Cari Blog Ini

Senin, 16 Maret 2020

[Resensi] Mengasah Kepekaan Anak Melalui Puisi

Tersiar di Padang Ekspres edisi Minggu, 15/3/20




Oleh: Gita FU


Buku Kumpulan Puisi Anak "Dongeng Pohon Pisang". Dokpri.

Judul Buku : Dongeng Pohon Pisang
Penulis        : Achmad Sultoni
Penerbit      : Gambang Buku Budaya
Cetakan.      : Pertama, Mei 2019
Tebal            : ix+53 hlm.
ISBN.            : 978-602-6776-84-6


 Mari kita ajak anak-anak belajar mengenal lingkungan sekitarnya lewat puisi. Kenapa puisi? Karena puisi adalah bahasa keindahan. Melalui  bahasa yang indah,  perasaan anak-anak yang halus mudah tersentuh. Setelah  perasaannya tersentuh, maka jiwa anak-anak menjadi peka. Jiwa yang peka mudah diisi pelajaran dan hikmah yang baik-baik.  Puisi pun merupakan jendela cakrawala pengetahuan. Kita bisa menyampaikan perihal penciptaan alam semesta, kasih sayang kepada keluarga, hingga cara membuat layang-layang. 

Puisi-puisi dalam buku Dongeng Pohon Pisang ini telah digubah dengan bahasa sederhana, tapi sarat makna. Anak-anak akan mudah menyelami mutiara hikmah di dalamnya, sekaligus mendapatkan wawasan baru. Sementara bagi pembaca dewasa akan merasa diajak bernostalgia tentang keriaan  masa kecil, kala bermain di  tanah lapang dan sungai.

Puisi berjudul "Sungai Kecil di Kampungku" (hal. 16), mengajari anak-anak tentang fungsi sungai. Sungai yang mengalir tenang adalah rumah bagi ikan-ikan air tawar. Kita tidak boleh membuang sampah di sungai, karena perbuatan itu menyakiti sungai. Nantinya sungai pun berbalik menyayangi kita, airnya tak akan bikin banjir rumah-rumah. Bukankah ini pesan yang faktual? Mengingat banjir kerap terjadi akibat meluapnya sungai yang menjadi dangkal oleh sampah,  puisi ini dapat mengingatkan anak-anak sejak dini.

Anak-anak lalu diajak mengenali satu jenis buah yang  sederhana penampilannya. Buah ini dulu di masa kecil kita mungkin dianggap sepele, karena sering ditemukan tumbuh liar terutama di pematang sawah. Namun kini sawah makin menciut, buah ini turut  jarang ditemukan. Padahal ternyata banyak manfaatnya bagi kesehatan. Sehingga supermarket modern mau menjualnya, tentu dengan harga mahal. "Buah Cimplukan bulat seperti bola mata/ tumbuh liar di semak belukar// Cimplukan buah ajaib/ benteng segala penyakit//" (Buah Cimplukan, hal. 24).

Pohon-pohon pisang pun punya cerita untuk anak-anak. Mereka berkisah tentang  rupa-rupa jenis pisang, aneka resep mengolah pisang, hingga manfaat  yang diberikan buah pisang pada kita. Semuanya ada di puisi "Dongeng Pohon Pisang" (hal. 41). 

"Menyusuri jalanan kampung/ yang lengang/ ada banyak pohon pisang/ pohon pisang yang mungil-mungil/ berbaris memenuhi halaman/ halaman rumah//".

Ada pula puisi tentang keriangan di kala hujan dalam puisi "Hujan-hujanan" (hal. 20); tentang beberapa hewan yang umum ada di desa dalam "Kambing Mbah Pandi" (hal. 4), "Anak Mentok Kakek" (hal. 12), "Kolam Ikan" (hal. 32). Pembaca juga diajak  menyatakan rasa cinta dan kasih kepada Ibu ("Ibuku Berwajah Rembulan", hal.1), pada nenek ("Kupanggili Nenek Malam Hari", hal. 14), dan ayah ("Ayahku", hal. 39). Tentunya masih banyak pula puisi lain yang tak kalah berhikmah.

Puisi untuk anak memang memerlukan  bahasa yang lugas dan sederhana. Selain itu perlu ditunjang dengan ilustrasi yang memadai. Untuk kriteria tersebut di atas, telah mampu dijawab oleh buku ini. Sehingga menurut saya buku ini layak menjadi rekomendasi untuk dibaca dan dikoleksi para pembaca. (*)

Cilacap, 230120

Selasa, 10 Maret 2020

Alasan Buku ini Layak Menang di IBF 2020

Novel Anak Terima Kasih Allah. (Dok.pri)

Oleh: Gita FU


Assalamu'alaikum, sobat kopi dari Gita!

Rasanya seribu tahun aku nggak menulis di blog ini. Pantesan agak berdebu, duh! *Ambil sapu, pel, dan kain lap. Cus bebersih di rumah.
Nah, udah mendingan. 😅. Eh, iya, semoga kalian dalam keadaan sehat, aman, dan bahagia, ya, sobat. Aamiin.

Tanggal 26 Februari lalu, berlangsung Islamic Book Fair 2020 di Jakarta Convention Centre, Senayan. Apakah ada di antara sobat yang hadir di sana? Nggak? Samaan, dong. 😆
Namun meskipun aku nggak bisa menonton langsung, aku nggak ketinggalan berita seru tentang IBF kemarin. Apaan, tuh? 

Yaitu tak lain tak bukan tentang penghargaan Buku Islam Terbaik yang dianugerahkan IBF 2020, kepada 8 judul buku untuk delapan kategori. Salah satu kategori tersebut adalah Fiksi Anak; dan tahun ini penghargaan tersebut jatuh kepadaaa... Jreng jreng jreng!


Pengumuman Anugerah Buku Islam IBF 2020. Sumber: Republika.co.id


Yak, Novel Anak berjudul Terima Kasih Allah, karya Hairi Yanti, Indiva Media Kreasi! Keren. Selamat, ya, mbak Hairi Yanti dan Penerbit Indiva! Semoga terus menebar manfaat kebaikan lewat karya-karya bermutu.

Aku pribadi ikut senang dengan pencapaian tersebut. Menurutku buku itu pantas mendapatkannya. Dan inilah alasan-alasan kenapa novel anak Terima Kasih Allah layak menang di IBF 2020. Cekidot!😉

1. Penokohan yang pas dan wajar

    Namanya saja novel anak, tentu saja tokoh utamanya anak-anak. Dalam cerita ini Zira, anak perempuan kelas 5 SD menjadi lakonnya. Ia digambarkan sebagai kutu buku, sehingga tidak punya banyak kawan akrab. Namun selaiknya pehobi baca ia punya kemampuan menalar yang bagus dan masuk akal. Penulis berhasil menampilkan dialog, emosi, baik dari Zira maupun tokoh-tokoh pendukung lain, dengan wajar sesuai umur maupun porsi peran dalam bangunan kisah.

2. Jalan cerita mudah dipahami, runut, dan filmis.

     Plot utama novel ini ialah mengenai musibah kebakaran yang menimpa keluarga Zira dan lingkungan tempat tinggalnya. Penulis menata satu persatu pondasi cerita yang memenuhi kaidah silogisme, dan aku tidak menemukan lubang di dalam plotnya. Pembaca anak-anak kupikir bisa menikmati ceritanya. Sebagai contoh dalam hal ini aku meminta  Hanna, bocah kelas 1 SD, menyampaikan pendapat setelah membaca novel tersebut, dan ia sama sekali tidak merasa bingung mengikuti jalan ceritanya.

3. Konflik internal dan eksternal sang tokoh utama seimbang.

     Yang namanya musibah kebakaran tentu tidak hanya berkutat pada kerugian material bagi penderitanya. Ada juga dampak psikis, kesedihan, penyesalan, harapan, resolusi, ya 'kan sobat? Nah, kesemua sisi konflik  yang dialami Zira itu berhasil digambarkan dengan apik. 

4. Pesan moral yang 'halus', tidak menggurui, tapi 'kena'.

   Aku paling sebel umpama nemu buku terutama fiksi, di mana si tokoh atau penulisnya berkhotbah mengenai pesan-pesan moral atau kebaikan. Seolah-olah pembaca nggak bisa menarik kesimpulan sendiri, gitu. Lain halnya jika cerita itu ditujukan buat anak balita, yah kudu eksplisit mau nggak mau. 🙊 Eh, sobat ada yang sama denganku? 🙈
    Ini dia poin plus lain di buku ini, menurut aku. Pembaca tidak diceramahi terang-terangan, melainkan pelan-pelan ikut tercerahkan seiring perjalanan Zira. Dan itu lebih asyik~

5. Harga buku amat terjangkau

   Jangan khawatir kantong kalian bakal jebol jika ingin membeli buku ini, sobat. Karena banderol resminya hanya Rp 37.000 saja. Baik kalian beli di toko buku, maupun via online (hanya saja plus ongkir 😹). 

6. Desain kaver, ilustrasi, tidak lebay

     Ya ini, sih, poin tambahan dariku. Desain kaver dan ilustrasi di dalamnya memang menggunakan karakter ala manga, tapi nggak berlebihan. Pas sesuai kebutuhan cerita, gitu...

Jadi bagi sobat yang tertarik membeli buku ini, boleh  dan kurekomendasikan bangettt. Novel ini Insya Allah cocok sebagai bacaan fiksi anak-anak usia SD, maupun pembaca dewasa yang ingin mencari bacaan berkualitas tapi tidak terlalu 'berat'. 

Nyaris lupa, ada kabar baik, nih, buat sobat. Novel anak Terima Kasih Allah kini sudah tersedia di ipusnas. Buat kalian yang hobi baca e-book, cuss dicek ya di aplikasinya. 🚀

Demikian yang bisa kuulas di postingan kali ini. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa di cerita berikutnya. Salam! (*)

Jumat, 13 Desember 2019

[Cerpen] Orang-orang Gila

(Tayang di Radar Banyumas edisi Minggu, 8 Desember 2019). Dokpri.

Oleh : Gita FU

Tak pernah terpikirkan oleh Sarwono, dari mana datangnya orang-orang gila itu. Jika adiknya bertanya, ia hanya akan mengangkat bahu. Ia terlalu malas mencari tahu Sepanjang ingatannya, sejak ia masih bocah SD hanya si Pur dan si As  yang biasa berkeliaran di kampungnya. Mereka kini menua, tapi masih setia mengorek-ngorek sampah, bicara sendiri, makan, minum, dan tidur di sembarang tempat. Ya, itulah si Pur dan si As yang ia kenal. Tapi sekarang agaknya ia harus meralat jumlah orang gila di lingkungannya.

"Mas, kemarin waktu aku ngejar layangan liwung, aku lihat ada laki-laki kelihatan anunya, duduk di bawah pohon petai Pak Pono," lapor adiknya, si Tono.

"Masa? Terus layangannya dapat?" tanggap Sarwono.

"Ya, batal! Wong aku takut sama orang gila itu!" Bocah kelas lima SD itu bersungut-sungut. Sarwono terkekeh-kekeh.

"Ya, kamu jangan dekat-dekat, Ton!" sembur ibu mereka, Sarmiyah. Kedua tangannya sibuk  mengadon bakwan jagung di baskom besar.

"Makanya aku lari, Bu! Oh iya, pas lari itu aku lihat di pinggir lapangan bola ada lagi," cerocos Tono bersemangat, "perempuan, badannya dikerubungi laler! Lagi jongkok sambil makan sisa nasi dari tempat sampah!"

Sarwono berhitung, "Kenapa jadi banyak orang gila di daerah kita, ya? Ckckck. Mengkhawatirkan." Ia lalu teringat seorang laki-laki aneh yang mengamuk di depan pos ronda.

"Jaman susah gini, bikin orang  banyak yang sinting. Persoalan ekonomi lah, keluargalah. Amit-amit jangan sampai ada keturunanku yang gila," timpal Sarmiyah. "Kalian harus tetap eling sama Gusti Allah, ya. Walau hidup miskin, kepala kita tetap waras!"

Sarmiyah berkata demikian bukan tanpa alasan. Ia adalah janda ditinggal mati suaminya lima tahun silam. Kalau ia tak berpikiran sehat, tentu sudah kelimpungan memikirkan sumber nafkah. Padahal suaminya dulu cuma penjaga sekolah, tidak meninggalkan warisan. Dan saat itu Sarwono masih butuh biaya sekolah, demikian pula  Tono yang baru masuk SD.

"Tapi jadi orang gila kan enak, Bu. Nggak usah mikirin belajar tiap hari kayak aku," cengir Tono menggoda ibunya.

"Hush! Sudah sana mandi! Minyaknya sudah panas, No? Ibu mau nggoreng bakwan, kamu siapin mendoannya." Sarmiyah menutup obrolan.

Sarwono sigap melaksanakan tugasnya. Ia sudah piawai urusan menggoreng mendoan, tempe tipis dan lebar khas Banyumasan itu, berkat pengalaman menjadi asisten ibunya sejak tamat madrasah aliyah dua tahun lalu. Di luar sana matahari mulai rebah, warung gorengan mereka akan didatangi  pembeli yang mencari lauk makan malam.

Di sela-sela menggoreng mendoan, ponsel Sarwono di atas meja dapur berdering; tanda ada pesan masuk. Sarwono membaca isinya, dan air mukanya berubah gelap. Namun sedapat mungkin disembunyikannya dari tatapan ibunya.

Usai waktu isya Sarwono pamit membeli rokok. Kesibukan menggoreng pun telah purna, sehingga ibunya sama sekali tidak keberatan. Ia sengaja berjalan kaki  menuju warung yang jauh dari rumah. Semata-mata ia bermaksud melerai kekusutan pikiran yang ditimbulkan pesan yang masuk ke ponselnya tadi. Karena si pengirim pesan itu adalah kekasihnya, Ningsih.

Mereka adalah pasangan kekasih sejak bangku Aliyah. Sarwono  telah merasa mantap ingin melamar Ningsih. Tetapi gadis itu keberatan dan malah ingin merantau ke luar negeri. Alasannya, Ningsih ingin mengumpulkan modal sebelum menikah. Sarwono terang-terangan tidak setuju. Ia khawatir hal-hal buruk bisa saja menimpa gadis manis itu di negara orang. Tetapi gadis itu tetap bersikeras.

'Kecuali kamu punya banyak uang dalam waktu singkat, maka aku bersedia mengubah keputusanku.' Itulah syarat dari Ninggsih di akhir pesan.

Sarwono marah pada Ningsih. Apakah gadis itu menyuruhnya mencuri, atau menyupang pesugihan? Mana ada uang banyak dalam waktu singkat! Jelek-jelek begini, Sarwono masih punya iman. Berjualan gorengan memang tidak serta merta membawanya kaya raya, tapi pasti cukup untuk memulai hidup baru yang bersahaja. Gila! Kekasihnya telah menjadi gila karena silau harta.

Terbawa pikiran yang kusut, tanpa sengaja Sarwono salah  membelok ke tanah kosong yang cukup lebar. Tak ada bangunan apapun di situ, kecuali semak-semak dan beberapa pohon pisang. Cahaya lampu  jalan pun tidak mampu menerangi seluruh areal tersebut. Mendadak matanya menangkap sesosok manusia,  duduk bersila di bawah salah satu pohon pisang. Sarwono menelan ludah. Manusia itu terlihat tak waras, dengan pakaian  berantakan. Sarwono berhenti melangkah, lalu putar badan. Di saat itulah ia mendengar orang itu bicara pada seseorang.

"Ya, Pak. Sebagian besar buruh, pedagang, penerbang dara, dan tukang main. Di sini juga gudang TKW. Ya, banyak balita juga, Pak. Baik, Pak. Saya tunggu perintah selanjutnya."

 Sarwono mengernyit heran. Percakapan itu terdengar waras sekaligus ganjil. Di balik punggungnya, orang itu tengah menyimpan ponselnya ke saku baju.

"Kamu mau ke mana, No? Kemarilah! Aku kawan lamamu." Sarwono terkejut setengah mati. Merasa penasaran, ia  berpaling penuh selidik pada orang tersebut. "Apa kamu sudah lupa pada  si Cacing?"

Julukan itu memunculkan satu nama di benak Sarwono. Si Cacing adalah olok-olokan untuk teman sekelasnya di masa SMP dulu. Temannya itu begitu kurus kerempeng sehingga sering jadi sasaran empuk berandal sekolah. Sarwono ingat, ia pernah beberapa kali membela anak itu. "Cahyo? Benarkah kamu adalah Cahyo? Kenapa kamu jadi begini?"

Laki-laki itu tergelak. Ia mengajak Sarwono duduk di dekatnya. "Jangan takut, No. Aku masih waras, kok. Ini cuma pekerjaan saja." Sarwono masih bergeming.

"Aku serius, No. Buktinya, aku masih mengenalimu. Hanya orang waras yang  memiliki ingatan jernih, bukan?" Akhirnya Sarwono mau juga duduk di dekat laki-laki  itu.

Mulanya Sarwono lebih banyak diam dan menyimak saja cerita Cahyo. Katanya, selulus SMP kedua orangtuanya meninggal mendadak. Ia lalu diasuh salah satu paman dari ibunya di luar pulau, dengan janji akan disekolahkan. Sedangkan rumah warisan orang tuanya segera dijual Paman dari pihak ayah; uangnya konon akan didepositokan di bank hingga Cahyo lulus SMA kelak.

"Tapi Pamanku pembohong semua. Ternyata mereka telah janjian membagi uang hasil penjualan rumah, tanpa menyisakan untukku. Alih-alih disekolahkan, aku malah disuruh kerja rodi di perkebunan sawit." Cahyo berkisah  perihal nasib malangnya.

Untunglah, kata  Cahyo, ada tetangga pamannya yang kasihan pada nasibnya. Ia diselamatkan dari perbudakan, dengan jalan kembali ke tanah Jawa. Sampai di sini ia terdiam. Sarwono pun masih tak berkomentar. Baginya, cerita Cahyo mirip lakon sinetron; meskipun bisa jadi benar-benar terjadi.

"Kamu diam karena masih ragu padaku, ya, No? Mari kutunjukkan sesuatu. Sebenarnya ini rahasia, tapi kamu dulu baik padaku." Cahyo mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari balik baju. Lalu ia menunjukkan isinya. Di bawah penerangan jalan yang remang, Sarwono bisa membaca bahwa itu adalah surat kontrak. "Aku tahu kamu cuma jualan gorengan bersama ibumu. Memang berapa duit yang bisa kamu hasilkan? Ayo bergabung bersamaku! Bayarannya besar, yang penting kamu tahan malu."

Cahyo kembali bertutur. Orang yang dulu menyelamatkannya telah mengenalkannya  pula pada pekerjaan tak lazim: menyaru sebagai orang gila. 
Untuk pekerjaan aneh ini, Cahyo harus mendaftar pada sebuah agensi rahasia. Agensi ini hanya bisa dimasuki berbekal rekomendasi dari anggota lama. Setelah diterima sebagai anggota baru, Cahyo diberi pelatihan rupa-rupa teknik penyamaran, dan ilmu bela diri. Ia akan diberi orderan oleh agensi, jika dianggap telah siap.

"Kamu tahu, No? Banyak orang penting yang jadi klien agensiku. Mereka yang butuh informasi detail suatu daerah, gemar memakai jasa kami sebagai orang gila gadungan. Mereka pun berani membayar mahal. Bagaimana? Kamu pasti tertarik! Uang, No, bayangkan uang yang banyak! Bukankah kamu butuh itu?" Cahyo terus membujuk Sarwono. Matanya berkilat-kilat, mulutnya menyeringai.

Sarwono gemetar hatinya. Kepalanya terasa berputar-putar oleh kata-kata teman lamanya. Semua terdengar gila baginya. Gila! (*).

Cilacap, 0310-121119

Selasa, 26 November 2019

Kisah-kisah Hewan Piaraan yang Bakal Menghangatkan Hati Kita

Me and My Pet with Ciput. Dokpri

Oleh: Gita FU

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

 Semangat pagi sobat kopidarigita! 😍 Jumpa lagi di postingan terbaruku. Kali ini aku akan mengulas sebuah  kumpulan kisah nyata para penyayang binatang piaraan. Lebih tepatnya ini adalah buku  antologi para pemenang  lomba yang diadakan Diva Press setahun lalu, bertajuk Me and My Pet.

Aku antusias melihat kavernya yang 'eye-catching'. Ilustrasinya melukiskan kucing, anjing, kura-kura, burung, ikan, dan tikus--eh, kok, ada tikus? Hahaha, tambah penasaran, kaan? Sabaaar. Setelah kubuka, rupanya ada 23 kisah mengisi buku. Tapi tidak terlampau tebal, cuma 148 halaman saja.

Mengingatkan aku pada seri Chicken soup for the soul, kisah-kisah yang tersaji cukup seru, ada yang lucu, inspiratif, dan juga kontemplatif. Terlihat dari sini seleksi yang dilakukan Diva Press, memilih kisah-kisah yang mewakili pesan-pesan tersebut di atas. Mari lanjut. 😉

Aku menyukai beberapa cerita dengan pesan yang cukup menohok hati, yaitu: Prasangka (Titien Setyarini), Suara Sumbang tentang Kucing (Fadilah Jaa), One Eye Cat (Reni Soengkunie), Me and My Little Rat (Muhammad Getar), Kesetiaan Raka (Nikmal Abdul), Kelinci Baru untuk Si Sulung (Muyassarah), dan Me and Dinky (Maitra Tara). Kenapa? Karenaaa:

1. Prasangka, hal. 19

Dengan gaya bahasa 'gue', Titien curhat tentang seekor kucing gendut bernama Sunyuk. Kucing jantan berwarna belang hitam putih ini kata Titien aslinya adalah kucing milik tetangga. Tetapi lebih betah main ke rumahnya, sampai nginap segala. Awalnya semua baik-baik saja. Antara Titien dan Sunyuk berjalan suatu hubungan akrab antara manusia dan kucing, hingga suatu ketika terjadi sesuatu. Jreng jreeenggg.

Waktu itu Titien mandi seperti biasanya. Tiba-tiba dari celah dinding kamar mandinya yang berhadapan dengan taman belakang, terdengar suara mencurigakan. Spontan Titien menoleh, dan dia kaget begitu tahu itu adalah Sunyuk yang sedang mengintipnya mandi! 😨😨 Titien reflek membanjur segayung air mengusir si kucing.

Setelah kejadian Sunyuk mengintip, Titien mengalami hal lain yang bikin dia dag-dig-dug: dia belum haid padahal sudah lewat 2 Minggu dari siklus! 😨😨 Nah, mulailah dia menghubung-hubungkan semuanya dengan kehadiran Sunyuk. Jangan-jangan itu karena dia dan Sunyuk terlalu dekat.

Endingnya sedih, sih. Karena prasangka itu, Sunyuk pergi dan tak kembali lagi ke rumah Titien ataupun rumah majikan aslinya. Makanya, meskipun pada hewan piaraan ya, kita nggak boleh asal curiga dan menuduh yang bukan-bukan. 😩 Tabayun, cek dan ricek, riset, atau apalah dahulu, gitu. Karena kalau yang kita sayangi telanjur pergi, barulah penyesalan itu datang (eaaaaak).

2. Suara Sumbang tentang Kucing, hal. 25

Teman-teman pasti pernah dengar omongan orang, "Ih, jangan dekat-dekat kucing! Ada virus toksonya! Bisa bikin mandul!" Ya, soal virus toksoplasma yang dibawa kucing, emang, sih, ada benarnya. Karena kucing adalah hewan berdarah panas yang merupakan tempat kesukaan si virus. Tapi untuk bisa menulari manusia, tetap membutuhkan persyaratan alias nggak semudah mengoleskan roll on ke ketek.

Si penulis kisah ini membantah suara-suara sumbang tersebut. Dia menceritakan sejak menikah, hamil, lalu melahirkan, dirinya tak bisa benar-benar menjauhi makhluk berbulu lembut, dan imut tersebut. Karena dia sudah kadung menjadi penyayang kucing semenjak kecil. Walaupun dia tak memungkiri, sempat terselip perasaan khawatir jika mendengar suara-suara sumbang tentang kucing.

Demi mengatasi kekalutannya, sewaktu hamil Fadilah berusaha mencari informasi-informasi valid tentang kucing, dan kaitannya dengan kesehatan manusia. Dari situ dia jadi tahu bahwa penularan virus toksoplasma ke manusia terjadi melalui feses kucing. Dia pun lalu menghindari interaksi langsung dengan kotoran hewan itu.

Selain itu Fadilah pun menuliskan, asalkan si pemilik merawat secara baik dan benar serta menjaga kebersihan kucingnya, maka inisyaallah kucing tersebut akan terbebas dari virus toksoplasma.

Akhirnya Fadilah berhasil mengatasi suara-suara sumbang tentang kucing. Karena Alhamdulillah bayinya lahir sehat, bahagia, hingga kini telah berusia satu tahun. Bahkan kesukaan Fadilah pada kucing telah menurun pula ke anaknya itu. Tuh, kan, jangan langsung termakan katanya sebelum kita cari tahu kebenarannya.

3. One Eye Cat, hal. 32

Kisah yang mirip dituliskan oleh Reni. Ia pun penyayang kucing sejak kecil, berkebalikan dengan sang suami.

Tiga tahun lalu ia menemukan kucing telantar tengah meringkuk kedinginan di dekat pintu gerbang, di bawah guyuran hujan deras. Tanpa pikir panjang ia memungut dan menolong si kucing. Hati Reni semakin terenyuh setelah mengetahui bahwa satu mata si kucing tertutupi nanah.

Ia kemudian berhasil meyakinkan suaminya untuk memperbolehkan si kucing menjadi bagian dari mereka. Hari-hari berlalu, kucing yang dinamai Jeni itu menjadi hiburan tersendiri bagi mereka berdua.

Di tahun keempat pernikahan, Reni dan suaminya belum dikaruniai anak. Suara miring pun sempat menerpa mereka, karena lebih memilih memelihara kucing padahal belum punya anak. Mungkin orang-orang itu ikut khawatir terhadap kemungkinan virus toksoplasma yang bisa menjangkiti Reni.

Tetapi bagi Reni, masalah anak adalah hal yang berbeda. Baginya, Jeni telah membawa kebahagiaan tersendiri, dan keberadaannya bukanlah musibah.

4. Me and My Little Rat, hal 57

Penulisnya mengisahkan satu kejadian tak terlupakan, ketika ia dan keluarganya masih tinggal di suatu perumahan milik sekolah, kala ia masih kelas 4 SD. Mereka selalu diganggu oleh tikus-tikus nakal. Telah bermacam cara diupayakan untuk meredam gangguan makhluk pengerat itu, mulai dari memasang racun hingga perangkap tikus.

Suatu siang bapaknya Getar (si penulis) melakukan tindakan kekerasan: beliau memukul tikus-tikus yang berkeliaran itu dengan pemukul kayu. Getar pun turut mengambil kayu. Ada seekor tikus kecil yang berhasil terkena pukulannya hingga tak berkutik. Tetapi ia malah jadi tak enak hati melanjutkan pukulannya.

Kemudian tikus kecil itu ia tempatkan di sebuah kardus, dan ia rawat sampai sembuh. Ya, Getar menjadikan tikus kecil itu hewan piaraan. Setelah itu selayaknya anak-anak, ia pun memamerkan si tikus di depan teman-temannya di sekolah.

Sayang, bapaknya menjadi hilang kesabaran menghadapi polah Getar. Beliau menyuruh anaknya untuk membuang tikus itu. Walaupun Getar menyukainya, faktanya tikus tetaplah tikus; hewan yang kotor dan membawa penyakit.

5. Kesetiaan Raka, hal. 91

Kata orang, kelinci jantan itu playboy. Tapi tidak berlaku untuk Raka, hewan piaraan Nikmal Abdul. Kelinci jantannya ini sudahlah mudah diurus, setia pada satu betina pula.

Ceritanya sekian lama Raka dipiara seorang diri, abangnya Nikmal berinisiatif membelikan kelinci betina sebagai teman. Betina berbulu putih itu dinamai Lily. Reaksi Raka terlihat amat senang dengan si betina. Bahkan jatuh cinta. Ini ditunjukkan dengan tingkahnya yang selalu mengekori Lily, mengendus-endus pipi, dan badannya. Sayang, cinta Raka bertepuk sebelah tangan. Namun Raka tak menyerah, terus berjuang mendapatkan perhatian si Lily.

Hingga di hari keenam, sesuatu terjadi pada Lily. Si betina tergolek lemah, tak merespon sedikit pun pada sentuhan Raka. Setelah diperiksa, ternyata Lily telah mati. 😖 Saat proses penguburan Lily, Raka terlihat tidak terima. Sampai-sampai ia harus digendong supaya tidak mengganggu.

Pasca kepergian Lily, keluarga Nikmal mengupayakan kelinci betina lain sebagai pengobat kesedihan Raka. Tapi apa yang terjadi? Meskipun mereka membelikan 2 betina baru, yang dinamai Lea dan Lily (baru), Raka tetap adem saja. Cintanya tetap untuk Lily (lama). 😩
Luar biasa.

6. Kelinci Baru untuk si Sulung, hal. 97

Kisah dari Muyassarah ini mengandung pelajaran buat para ibu termasuk aku. Terutama dalam hal menunjukkan dukungan moral dan material terhadap kegiatan positif sang buah hati.

Ketika sulungnya menginginkan hewan piaraan, sisi egois penulis membuatnya menolak mentah-mentah keinginan itu. Dalam pikirannya, anak kecil umur 6 tahun tentu belum bisa mengurus hewan tanpa melibatkan dirinya. Padahal ia sudah merasa cukup repot dengan urusan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, tanpa harus ditambah merawat hewan yang hanya menyumbang kotoran saja.

Namun di luar dugaan. Setelah sang suami mengizinkan si sulung memiliki kelinci dengan syarat harus mau ikut mengurusnya, bocah lelaki itu mampu menepati tugasnya. Setiap hari putranya yang pendiam dan pemalu, antusias pergi sendiri ke tukang sayur membawa catatan dari orang tuanya, demi membeli pakan si kelinci. Putranya pun mau ikut membersihkan kandang kelinci. Semuanya karena si sulung tampak benar-benar menikmati interaksinya dengan si kelinci putih.

Hingga di suatu hari yang berhujan angin, si ibu ini enggan membawa masuk kandang kelinci tersebut. Alasannya karena malas membersihkan air kencing yang pasti akan tetap mengenai lantai rumah. Akibatnya keesokan harinya kelinci itu sakit, lalu mati. Dan berdukalah putra sulungnya. Ia yang menyaksikan kesedihan si sulung pun menyesal teramat sangat. 😣😥

7. Me and Dinky, hal. 145

Maitra Tara mengisahkan tentang Dinky, anjing berbulu hitam putih yang ia adopsi dari jalanan. Meskipun Dinky telah dua tahun menjadi temannya berlari-lari pagi dan sore hari, kebiasaan menggonggong anjing itu tetap menjengkelkan baginya. Ya, kebayang, sih. Wong apa aja digonggongi: anjing lain lewat, tukang pos masukin surat, tamu datang, panci dan blender tetangga berbunyi karena sedang dipake. 🙄

Nah, suatu malam si Dinky ini berisik terus, padahal anak-anak pemilik rumah sedang les. Jengkellah ia pada si anjing. Mula-mula ia hanya berseru menyuruh Dinky diam, tidak digubris. Lempar sandal ke hadapan Dinky, cuma diam sebentar terus menggonggong lagi. Puncaknya, ia memukul kepala si Dinky, barulah diam.

Tapi ada yang berubah dari Dinky. Setelah kepalanya dipukul, besoknya ia diaaaam saja. Dipanggil, nggak bereaksi. Disodori makanan dan air, nggak disentuh. Ketika Maitra memanggilkan dokter hewan, diagnosanya sehat, hanya kemungkinan si Dinky trauma karena habis dipukul.

Malam itu juga sebelum tidur, Maitra meminta maaf atas tindakan kasarnya pada Dinky. Ia elus-elus bulunya, sekaligus berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Ajaib, esok hari Dinky pulih seperti sedia kala.

Makanya, hewan pun punya perasaan ya, sobat. Mereka bisa marah, sedih, bahka merajuk jika kita bersikap kasar. Duh, aku jadi inget kisahku sendiri yang pernah membentak dan memukul Jepri waktu dia beol sembarangan di dapur. 😔 Jepri langsung kabur nggak pulang 2 hari. Aku cemaaas banget plus nyesel. Pas dia mau pulang aku segera minta maaf. Baru setelah itu tingkah Jepri normal kembali, dalam artian nggak takut sama aku.

Nah, demikian ulasanku kali ini. Selain 7 kisah di atas, tentu saja masih banyak kisah lain di buku ini yang tak kalah menarik. Semoga bermanfaat ya buat sobat semua. 😁 Oiya, berikut data bukunya:

Judul.      : Me and My Pet
Penulis   : Muhammad Getar, dkk
Penerbit : Diva Press
Cetakan. : Pertama, Februari 2018
Isi            : 148 hlm
ISBN        : 978-602-391-509-5
Harga      : Rp 38.000 (P. Jawa)

Happy reading!

#review
#ragam

Senin, 18 November 2019

Mastitis (Pernah) Menyerangku

Alat Pompa ASI biasa
Contoh Alat Pompa ASI. Dokpri


Oleh: Gita FU

Assalamu'alaikum. Semangat pagi, sobat kopidarigita!

Lama kita tak bersua, aku berdoa kalian semua dalam kondisi kesehatan yang terbaik. Mengingat kini kita tengah mengalami musim peralihan dari kemarau ke penghujan, kita wajib jaga kondisi tubuh biar nggak gampang sakit. Ya, kaaan? Aamiin.

Kali ini aku ingin bahas mastitis, terkait ceritaku bulan lalu soal eklamsia pasca persalinan Hanif. Kalo kalian belum baca, silakan cek di sini. Tapi sebelumnya, sudah tahukah kalian apa itu mastitis?

Kulansir dari situs alodokter.com, mastitis ialah pembengkakan pada jaringan payudara; terjadi pada ibu menyusui, sehingga mengakibatkan terhambatnya pemberian nutrisi pada bayi karena si ibu merasakan sakit pada payudaranya. Ditandai dengan:
  1. Payudara memar kemerahan.
  2. Sering terasa gatal di payudara.
  3. Payudara terasa perih saat menyusui.
  4. Terdapat benjolan menyakitkan di payudara.
  5. Ukuran salah satu payudara lebih besar karena pembengkakan.
  6. Puting mengeluarkan nanah.
  7. Sering merasa lelah.
  8. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di ketiak.
  9. Demam.
Infeksi pada payudara atau mastitis bisa disebabkan oleh beberapa hal. Berikut penyebab mastitis paling umum:
a. Infeksi bakteri
    Bakteri penyebab mastitis umumnya adalah Staphylococcus dan Streptococcus yang menginfeksi jaringan payudara melalui luka di puting maupun saluran air susu. Biasanya bakteri ini berasal dari mulut bayi dan permukaan kulit payudara.

b. Saluran aliran ASI yang tersumbat
    Penyumbatan yang dimaksud adalah ketika ASI yang tersisa mengendap di dalam saluran susu. Komplikasinya dapat berupa infeksi payudara

Selain kedua penyebab di atas, beberapa faktor berikut bisa meningkatkan risiko terjadinya mastitis:
  1. Luka pada puting payudara.
  2. Menyusui hanya dengan satu payudara.
  3. Memakai bra yang terlalu ketat.
  4. Kelelahan.
  5. Gizi kurang.
  6. Frekuensi menyusui yang tidak teratur.
  7. Pernah mengalami mastitis di masa lalu.
Bagaimana, sudah dapat gambaran ya, tentang apa itu mastitis. Kalau bahasa Jawa-nya lebih dikenal dengan istilah 'mrangkaki' yang bikin meriang. Benar-benar luaarr biasssaa enaknya! Dan aku pernah merasakan nikmatnya terkena mastitis itu. Kapan? Ketika terbaring di ranjang rumah sakit akibat terkena eklamsia. 😐

Ritual Baru: Memompa ASI


Bayi Hanif terpaksa diberi minum sufor selama terpisah dariku. Padahal produksi ASI-ku sedang lancar-lancarnya. Terus bagaimana, dong? Seorang perawat di ICU memberikan saran: perah ASI-nya lalu dibuang, memakai pemompa ASI. Mendapat saran itu, suamiku segera ke apotik membeli alat pompa ASI model klasik (seperti pada gambar di atas). Lantas di bawah pengarahan sang perawat, suamiku membantu memerah ASI, lalu menampungnya ke gelas plastik. Aku cuma bisa terdiam ketika ia melakukan hal itu. Karena untuk memerah sendiri aku belum sanggup, posisiku yang setengah rebahan plus selang infus di tangan kanan, betul-betul menghalangi gerakan.

Ketika aku melihat banyaknya ASI yang tertampung di gelas, dan membayangkan itu terpaksa dibuang, benar-benar membuat hatiku sedih. Ya, Rabb....

Jadi begitulah rutinitasku selama rawat inap. Setiap beberapa jam Pak suami akan mengingatkan bahkan membantuku untuk memompa ASI. Aku sungguh bersyukur atas ketelatenan suami. Jika tak ada dia, kemungkinan besar aku sudah menyerah. Karena proses memompa itu begitu membosankan dan melelahkan. Belum ditambah rasa nyeri akibat kateter, atau jarum infus yang tak sengaja tertarik. 😥

Bagaimana Mastitis Menyerangku


Waktu itu aku dilanda perasaan sedih, dan gulana. Aku ingat bayiku, serta Farhan dan Hanna di rumah. Aku juga merasa kasihan melihat wajah lelah dan kurang tidur suamiku. Belum lagi terbayang Simbah, adik-adik ipar, yang ikut kurepoti. Aih, pokoknya mellow. Dan perasaan negatif ini sungguh tak terbendung. Padahal tinggal dua hari lagi aku (katanya) akan diperbolehkan pulang dan rawat jalan. 

Perasaan negatif tersebut membuatku abai  memompa ASI, padahal sudah waktunya. Ndilalahnya, tak ada Pak suami yang biasanya mengingatkan. Kalau nggak salah ingat, dia sedang pulang menengok anak-anak. Maka terjadilah....

Tiba-tiba aku merasa kedinginan hingga menggigil dan meringkuk. Selimut kutarik menutupi seluruh tubuh, tapi tetap terasa dingin. Payudaraku mengeras, sakit sekali.  Alhamdulillah, tak lama kemudian suamiku masuk ke ruangan. Dia kaget melihat kondisiku. Apalagi setelah meraba dahiku yang panas. Bergegas dia memanggil perawat.

Mbak suster sigap memeriksa keadaanku. Lalu dia bertanya, "Ibu sudah memompa ASI?" Kujawab dengan gelengan. "Pantas! Ibu terkena mastitis ini!" Lalu mbak suster menerangkan pada kami, sambil menyuntikkan obat.

"Sudah saya kasih obat, Pak. Tapi nanti tetap dipompa ya, Bu, ASI-nya. Dikompres air hangat juga boleh, Pak. Biar cepat reda demamnya," saran mbak suster.

Tanpa menunggu lama, Pak suami segera mencari air panas ke ruang ICU. Dia ingat sewaktu aku dirawat 2 hari pertama, di kamar mandinya ada shower air panas. Berbekal 4 botol Aqua dia menampung air panas secukupnya. Setelah itu botol-botol itu dikompreskan ke punggung, dada, perut, dan telapak kaki. Alhamdulillah setelah beberapa waktu, suhu tubuhku normal kembali dan demamnya reda.

Kemudian sambil menahan nyeri, ASI-ku kembali dipompa. Pak suami sempat mengomeliku yang katanya 'nglalu'. "Ingat Hanif, Mi, jadi ayo semangat biar cepat sembuh," begitu katanya. Aku cuma bisa terdiam malu.

Syukurlah drama mastitis tersebut tak berlangsung lama, berkat kesigapan Pak suami dan tenaga medis di bangsal Mawar RSUD Cilacap. Aku tidak akan mampu membalas semua kebaikan yang telah mereka berikan. Biarlah itu menjadi urusan Allah yang Mahacinta. 

Demikianlah kisahku, semoga sobat kopidarigita bisa mengambil hikmah dan pelajarannya, yaa. Sampai jumpa di postingan berikutnya. Salam! (*)

Cilacap, 181119

#kontemplasi
#memoar