanah. Kanjeng Nini kemudian lenyap, menyisakan aroma kembang setaman dan sejumput kabut tipis. Selepas pertemuan manusia dan siluman tersebut, barulah para binatang malam kembali mengunggah suara mereka, seolah ikut berlega hati. Tak lama fajar pun terbit.

Itulah pangkal musabab perubahan nasib Soni. Setiap pagi, segepok uang  muncul dari balik bantalnya bagai disulap saja. Ia gunakan uang itu untuk membuka aneka usaha, sehingga pertambahan kekayaannya tidak terlalu menimbulkan pergunjingan. Selain itu ia pun membangun rumahnya  jauh lebih  bagus dari semula. Soni benar-benar melaksanakan niatnya membuat hidup emaknya lebih nyaman.

Ketika waktu mempersembahkan tumbal tiba, Soni memilih dari kalangan orang gila, lalu gelandangan, selanjutnya seorang preman, berikutnya seorang pesaing usaha, tak lupa ia pun mengorbankan sekaligus membalas dendam pada orang-orang yang pernah menghina dirinya maupun emaknya. Para korban  tersebut sebelumnya ia beri sesuatu benda, entah makanan, entah barang berharga yang telah diberi jampi. Mereka semua mati mendadak seakan-akan terkena serangan jantung. Demikianlah, tanpa sadar Soni telah menjadi pembunuh demi melanggengkan kekayaannya. 

Hingga menjelang tumbal kesepuluh, Kanjeng Nini mendatanginya. Sang siluman menginginkan tumbal istimewa. "Untuk purnama ketiga puluh kelak, aku mau kau tumbalkan orangtuamu, hai manusia!"

Melompat mata Soni mendengarnya. Permintaan itu sungguh tak pernah disangka-sangka. "Ke-kenapa begitu, Kanjeng?"

"Tiap sepuluh orang, kau harus semakin membuktikan pengabdianmu padaku. Dengan begitu aku pun akan semakin royal padamu. Mengerti?" Seringai sang siluman laknat. Soni gemetaran hingga tak sanggup menjawab. 

 "Jangan kecewakan aku!" Lalu siluman itu lenyap. Tinggallah pemujanya terduduk lemas tanpa daya.

Mana mungkin ia tega mengorbankan Emak, satu-satunya orangtua yang ia miliki? Demi apapun Soni tak akan menyakiti beliau yang telah banyak berkorban demi dirinya, semenjak lahir hingga dewasa. Batin Soni berkecamuk.

**

Siluman itu menggereng keras. Kemurkaan mulai merayapi parasnya. "Cepaaat! Mana tumbal yang kuminta?" Tiba-tiba taring panjang mencuat dari mulutnya. Bau bangkai busuk semakin santer mengisi kamar Soni. Bersamaan dengan itu, wajah dan tubuh Kanjeng Nini malih rupa menjadi raksasi buruk rupa; biji mata mencelat, rambut kusut awut-awutan, kuku-kuku memanjang, kulit bergelambir dan berlendir ....

Soni mengkerut menatapnya. Namun tekadnya sudah bulat. "A-ampun Kanjeng. Saya tak bisa menumbalkan orangtua saya."

"Keparat! Jadi kau memilih mati!" pekik sang siluman.

Secepat kilat sepasang tangan busuk mengangkat tubuh Soni. Lalu kuku-kukunya menembus dada Soni. Bunyi robekan kain, dan daging terdengar di udara. Darah Soni muncrat, matanya nyalang tak berkedip, teriakannya tercekat di tenggorokan. Tawa makhluk itu membahana. Tangannya terus merangsek mematahkan rusuk Soni ... siap meraup pusat kehidupannya.

Di kamarnya, Emak terjaga tiba-tiba. Suatu lintasan firasat membuatnya panik dan segera mencari anaknya. "Soni, Sini! Kamu di mana? Kamu belum tidur, ya?" Ia terus mencari di penjuru rumah induk. Tak lama perempuan yang amat dicintai oleh Soni ini teringat akan kamar kerja putranya. Ia pun menuju ke sana.

Sebelum nyawanya benjar-benar lepas, Soni terkenang tembang dolanan yang dulu pernah ia nyanyikan bersama kawan-kawannya.

 Cublak cublak suweng

Suwenge teng gelenter

Mambu kethundung gudel

Pak gempong lera-lere

Sapa ngguyu ndelekake

Sir sir pong dele kopong. (*)


Keterangan:

¹ Danyang : siluman penunggu suatu tempat yang wingit

²Cublak-Cublak Suweng adalah sebuah lagu tradisional yang mengiringi permainan anak-anak. Merupakan salah satu cara Sunan Giri saat itu menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Makna yang tersirat ialah: untuk mencari harta janganlah menuruti hawa nafsu tetapi semuanya kembali ke hati nurani.


Cilacap, 200816-040320