Cari Blog Ini

Sabtu, 19 November 2022

Ini Dia Marketplace Ramah UMKM



Mallee
Aplikasi Marketplace Mallee. Foto: tim/ist


Oleh: Gita FU


Zaman now adalah era digital, apa-apa serba online. Nyaris semua kebutuhan kita sudah tersedia di internet, tinggal buka gawai dan pilih aplikasi yang pas. 

Hal ini berlaku pula bagi kamu yang tengah memulai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan butuh memasarkan produk. Kini kamu dimudahkan dengan hadirnya pasar online alias marketplace. 

Mirip dengan pasar konvensional, di marketplace kamu bisa memajang foto produk. Lalu menanti  konsumen virtual memilih, dan membelinya. Setelah itu kamu kirim pesanan tersebut, dan tunggu uang pembayaran masuk ke rekening. 

Sekilas mudah, benarkah? 

Tentu tidak, Markoni. 

Ada banyak pelaku UMKM sepertimu yang sama-sama memarkir produk di etalase marketplace, bahkan bisa saja produknya serupa dengan milikmu. Kalau sudah begini pasti banyak pertanyaan bermunculan di benakmu. 

Bagaimana caranya bersaing untuk menarik pembeli? Kamu ingin lebih variatif tapi modal kurang, ada solusinya tidak? Apa kamu harus lari ke hutan, teriak di pantai, dan menghilangkan tutup tupperware emak? Siapa yang bisa kasih jawaban, pliisss!

Waduh. Sini, saya sodorkan jawaban. Cobalah Mallee. 


Apa itu Mallee? 


Yak, Mallee (dibaca: moli) adalah aplikasi marketplace buatan anak muda  Indonesia, yang hadir untuk memberi pencerahan dalam transaksi jual beli online. Tagline-nya adalah, #Semuaadasemuabisa. 

Hampir serupa dengan aplikasi marketplace lain di Mallee ada pula fitur etalase produk, transaksi, dan ekspedisi. Pembeli juga dimanjakan dengan promo potongan harga, hingga bebas ongkir. 

Perbedaannya, Mallee amat peduli pada  pelaku UMKM yang menjadi tenant di aplikasi ini. 


Problem UMKM


Menurut Bian, pendiri Mallee, teman-temannya sesama pelaku UMKM kerap mengeluhkan kurangnya support untuk memasarkan produk mereka. 

"Jadi dari ngobrol-ngobrol itu bisa saya simpulkan ada 4 keluhan teman-teman. Yaitu kurangnya pengetahuan dan teknologi untuk bersaing, jago produksi kurang bisa pemasaran, kekurangan modal finansial, dan rentan mengalami penipuan," jabarnya,  dalam salah satu teleconference kami beberapa waktu lalu. 

Bian bercerita bahwa ketika dirinya  bertemu Menteri BUMN Erick Thohir di suatu acara, di Yogyakarta, ia sempatkan menyampaikan hasil perbincangan tersebut. 

Erick Thohir, menurut Bian, menunjukkan kepedulian pada UMKM dan punya keinginan mendorong UMKM naik kelas. 

Selanjutnya Bian berjumpa pula dengan petinggi Bank Mandiri area Jateng dan DIY. Lalu terjadilah pembicaraan-pembicaraan penting. 

Dari situ muncullah ide Bian menciptakan aplikasi marketplace yang ramah pada pelaku UMKM. Ia juga menggandeng beberapa temannya untuk mewujudkan ide.

"Mallee ini asal katanya Mall elektronik. Biar mudah diingat kami singkat Mallee, dibaca Moli," cetus Bian. 


Solusi untuk Pelaku UMKM




Di Mallee mereka menyematkan 4 fitur khusus, yang menjawab 4 problem pelaku UMKM di atas. 

"Kami benamkan fitur edukasi baik online maupun offline. Lalu kami yang membuatkan konten untuk marketing pemilik UMKM," sebut Bian. 

Melalui kerjasama dengan Bank Mandiri, pelaku UMKM yang menjadi tenant Mallee dapat mengajukan KUR sangat lunak, bernilai maksimal 10 juta rupiah. 

Sistem keamanan di Mallee pun terjamin, baik dari sisi penjual maupun pembeli, selayaknya di marketplace lain. 

"Penjual juga dipermudah oleh kami. Biasanya penjual harus antar barang pesanan ke ekspedisi, tapi di Mallee penjual tinggal menunggu ekspedisi datang menjemput barang," terang Bian. 

Mallee menjamin hanya menerima  pelaku UMKM sebagai tenant dan tidak mengakomodir korporasi. Selain itu tidak ada potongan biaya bagi UMKM. 


Program Spesial Mallee




Nah, saya punya kabar baik lagi, nih. Selain sederet keunggulan bagi para pelaku UMKM di atas, Mallee juga sedang mengadakan program spesial lain nih. 

Bagi kamu yang belanja minimal nominal tertentu di Mallee, ada program GRATIS ONGKIR ke seluruh Indonesia plus kesempatan memenangkan HADIAH UNDIAN. 

Jadi, segera unduh Mallee sekarang di App Store atau Google Play Store. Lalu aktifkan fitur Livin' by Mandiri, otomatis kamu bakal dapat voucher belanja dari Indomaret senilai 50 ribu rupiah. Lumayaaan. 


#Mallee

#Marketplace











Senin, 01 November 2021

Pentingnya Melatih Soft Skill Anak di Era Digital

  


Dear Parents,

Pandemik yang telah berlangsung lebih dari setahun ini ternyata menyimpan bahaya laten tersembunyi bagi kondisi psikologis anak-anak kita. Bahkan sesungguhnya merekalah korban tersembunyi dari Covid-19. Demikian yang disampaikan oleh Yohana Theresia, M. Psi., psikolog dari Yayasan Heart of People.id, dalam webinar parenting bersama Faber-Castell Indonesia pada hari Sabtu, tanggal 25 September lalu. 

Yohana memaparkan hasil penelitian Soetikno, Agustina, Verauli, Tirta (2020). Bahwa ditengarai ada peningkatan permasalahan perilaku dan masalah akibat paparan stres, di kala pandemik ini. Masalah-masalah tersebut antara lain:

  • Menarik diri dari keramaian (withdrawal); 
  • Gangguan psikosomatis, yakni gangguan psikologis yang ditandai adanya keluhan di area fisik tertentu; 
  • Agresi; 
  • Depresi. 

Faktor pencetus masalah tersebut di atas ialah: ruang gerak yang terbatas, hambatan menjalani proses pendidikan di masa pandemik, orangtua yang sibuk, serta kondisi psikis yang labil. 

  Keadaan tersebut di atas memunculkan perilaku instan, yang banyak dilakukan orang tua untuk mengatasi masalah pada anaknya. Apakah itu? Memberikan gawai. 

Padahal gawai di tangan anak-anak bak koin bermuka ganda, ada sisi positif dan ada sisi negatif. Selama ini kebanyakan para orangtua cenderung mengabaikan sisi negatifnya. Sehingga mereka tidak memberi batasan waktu yang jelas (screen time) kepada anak-anaknya, perkara durasi memakai gawai. 

Omong-omong, apa sajakah efek negatif dari pemakaian gawai berlebihan terhadap anak-anak? Yohana menyitir riset yang dilakukan oleh Straker, Leon M. & Howie, Erin K. (2016) dan Dr. John Hutton (2020), bahwa efeknya adalah:




Maka dari itu Yohana memberi saran agar para orangtua bersikap cerdas. Pilihkanlah bentuk permainan yang cocok bagi anak-anak, sesuai umur dan kebutuhan. Sebab dengan permainan yang tepat guna akan mendukung tumbuhnya daya kreativitas, serta mengembangkan imajinasi mereka. Kreativitas dan imajinasi yang tinggi pada akhirnya bisa menciptakan pribadi-pribadi yang kreatif. 

Apa itu kreativitas? Ialah kemampuan untuk memproduksi/mengembangkan suatu karya asli, ide, teknik, atau pemikiran. 

Kriteria sosok yang kreatif:

  • Memaknai masalah dengan cara yang unik
  • Berani mengambil resiko
  • Menyajikan ide berbeda
  • Tahan banting dalam menghadapi berbagai masalah. 

Berita baiknya, kreativitas bisa diajarkan dan ditumbuhkan pada anak-anak melalui aktivitas sehari-hari di kehidupan nyata. 

Ingatlah, anak-anak kita tumbuh di era digital. Suatu era yang ditandai laju arus informasi dan data, yang menerabas sekat geografis. 

Mari asah soft skill anak-anak semenjak dini, parents! Melalui medium kegiatan yang menyenangkan tentunya. Salah satunya dengan permainan yang berbasis pada kesenian. 

Rabu, 31 Maret 2021

Harlok dan Isu Kekerasan Terhadap Anak

Novel Kereta Malam Menuju Harlok
Kereta Malam Menuju Harlok (Dok. Gita FU) 


Oleh: Gita FU


Judul      : Kereta Malam Menuju Harlok

Penulis   : Maya Lestari Gf

Penerbit : Indiva Media Kreasi

Cetakan : Pertama, Januari 2021

Hal         : 144  hlm

ISBN       : 978-623-253-017-1

Harga     : Rp 45.000 (P. Jawa) 

Novel  yang menjadi juara dua pada Kompetisi Menulis Anak Indiva 2019 ini mengambil tema yang tak biasa, yakni kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak bisa diartikan sebagai tindakan kekerasan  fisik, penganiayaan emosional/psikologis, pelecehan seksual, dan pengabaian. Dari empat macam kekerasan tersebut, Maya Lestari Gf mengambil fokus pada pengabaian anak. 

Pengabaian atau penelantaran anak adalah kondisi di mana orang dewasa yang bertanggung jawab, gagal  menyediakan kebutuhan yang memadai untuk berbagai keperluan; termasuk fisik (kegagalan  menyediakan makanan yang cukup, pakaian, kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), dan medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter). 

Anak adalah anugerah, titipan, sekaligus ujian bagi orang tua. Setiap anak terlahir suci, bagaimanapun kondisi fisik yang menyertainya. Apabila seorang anak lahir dengan cacat bawaan itu bukanlah kesalahan si anak. Ia tak minta dilahirkan. Justru kewajiban orang tua memberi pengayoman pada sang buah hati. Bukan malah diabaikan atau ditelantarkan.

Novel ini ditulis dengan semangat menyadarkan pembaca akan hakikat kemanusiaan, perlakuan manusiawi dan penuh kasih terhadap anak-anak. Ditujukan untuk pembaca anak-anak, dibalut fantasi tentang Kereta Malam dari langit. 

Anak-anak Telantar yang Dimanfaatkan 


Di Kukila, panti khusus anak-anak cacat, terdapat sembilan anak dan satu pengasuh panti. Masing-masing memiliki cacat fisik. Misalnya Tamir, ia tak punya kaki dan mata kanan. Atau Awab yang terkena sindrom autis. Begitu pula Amar, semua jemari tangan kirinya tidak tumbuh sempurna (hal. 6-8).

"Betapa enaknya punya ibu. Ada yang selalu memasakkan makanan lezat untukmu. Di panti asuhan semuanya berbeda. Kau harus mengurus dirimu sendiri. Semua anak punya jadwal memasak. Jika mereka tidak patuh pada jadwal, tidak ada yang makan hari itu." (hal. 11).
Pengasuh panti mereka adalah lelaki lima puluh tahun bernama Amang. Ia lelaki pemarah, tidak sayang pada anak-anak panti. Dan tepat di malam takbiran Amang pergi meninggalkan Kukila begitu saja. Ia menelantarkan Tamir dan teman-temannya (hal. 16).

Siapa nyana, di malam itu pula terjadi sesuatu yang hebat pada Tamir. Ketika petir menggelegar bersahutan, sebuah kereta api dari angkasa meluncur ke arah Kukila. Hanya Tamir yang melihat kedatangannya, lalu gelap melanda (hal. 20). Ketika Tamir terbangun, ia sudah ada di dalam gerbong kereta yang terlambung-lambung oleh turbulensi di awan. Rupanya Tamir dijemput oleh Kereta Malam, kereta khusus anak telantar, untuk dibawa ke Harlok, sebuah kota di langit (hal. 27). 

Sesudah turun dari gerbong, barulah Tamir mengetahui nasib buruk yang bakal menimpanya. Adalah Vled, seorang pria keji, yang telah menyebabkan Tamir dijemput Kereta Malam. Vled punya usaha penambangan batu seruni  di Harlok. Di sana ia mempekerjakan 40 anak laki-laki telantar dari kota-kota di bumi. Liciknya, ia menutupi pertambangan ilegal tersebut dari mata Pemerintah Kota Harlok, sebagai panti bernama Rumah Asuh Bahagia. 

Bersama anak-anak tambang lain, dan Baz sebagai pengurus mereka, Tamir menjalani hari-hari menyiksa di tambang gelap, sejak pagi hingga petang. Tenaga anak-anak terlantar itu diperas, makanan mereka memprihatinkan, kondisi mereka tak terawat. Bahkan tak ada keringanan bagi Tamir yang cacat. 

Anak-anak tambang bercerita pada Tamir, bahwa tak ada yang bisa meloloskan diri dari tambang Vled, ataupun melapor pada Departemen Anak Telantar. Karena Vled serta anteknya telah memagari lokasi mereka dengan pagar tinggi, dan singa kabut. Ironisnya, Baz sebagai orang yang bersikap baik pun tak berdaya melawan Vled. Sebab anak perempuannya disandera oleh Vled. 

Lama kelamaan penindasan Vled menjadi tak tertanggungkan lagi. Tamir dan teman-temannya memutuskan bangkit dan melawan (hal. 125-126)

Beberapa kesalahan penulisan yang saya temukan dalam novel ini tidak sampai mempengaruhi jalan cerita. Secara keseluruhan novel ini amat layak dimiliki sebagai bacaan yang bergizi, dan kontemplatif. 

Akhir kata saya ucapkan, selamat membaca. (*)

Cilacap, 310321


 

Selasa, 30 Maret 2021

Kritik Sosial dalam Novel Anak

 
Novel Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko
Novel Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko (dok. Gita FU) 


Oleh: Gita FU 


Judul      : Tragedi Apel dan Buku Ajaib Jiko

Penulis   : Yosep Rustandi

Penerbit : Indiva Media Kreasi

Cetakan : Pertama, Juli 2020

Hal         : 160 hlm

ISBN       : 978-623-253-002-7

Harga     : Rp 40.000 (P. Jawa) 


Kompetisi Menulis Novel Anak Indiva 2019 telah menahbiskan karya Yosep Rustandi ini sebagai jawara. Tentu saja hal ini memancing rasa penasaran yang membuncah dalam dada saya, apa keistimewaannya? Maka begitu novelnya terbit, saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera mendapatkannya. 

Ternyata begitu saya mulai membaca, saya tak bisa berhenti sebelum selesai. Alur ceritanya terasa mengalir, ditambah penokohan yang kuat, serta setting yang amat realistis. Setidaknya, itulah kesan pertama saya terhadap novel ini. 

Sebenarnya tema yang diangkat oleh sang penulis terhitung berat untuk kalangan pembaca anak; yakni masalah ketimpangan sosial, ekonomi, dan pendidikan di masyarakat. Saya yakin ada tantangan tersendiri bagi penulis guna membahasakannya sesuai alam pikiran anak-anak. 


Bermula dari Apel

 Di kota kecil Cibening, ada sebuah gang sempit berisi rumah-rumah kumuh. Di sana warganya sebagian besar berprofesi sebagai pemulung, pengamen, pengemis, pedagang kecil, tukang jamu, tukang parkir, kuli serabutan, calo, hingga preman. Mulai dari anak kecil hingga orang dewasanya terlalu sibuk berjuang mencari sesuap nasi. Termasuk Alin, dan Jiko yang kesehariannya menjadi loper koran atau pemulung cilik. Padahal mereka baru berusia delapan tahun. 

Tidak jauh dari gang kumuh tersebut, ada kompleks perumahan Beautiful Garden.  Kondisinya amat kontras, jalan dan rumah-rumah di sana selalu bersih. Warganya berpendidikan, serta memiliki strata sosial yang lebih baik. Kakak beradik Doni dan Dini adalah  tokoh-tokoh yang mewakili kalangan berada ini. Doni sudah kuliah semester dua, sedangkan Dini pelajar di SMA Harapan Hati. 

Di antara dua kutub yang bertolak belakang tersebut, ada sekelompok orang yang berusaha membuat jembatan penghubung. Mereka diwakili oleh tokoh Yasmin, remaja SMA Harapan Hati sekaligus volunter di Sanggar Hati. Serta Ibu Rara, Ketua LSM Sanggar Hati, sebuah LSM yang peduli terhadap anak-anak jalanan dan anak-anak miskin perkotaan. 

Emak Alin sakit yang lebih parah dari sebelumnya. Terpaksa emak libur kerja sebagai buruh cuci, dan sepenuhnya tergantung pada Alin. Di awal sakit emak pernah mengucapkan keinginan  makan apel impor besar dan harum dari negeri Cina. Dulu emak pernah diberi apel semacam itu oleh majikannya. Dalam pikiran Alin yang polos, emak pasti sembuh jika sudah makan apel.

Namun harga apel merah itu tak terjangkau oleh Alin. Penghasilannya hanya cukup untuk makan amat sederhana berdua emak. Maka suatu hari ia terpaksa menjambret seplastik apel merah dari Dini, yang baru saja menyelesaikan transaksi dengan si pedagang apel di pasar. 

"Gila kamu, akhirnya mencuri juga!" seru Jiko setelah napasnya mulai teratur. Alin memandang Jiko kecut. "Kata buku, kalau mau jadi pencuri, jadilah pencuri besar!" kata Jiko lagi. (Halaman 20).

Kisah lalu bergulir ke arah yang tak pernah Alin duga. Untung saja ada Jiko, si kutu buku sahabatnya. Berkat pengetahuannya yang luas dari buku bacaan, Jiko memberi saran-saran untuk Alin. Akan tetapi daya mereka  terbatas. Pada akhirnya Alin dan Jiko tetap membutuhkan pertolongan dari orang-orang dewasa yang mau peduli pada masalah mereka. 


Pelajaran Hidup yang Tersirat dalam Cerita

Dialog-dialog antar tokoh dalam novel ini tak jarang mengundang tawa saya. Kepolosan anak-anak terlukis begitu nyata. Narasinya lincah, peristiwa demi peristiwa terjalin runtut dan logis. Yang paling disukai oleh anak saya Hanna (pembaca berumur delapan tahun) ialah adegan kejar-kejaran antara Alin, Jiko, Atan, Sura, dan Wira hingga ke tebing di pinggir sungai. Seru, katanya. 

Di balik petualangan Alin dalam mengusahakan kesembuhan untuk emaknya, tersirat berbagai pelajaran hidup. Antara lain kejujuran, kepedulian, kebaikan hati, dan kehangatan keluarga. Saya menyusut air mata haru ketika membaca tentang emak Alin. Dikisahkan meski berada pada kondisi paling terdesak sekalipun, emak tetap kukuh tak mau makan barang hasil curian. Bahkan emak melarang Alin mengutil makanan dari tempat syukuran perkawinan. 

"Nilai hidup tidak ditentukan dari mana kita berasal dan di mana kita mati. Nilai hidup ada dalam proses menjalani. Siapa yang bisa menjalani hidup lebih baik, lebih bijak, lebih berguna, lebih ikhlas, lebih bertakwa, itulah orang-orang yang berbahagia." (hal. 157).

Lalu di manakah narasi kritik sosial tersebut? Secara tersurat ada pada penjelasan Ibu Rara di depan siswa SMA Harapan Hati mengenai tujuan LSM Sanggar Hati (hal. 18-20). Pada bagian ini mau tak mau terasa menceramahi pembaca dan sedikit membosankan. Selebihnya berkelindan bersama jalinan cerita sehingga lebih natural. 

Jika diibaratkan menu makanan, boleh dikata novel ini adalah paket komplit, sesuai misi pendidikan karakter untuk anak. Orang dewasa pun layak membacanya, untuk turut memetik inspirasi dari kisah Alin dan Jiko. Akhir kata saya ucapkan, selamat membaca! (*)

Cilacap, 300321

#lombaresensibukuindiva2020


Catatan tambahan: Alhamdulillah resensi ini masuk ke dalam 10 Resensi Terfavorit dalam Lomba Resensi Buku Indiva 2020.

Selasa, 20 Oktober 2020

Musim Kedua

Rubrik cerma Minggu Pagi

(Terbit di Minggu Pagi edisi Kamis, 8 Oktober 2020)

Oleh: Gita FU

"Ge, papaku bilang mau nikah lagi," ungkap Mita. Siang itu mereka duduk di bawah pohon kersen, di belakang rumah Gea.

"Lho, bagus tho? Papamu kan sudah menduda empat tahun," sahut Gea sambil mengudap kersen, "kalau mau nikah lagi, ya, wajar. Beliau butuh pendamping hidup yang bisa diajak berbagi, selaku pria dan wanita dewasa. Sedangkan kamu suatu saat bakal punya kehidupan sendiri."

Mita terdiam. Ia menatap sebal pada cewek berambut ikal sebahu di sampingnya itu. "Iya, Ge, iya! Tapi, mbok, ya jangan wanita itu...."

Gea menatap buah kersen yang hampir habis di mangkuknya. Sebenarnya ia sedang ingin bersantai sambil makan kersen. Mumpung tak ada tugas daring dari sekolah. Namun Mita adalah sahabatnya sejak kecil.

"Ge! Kamu masih nyimak nggak, sih?"

"Eh, apa, Mit? Kamu tadi bilang apa?"

"Aku bilang, seharusnya Papa memilih wanita selain Bu Leyla!"

"Lha, memang ada apa dengan Bu Leyla?" Seingat Gea, Bu Leyla adalah guru TK mereka dahulu. Suami Bu Leyla telah meninggal dunia enam tahun lalu.  Bu Leyla dikenal berperangai lembut. Semestinya, kan, Mita merasa beruntung sudah mengenal karakter calon ibunya.

"Ya, karena Bu Leyla itu ibunya Radit!" sembur Mita. 

Mulut Gea membulat. Ia nyaris lupa.  Mita pernah cerita belum lama ini, bahwa dirinya dan Radit baru  jadian. Pantas saja cewek berpipi kemerah-merahan ini uring-uringan. Tanpa sadar Gea menyeringai lebar. 

"Kenapa kamu kayak ketawa, gitu, Ge?" Mita bersungut-sungut tak suka.

"Soalnya kamu lucu. Penting mana, sih, pacar atau papamu?" Gea mencoba mengingatkan. Di luar dugaannya, Mita malah berdiri dengan marah.

"Kamu memang susah ngerti perasaan orang, Ge. Nyesel aku cerita!" Setelah itu Mita berlari meninggalkan rumah Gea.

 Gea menatap nanar. "Lho, memangnya aku salah ngomong, ya?" ucapnya bingung.

**

Pak Darno sedang berusaha menarik perhatian putri tunggalnya. "Jadi kamu ingin kita makan malam di restoran mana, Sayang?"

Mita belum menjawab. Ia berpura-pura menekuri materi yang dikirimkan gurunya lewat  grup WhatsApp. Sejak marah dengan Gea seminggu lalu, Mita makin galau menghadapi papanya. Sementara Papa terus berusaha meluluhkan hatinya, agar mau menerima Bu Leyla. Contohnya tawaran Papa sekarang: sebuah ajakan makan bersama besok malam.

"Mita," Papa kembali memanggil. Akhirnya Mita mendongak dari layar laptop.

"Apa Radit juga bakal ikut, Pa?" 

Papa mengernyit mendengar pertanyaan Mita. "Kalau tak salah, Bu Leyla bilang Radit akan ikut."

Hati Mita mencelos. Papa masih menunggu jawaban darinya. Mita jadi merasa iba menatap raut penuh harap, orang yang disayanginya tersebut. Ia berusaha mengatur degup jantungnya sebelum menjawab.

"Emh, bagaimana jika di Bangi Cafe, Pa? Kata teman Mita, makanan dan suasananya enak," ucap Mita, menyebut cafe baru di kota Cilacap. Papanya mengangguk lega dan gembira.

"Baik, Sayang. Terima kasih, ya. Papa janji nggak akan mengecewakan kamu. Sekarang Papa pergi sebentar. Ada urusan pekerjaan." Papanya mengacak-acak rambut Mita, penuh rasa sayang. 

Tak lama setelah Papa pergi, Mita menerima pesan WhatsApp baru. "Radit?" gumamnya. Mita berusaha menahan sesak di dada.  Ia menyudahi belajar, dan bersiap menunggu kedatangan Radit.

Tiga puluh menit kemudian Radit datang. Mita menemuinya di gazebo teras. Mereka  duduk berhadapan  dengan kikuk. Cahaya matahari sore menerabas dari sela dedaunan yang merimbuni halaman depan.

"Aku sudah memikirkan perkara hubungan kita, Mit." Cowok bermata elang itu bicara perlahan. Mita masih membisu.

"Ibu telah banyak berkorban untukku. Selain mengajar, Ibu juga membuat kue-kue pesanan orang. Ia begitu larut dalam kesibukannya itu. Setiap aku ingatkan agar beristirahat, ibuku hanya tersenyum." 

Mita menggigit bibir. Papanya pun begitu  larut dalam pekerjaan. Awalnya ia kira hal itu karena semakin banyak klien menggunakan jasa Papa sebagai desainer interior. Belakangan ia menyadari, Papa mencari pelampiasan dari rasa kehilangan Mama.

"Hingga suatu hari Ibu cerita soal gedung TK-nya yang akan direnovasi oleh pihak pengurus yayasan. Ibu pun berkenalan dengan  Pak Darno," lanjut Radit. "Kemudian tahu-tahu aku melihat perubahan itu. Ibu menjadi lebih sumringah." 

Mita ternganga mendengar kisah versi Radit ini. Ah, ia jadi merasa bersalah karena kurang peka terhadap perasaan Papa.

"Waktu itu aku sedang bersiap nembak kamu, Mit. Dan aku belum tahu bahwa Pak Darno adalah papamu. Maafkan aku, Mita. Seandainya bisa mundur ke masa lalu, aku pilih kita berteman baik saja. Aku tetap menjadi kakak kelasmu yang tengil, dan kamu adik kelas bawel," pungkas Adit lirih. 

Mita terisak. Ia memang  sudah mengira, inilah akhir kisahnya dengan Adit. Ia hanya perlu jeda sebentar untuk  menata hatinya lagi. Mungkin lebih baik seperti ini. Ia dan Radit memberi kesempatan kepada orangtua mereka, menjalani musim kedua dalam pernikahan. Mita pun ingin melihat papanya bahagia. (*) 

Cilacap, 140920


Keterangan: ini adalah cerma versi utuh yang saya kirim ke Redaksi. Lalu disunting dan dipangkas beberapa paragraf oleh Redaktur, setelah itu baru ditayangkan di rubrik cerma. Hal ini terjadi karena penyesuaian ruang di Minggu Pagi.