Cari Blog Ini

Kamis, 13 Agustus 2020

[Cerpen] Cublak-Cublak Suweng

 

Cerpen Radar Banyumas


(Tayang di Harian Radar Banyumas edisi Minggu, 2 Agustus 2020)

Oleh: Gita FU


Malam merangkak naik, jalanan telah lengang, hanya sesekali suara gonggongan terdengar di beberapa rumah penduduk yang memiara penjaga berkaki empat itu. Sementara sang ratu malam kian cerlang di singgasananya. Entah mengapa suasana purnama ini berbeda, seolah-olah ada teror tengah mengintai siapapun yang berani menjejakkan kaki di luar pintu rumah masing-masing, tanpa kecuali. 

Bagi Soni malam ini adalah malam yang paling ingin dilompatinya. Sekujur tubuhnya telah kuyup oleh keringat dingin sejak lepas isya tadi; bujang lapuk ini  tak tenang, tiduran salah, makanan apapun sulit ditelan, duduk-duduk pun bagai ada bisul matang di pantatnya. Emaknya sampai berulang kali menawari kerokan.

"Kayaknya kamu masuk angin, Son," ucap perempuan lanjut tersebut cemas. Ia raba dahi anak semata wayangnya penuh kekhawatiran.

"Aku ndak apa-apa, Mak, ndak apa-apa. Cuman lagi mikirin orang yang belum nyaur hutang ke aku," tepis Soni lembut. Ia tahu emaknya tak bisa menangkap kebohongan yang barusan ia lafalkan.

Perempuan tua itu menatap prihatin pada Soni. "Makanya jangan terlalu baik sama temanmu, Son. Kamu juga yang dibohongi seperti ini. Sudah ndak usah terlalu dipusingkan, Emak yakin nanti pasti ada ganti rejeki yang lain," ucap sang Emak berusaha menghibur. Soni hanya mengangguk dan tersenyum samar. Ditatapnya lekat-lekat wajah wanita paling berjasa dalam hidupnya itu. Mereka telah saling memiliki sejak lama sekali, tanpa kerabat lain. Bagaimana jika terjadi apa-apa padanya? Dengan siapa emaknya akan bersandar kelak? 

"Mak, kalau ada apa-apa sama aku, Emak tetap tinggal di sini, ya? Emak boleh ajak si Narisa buat menemani," kata Soni bersungguh-sungguh. 

"Eh, kamu ngomong apa? Ndak akan terjadi apa-apa, kamu belum kasih emakmu ini menantu dan cucu, jadi jangan bicara aneh-aneh. Pamali!" Emak membalas dengan nada tinggi dan kesal. Soni terdiam, ia lalu mencium tangan emaknya, pura-pura tak mempedulikan rasa heran wanita tersebut.

"Sudah malam, istirahatlah, Mak."

Setelah memastikan Emak masuk ke kamar tidurnya, Soni melangkah ke kamar kerjanya di sayap rumah, yang terpisah dari rumah utama. Ruangan ini berada di antara pepohonan pisang dan pepaya di pekarangan rumahnya. Ia menyengaja membuat kamar kerja ini, demi alasan khusus yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Bahkan Emak pun amat jarang masuk ke mari. Di luar angin kencang datang berpusar, menabrak pohon-pohon miliknya. Soni makin menggeletar.

Soni duduk lemas di lantai, kedua tangannya menyangga kepala. Pikirannya terasa berkabut. Agaknya inilah akhir untuknya: kalah oleh perjudian yang dibuatnya sendiri. Lelaki tambun ini menerawang, mengilas balik perjalanan hidupnya. Di suatu masa ketika belaian lembut tangan Emak masih sanggup meredakan tangisannya, akibat diejek sebagai anak haram. Ketika ia masih bisa bermain riang diiringi lagu dolanan bocah bersama Surti, Santi, dan Ning, meskipun kerap diolok-olok sebagai banci oleh anak lelaki lainnya. Kala ia masih bisa bungah menerima hadiah sepatu bekas dari anak majikan Emak. Soni mengusap matanya.

Mendadak jendela kamar terbanting terbuka. Selarik asap masuk ke tengah ruangan, mula-mula tipis, lalu menebal dan beralih rupa menjadi sosok seorang wanita. Tubuhnya dibalut kemben dan kain, menonjolkan lekak-lekuk menggoda. Kepalanya yang berambut panjang dan legam dihiasi semacam mahkota emas. Wanita itu tersenyum dingin pada Soni, kebengisan memenuhi tatapannya.

"Kau tidak lupa malam ini purnama ketiga puluh bukan? Jadi ... mana tumbal yang kuminta?"  Soni maju lalu mencium lantai di hadapan si makhluk.

"Ampun Kanjeng Nini, sa-saya tak bisa," jawabnya lirih.

"Apa maksudmu?" Makhluk yang berjuluk Kanjeng Nini itu menyeringai buas.

Soni tak langsung menjawab. Lamat-lamat ia menghidu bau mayat membusuk di sekitarnya. Hatinya menciut, ia nyaris ingin mengubah keputusan yang telah dibuatnya. Ah, kini Soni benar-benar menyesal. Namun sudah tak ada jalan untuk kembali.


**

Ingatannya kembali terbang ke malam celaka di hutan di punggung gunung Slamet kala itu. 

Setelah tersesat selama tiga hari akibat mengikuti petunjuk tak lengkap dari Kirun, temannya, akhirnya Soni menemukan petilasan yang dimaksud: sebuah ceruk pada sebatang pohon paling tua di sekitar situ. Ia segera melakukan ritual pemujaan di depan tempat tersebut. Lewat tengah malam muncullah sang Danyang¹, diterangi sorotan sinar bulan purnama. 

"Terimalah persembahan saya, Gusti," sembah Soni takzim. Makhluk itu mengikik panjang, bunyinya seolah datang dari kejauhan. Suasana hutan mendadak sepi tanpa suara-suara binatang hutan yang sebelumnya ramai terdengar oleh Soni.

"Panggil aku Kanjeng Nini, manusia. Aku bisa memberimu kekayaan yang kau idamkan selama ini," Kanjeng Nini berucap lembut. Senyumnya merekah selegit madu hutan. Serentak Soni menyembah si makhluk dengan perasaan membuncah. 

"Tapi tidak gratis, manusia. Ada syaratnya," tukas sang Danyang. "Setiap tiga purnama aku minta tumbal nyawa manusia. Apa kau sanggup?"

Soni menelan ludah. Ia sudah diberitahu perkara ini, tapi hatinya tetap merasa tergetar mendengarnya langsung. Ia lalu teringat kemiskinan yang membuatnya selalu tersisih dan tak dipandang banyak orang. Ia pun terbayang wajah emaknya yang amat ingin ia bahagiakan di sisa usia. Lagipula jumlah manusia di dunia ini sudah terlalu banyak, bukan? Apa salahnya dikurangi sedikit, ia nanti bisa memilih dan memilah calon tumbalnya.

"Baik, Kanjeng Nini. Saya sanggup," tercetus juga persetujuan dari mulut Soni. Di hadapannya si makhluk kembali tergelak, ia senang mendapatkan seorang manusia bodoh lagi sebagai pengikut.

"Bagus! Satu lagi yang perlu kau camkan, kelak di tumbal kesepuluh aku mau yang istimewa. Dan ingat! Jika kau langgar perjanjian ini, nyawamu jadi milikku. Sekarang pulang dan nikmati kekayaanmu!" 

"Terima kasih, Kanjeng Nini!" Soni girang, mengantuk-antukkan kepala ke tanah. Kanjeng Nini kemudian lenyap, menyisakan aroma kembang setaman dan sejumput kabut tipis. Selepas pertemuan manusia dan siluman tersebut, barulah para binatang malam kembali mengunggah suara mereka, seolah ikut berlega hati. Tak lama fajar pun terbit.

Itulah pangkal musabab perubahan nasib Soni. Setiap pagi, segepok uang  muncul dari balik bantalnya bagai disulap saja. Ia gunakan uang itu untuk membuka aneka usaha, sehingga pertambahan kekayaannya tidak terlalu menimbulkan pergunjingan. Selain itu ia pun membangun rumahnya  jauh lebih  bagus dari semula. Soni benar-benar melaksanakan niatnya membuat hidup emaknya lebih nyaman.

Ketika waktu mempersembahkan tumbal tiba, Soni memilih dari kalangan orang gila, lalu gelandangan, selanjutnya seorang preman, berikutnya seorang pesaing usaha, tak lupa ia pun mengorbankan sekaligus membalas dendam pada orang-orang yang pernah menghina dirinya maupun emaknya. Para korban  tersebut sebelumnya ia beri sesuatu benda, entah makanan, entah barang berharga yang telah diberi jampi. Mereka semua mati mendadak seakan-akan terkena serangan jantung. Demikianlah, tanpa sadar Soni telah menjadi pembunuh demi melanggengkan kekayaannya. 

Hingga menjelang tumbal kesepuluh, Kanjeng Nini mendatanginya. Sang siluman menginginkan tumbal istimewa. "Untuk purnama ketiga puluh kelak, aku mau kau tumbalkan orangtuamu, hai manusia!"

Melompat mata Soni mendengarnya. Permintaan itu sungguh tak pernah disangka-sangka. "Ke-kenapa begitu, Kanjeng?"

"Tiap sepuluh orang, kau harus semakin membuktikan pengabdianmu padaku. Dengan begitu aku pun akan semakin royal padamu. Mengerti?" Seringai sang siluman laknat. Soni gemetaran hingga tak sanggup menjawab. 

 "Jangan kecewakan aku!" Lalu siluman itu lenyap. Tinggallah pemujanya terduduk lemas tanpa daya.

Mana mungkin ia tega mengorbankan Emak, satu-satunya orangtua yang ia miliki? Demi apapun Soni tak akan menyakiti beliau yang telah banyak berkorban demi dirinya, semenjak lahir hingga dewasa. Batin Soni berkecamuk.

**

Siluman itu menggereng keras. Kemurkaan mulai merayapi parasnya. "Cepaaat! Mana tumbal yang kuminta?" Tiba-tiba taring panjang mencuat dari mulutnya. Bau bangkai busuk semakin santer mengisi kamar Soni. Bersamaan dengan itu, wajah dan tubuh Kanjeng Nini malih rupa menjadi raksasi buruk rupa; biji mata mencelat, rambut kusut awut-awutan, kuku-kuku memanjang, kulit bergelambir dan berlendir ....

Soni mengkerut menatapnya. Namun tekadnya sudah bulat. "A-ampun Kanjeng. Saya tak bisa menumbalkan orangtua saya."

"Keparat! Jadi kau memilih mati!" pekik sang siluman.

Secepat kilat sepasang tangan busuk mengangkat tubuh Soni. Lalu kuku-kukunya menembus dada Soni. Bunyi robekan kain, dan daging terdengar di udara. Darah Soni muncrat, matanya nyalang tak berkedip, teriakannya tercekat di tenggorokan. Tawa makhluk itu membahana. Tangannya terus merangsek mematahkan rusuk Soni ... siap meraup pusat kehidupannya.

Di kamarnya, Emak terjaga tiba-tiba. Suatu lintasan firasat membuatnya panik dan segera mencari anaknya. "Soni, Sini! Kamu di mana? Kamu belum tidur, ya?" Ia terus mencari di penjuru rumah induk. Tak lama perempuan yang amat dicintai oleh Soni ini teringat akan kamar kerja putranya. Ia pun menuju ke sana.

Sebelum nyawanya benjar-benar lepas, Soni terkenang tembang dolanan yang dulu pernah ia nyanyikan bersama kawan-kawannya.

 Cublak cublak suweng

Suwenge teng gelenter

Mambu kethundung gudel

Pak gempong lera-lere

Sapa ngguyu ndelekake

Sir sir pong dele kopong. (*)


Keterangan:

¹ Danyang : siluman penunggu suatu tempat yang wingit

²Cublak-Cublak Suweng adalah sebuah lagu tradisional yang mengiringi permainan anak-anak. Merupakan salah satu cara Sunan Giri saat itu menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Makna yang tersirat ialah: untuk mencari harta janganlah menuruti hawa nafsu tetapi semuanya kembali ke hati nurani.


Cilacap, 200816-040320

Senin, 20 Juli 2020

Uang Tidak Turun dari Langit

Img. Pixabay


Oleh: Gita FU


Orang bilang, peristiwa yang menyakitkan di masa anak-anak akan membekas lebih lama. Itu benar. Sebuah kejadian sepele menimpa saya ketika kelas 3 SD. Dan berhasil menjungkirbalikkan perspektif saya dalam memandang diri sendiri.


Waktu itu keluarga besar dari pihak Bapak tengah berkumpul di rumah Mbah dalam rangka lebaran. Lalu saya, Paklik, Bapak, adik lelaki saya,  dan seorang kakak sepupu duduk-duduk santai di ruang tamu. Kakak sepupu ini umurnya sebaya dengan saya, kita sebut saja namanya Intan.  Paklik, dan Bapak saling melempar guyonan segar, membikin suasana hidup. Mendadak saya teringat satu cerita lucu dan ingin menceritakannya, terutama kepada Bapak. Di saat yang bersamaan Intan pun rupanya ingin bercerita. Akibatnya kami mulai bicara berbarengan. Kemudian apa yang terjadi? Ternyata Bapak memilih mendengarkan cerita Intan, dan mengabaikan saya. Setelah Intan selesai, seisi ruangan (kecuali saya) tertawa terbahak-bahak karena ceritanya.


Saya merasa nelangsa sekali. Segera saya masuk ke kamar Mbah, menyembunyikan air mata. Memang saya akui, Intan pandai memikat lawan bicara karena gaya bicaranya ceplas-ceplos. Suatu kelebihan yang tidak saya miliki. Namun bukankah seharusnya Bapak mau menyediakan telinga untuk cerita saya, putrinya sendiri? 


Kejadian itu membuat saya belajar banyak hal. Di antaranya:

1. Kamu harus menarik agar diperhatikan orang lain;
2. Saudara atau bukan, tak ada hubungannya dengan rasa empati;
3. Lebih baik saya mencari jalur alternatif, agar tidak ditabrak pelintas lain yang punya kendaraan lebih menawan.


Demikianlah, hidup terus berjalan. Saya pun mengamalkan pelajaran nomor tiga. Alih-alih berusaha memperbaiki gaya bicara, atau penampilan misalnya, saya malah menarik diri dari keramaian. Saya lebih suka tenggelam dalam bacaan, apa saja jenisnya. Entah itu komik, novel, cersil, cergam, majalah, buku agama, buku IPA, koran, bahkan bungkus snack yang saya beli di warung. Dengan membaca saya merasa menemukan dunia baru, sensasi pengetahuan baru, mengenal tempat-tempat asing beserta penduduknya; pendek kata saya mendapatkan teman yang tidak akan mengabaikan saya.


Selain membaca ada satu lagi kegemaran saya yang muncul belakangan, yaitu menciptakan cerita-cerita. Awalnya saya tuangkan cerita-cerita itu ke dalam bentuk gambar. Di lembar-lembar buku tulis, saya asyik menggambar bebek-bebek yang saling mengobrol. Setiap kali saya bosan mendengarkan guru di depan kelas, maka saya akan  menggambar. Saya tenggelam ke dalam cerita yang saya ciptakan sendiri. Akibatnya guru-guru tersebut bakal menegur dengan lemparan kapur tulis, agar saya kembali memperhatikan pelajaran. Apakah saya menjadi kapok? Tentu saja tidak.


Beberapa teman sekelas di masa itu menganggap saya aneh dan tukang bikin masalah dengan guru. Mereka yang berpikir seperti itu lalu menjauhi saya. Namun saya tidak begitu memusingkannya. Sepanjang saya punya buku untuk dibaca, dan kertas untuk digambari, tidak mengapa tidak punya banyak teman di kelas. Begitulah cara saya membangun pertahanan diri.


Ketika memasuki masa remaja, kebiasaan membuat cerita bergambar pun surut. Sebagai gantinya saya mengenal buku diary. Karena tidak setiap masalah yang saya alami bisa saya katakan dengan bebas kepada orang tua, buku diary itu menjadi tempat bercerita yang paling baik. Saya merasa amat nyaman dan lancar ketika menuliskan yang ada di pikiran saya. Ajaib sekali, betapa banyak kata-kata yang mengalir keluar melalui goresan pena, lalu memenuhi lembar-lembar diary saya. Setiap usai menulis, saya merasakan kelegaan yang paling plong. 


Di SMP, bacaan  saya meluas. Beruntung sekolah saya memiliki perpustakaan yang cukup lengkap. Di situ saya menemukan buku-buku sastra angkatan balai pustaka, bersanding dengan majalah MOP,  majalah Anita Cemerlang, dan  bahan ajar lain. Selain itu, ada klub drama yang diampu guru bahasa Indonesia. Saya bergabung di klub ini, dan mendapatkan banyak ilmu baru tak hanya terbatas pada drama. Sebab guru kami mengajarkan pula prosa lama dan baru.


Terkait prosa baru, khususnya cerpen, saya punya pengalaman tak terlupakan. Ketika saya duduk di kelas 2, sekolah kami merayakan ulang tahunnya dengan berbagai lomba internal, salah satunya ialah lomba menulis cerpen. Saya merasa tertantang mengikutinya. Terutama karena di masa itu, saya banyak menjejali diri dengan membaca aneka cerpen remaja di majalah Anita Cemerlang, Aneka Yess, Gadis, dan Hai. Jadi mengapa saya tidak mencoba membuat cerita sendiri? Kemudian saya mulai menulis, setelah selesai langsung saya kirimkan ke posko pengumpulan naskah di perpustakaan.


Ketika diumumkan hasilnya, cerpen saya yang berjudul "Ketika Kamu Sakit" tersebut,  keluar menjadi juara.    Saya tidak tahu  bagaimana cara juri menilai   sehingga menganggap karya saya  itu yang terbaik. Dalam angan-angan saya,  mungkin karena jalan ceritanya yang dramatis, atau dialog-dialog nan puitis, atau penokohan yang sempurna. Semua kemungkinan ini membuat saya berbunga-bunga; ternyata saya punya bakat terpendam. (Baru belakangan saya mengetahui faktanya: cerpen saya adalah satu-satunya peserta dalam lomba itu. Apakah saya jadi merasa malu? Tidak juga. Itu, kan, bukan urusan saya).


Sayangnya, setelah menjuarai lomba di SMP tersebut, semangat menulis saya byar-pet, byar-pet, di tahun-tahun selanjutnya. Meskipun begitu, saya tetap membaca banyak buku. Itu tamasya tidak tergantikan. Barulah di tahun 2004 saya kembali tergugah untuk menulis. Saya bergabung dengan Forum Lingkar Pena cabang Purwokerto yang baru mulai didirikan. Kali ini saya bertekad untuk mempelajari cara-cara menulis yang baik dan benar. Terutama menulis fiksi, karena saya menyukai cerita.


Di tahun itu pula, ketika warnet sedang menjadi tren, saya memberanikan diri mengikuti Close Up Movie Planet Competition. Sebuah kompetisi  menulis ide cerita unik dan segar, yang lalu akan diwujudkan menjadi karya film pendek. Tawaran hadiahnya amat menggiurkan. Saya suka membayangkan diri saya menang, lalu terbang ke Australia untuk mengikuti pelatihan membuat film pendek. Pasti 'wow' sekali. Maka saya pun bersemangat mengikuti kompetisi itu. Usai mengirimkan karya, saya tidak mengikuti lagi berita dari Close Up Movie Competition. Entah siapa juaranya, yang jelas bukan saya.


Saya bertahan ikut FLP cabang Purwokerto selama tiga bulan saja. Penyebabnya karena saya mulai kuliah D3 di kampus swasta, ditambah membantu usaha orang tua, dipungkasi memberi les-les privat. Jadi terpaksa saya menyisihkan keinginan belajar menulis cerpen hingga waktu yang saya sendiri tidak tahu.


Di tahun 2006 saya kembali menulis cerpen. Awalnya saya tulis di buku, lalu saya pindahkan ke komputer di kampus, dan dibaca beberapa teman. Mereka menyatakan apresiasinya terhadap kisah itu. Saya juga menulis sebuah cerita anak untuk dikirimkan ke majalah Bobo via pos. Tak disangka, cerita berjudul "Didi dan Sepiring Nasi" itu dimuat beberapa minggu kemudian. Kala itu Bobo terbit satu pekan sekali. Betapa bahagia hati saya, mendapat kiriman bukti terbit, dan wesel berisi honor. Teman-teman di kampus yang mengetahui hal ini ikut mengucapkan selamat atas pemuatan karya saya.


Namun setelah itu saya kembali vakum. Apalagi di tahun 2006 itu pula saya menikah. Dan kesibukan baru setelah berkeluarga berhasil membuat saya lupa pada cerpen. Saya masih menulis diary, sesekali di waktu luang, berkomunikasi dengan diri sendiri. Hanya itu saja.  Tahun-tahun yang berlalu menyisakan kenangan samar belaka perkara dunia cerpen.


Tahun 2015 menjadi awal baru. Bermula dari HP Nokia C3 milik Ibu, saya terkoneksi kembali dengan internet. Saat membuka-buka akun Facebook saya menemukan informasi tentang grup-grup kepenulisan. Hal tersebut membuka lagi kenangan samar sekaligus kerinduan pada dunia menulis. Saya segera memilih bergabung dengan salah satu grup kepenulisan, yang didirikan seorang penulis wanita terkenal. Di situ saya kembali belajar menulis yang baik dan benar. Saya merasa telah lama berkarat, perlu diasah lagi.

Dari satu grup ke grup, membuka jalan saya untuk berkenalan dengan penulis-penulis yang lebih dulu eksis. Banyak dari mereka yang bersikap rendah hati, mau berbagi ilmu tentang kepenulisan yang mereka miliki. Sungguh suatu keberuntungan bagi saya.


Begitulah hingga hari ini, detik saya membuat tulisan ini. Saya selalu merasa berkarat dalam hal ilmu menulis. Ibarat uang tidak turun dari langit, begitu pun kemampuan manusia yang tidak serta merta mahir atau mumpuni; butuh belajar terus menerus, selama hayat dikandung badan. Jika saya berhenti maka saya akan tamat. Seringkas itu. (*)


Cilacap, 18-200720

(Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerjasama dengan Tempo Institute).


Sabtu, 04 Juli 2020

[Resensi] Kisah Cinta yang Muram dan Melukai Diri




(Tersiar di Harian Bhirawa edisi Jumat, 3 Juli 2020)

Oleh: Gita FU



Judul : Pirgi dan Misota
Penulis         : Yetti A. KAn
Penerbit : Diva Press
Cetakan  : Pertama, September 2019
Tebal : 132 hlm
ISBN : 978-602-391-753-2

Kisah cinta tidak selalu manis dan berakhir bahagia, ada pula yang mengalami kepahitan. Bahkan pada level yang parah ada sebagian orang yang menjalani 'toxic relationship', alias hubungan yang tidak sehat, tidak menyenangkan, dan merugikan bagi diri sendiri. Patut disayangkan kaum perempuan kerap terjebak di dalamnya, tak mampu atau tak mau keluar dari kondisi tersebut, meskipun dirinya makin terluka. Biasanya alasan yang dijadikan pembenaran adalah karena cinta.

Dalam novela ini Yetti A. KA mengetengahkan jalinan kisah nan muram dari tiga perempuan yakni Pirgi, ibunya, dan Misota.  Pirgi  seorang perempuan muda  naif yang punya sifat obsesif. Ayahnya adalah pensiunan pegawai kantor pos, tak pernah ikut mengurus  Pirgi semenjak  kecil. Sikapnya selalu masam dan tak banyak bicara kepada anak dan istrinya. Sedangkan ibu Pirgi wanita yang keras kepala, ia memiliki usaha rumah jahit dengan penghasilan lebih tinggi ketimbang  sang ayah. Ibunya mendominasi kehidupan Pirgi. Ia kerap bersikap keras dan memarahi apapun tindakan Pirgi yang tak berkenan di hatinya (hal. 26).

 Sejak kecil cita-cita Pirgi ingin menjadi penjaga toko roti dengan topi jamur di kepala. Ia mendambakan profesi itu semenjak di TK, walaupun ibunya habis-habisan mencela. Bahkan sang ibu mengarahkan cita-cita Pirgi agar menjadi seorang sekretaris di perusahaan besar. Pada akhirnya Pirgi berhasil mendapatkan yang ia inginkan: menjadi penjaga di toko roti, yang seragam karyawan perempuannya adalah baju dan rok selutut, lengkap dengan topi jamur berwarna putih. Di toko itu Pirgi bertemu Nodee, lelaki yang usianya bahkan lebih tua dari ibunya, dan ia seorang penulis. Pria itu bersikap manis dan perhatian padanya. Dua hal tersebut cukup membuat Pirgi dimabuk cinta, padahal ibunya tidak menyukai pria berumur itu.
 “Aku gadis muda berusia 22 tahun, bekerja di toko roti, terancam putus kuliah di jurusan sosiologi. Lelaki itu 45—satu tahun lebih tua dari ibuku—seorang penulis, tapi kata ibuku itu sama dengan pengangguran. Aku tak boleh menyukainya. Ibuku pasti murka.” (hal. 32).  

Atas dorongan perasaan, Pirgi mengambil keputusan nekat dengan menikahi Nodee dan keluar dari rumah ibunya. Ia lalu mengikuti Nodee yang memilih tinggal di sebuah rumah kontrakan sempit di kawasan padat penduduk (hal.47). Pernikahan tanpa restu itu berjalan hingga tahun kedua. Dari situ terkuak bahwa Nodee   mempunyai masalah  keseimbangan mental.  Pria itu selalu mengurung diri di ruangan sempit dengan alasan menulis novel, ia senang mengoleksi suvenir dari para penggemar perempuan, dan kerap mengabaikan keberadaan Pirgi. Ia pun sering tiba-tiba marah dan bersikap kasar. Hal-hal tersebut lambat laun mempengaruhi kejiwaan Pirgi. Ia bahkan percaya saja pada sugesti Nodee bahwa  dirinya adalah jamur raksasa yang memiliki kekuatan penghancur (hal. 58).    

Pirgi yang tengah dibelit masalah dalam pernikahannya tak bisa meminta bantuan pada orangtuanya. Maka ia berpaling pada Misota, yang dianggap sebagai sahabat baiknya. Misota sendiri adalah perempuan penuh masalah, sehari-hari bekerja sebagai operator telepon di rumah bordil. Meskipun tak bisa memberikan bantuan atas masalah Pirgi, Misota selalu bersikap ceria dan membesarkan hati. Sikapnya amat bertolak belakang dengan ibunya, sehingga Pirgi merasa nyaman berbicara pada Misota.

Namun akhirnya pernikahan mereka  berantakan saat Nodee memutuskan untuk berpisah. Beban psikis Pirgi tak tertanggungkan lagi sehingga ia mengamuk di toko roti tempatnya bekerja; ia berilusi dirinya betul-betul berubah  jamur raksasa.  Akibatnya Pirgi mendapat perawatan di rumah sakit jiwa selama tiga bulan. Setelah keluar dari sana, kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya pulih kembali. Ibarat gelas, Pirgi telah retak. 

Di sisi lain Misota menghadapi terornya sendiri. Ia yang sebelumnya dikenal Pirgi sebagai perempuan tangguh dan ceria, nyatanya punya masa lalu gelap; pria yang pernah memperkosa dan menjadikannya budak seks bertahun lampau berhasil menemukan tempat kerjanya. Ironisnya, jangankan melaporkan si pria kepada pihak berwajib, Misota bahkan tidak bisa membenci pria itu, karena ia mencintainya.   Pirgi yang baru keluar dari rumah sakit jiwa ingin bercengkrama seperti biasa dengan Misota. Namun kali ini Misota tak mampu lagi bersikap tegar dan memilih pergi (hal. 126).

Mau tidak mau Pirgi kembali berada dalam rengkuhan ibunya. Ibu Pirgi yang kerap menyebalkan, tapi tetap peduli padanya. Tanpa sepengetahuan Pirgi, Ibu pun menyimpan luka dari masa lalu yang membentuk karakternya menjadi keras dan kaku. Sejak Pirgi kecil, Ibu mengaku sebagai anak petani di kampung. Namun ternyata hal itu bohong belaka.  

“Aku ditinggalkan oleh ibuku, setelah ayahku lebih dahulu pergi. Jangan kau bayangkan bagaimana aku melewatinya. Umurku baru enam tahun. Aku belum mengerti apa-apa selain banyak menangis. Seseorang jatuh kasihan melihat tubuh kurus keringku di jalanan. Ia memang orang baik. Selain aku, ia membesarkan anak lain.” (hal. 128).

Berbagai peristiwa tidak menyenangkan telah dialami Ibu semenjak kecil,  beranjak remaja hingga dewasa. Bahkan Ibu pernah pula terjerumus ke pergaulan bebas. Karena itu setelah menikah lalu  membesarkan Pirgi, ia memutuskan menjaga putrinya dengan ketat. Rupanya Ibu ingin memperbaiki banyak bagian yang salah di hidupnya dahulu. 

Kisah dalam novela ini adalah kisah muram di dunia perempuan yang banyak terjadi di luar sana. Seyogyanya para perempuan menjadi lebih bijak dalam menjaga kewarasan dirinya sendiri, dan peran keluarga pun penting. Pesan ini menjadikan buku ini layak dibaca pembaca dewasa. (*)

Cilacap, 120320

Senin, 29 Juni 2020

[Cerpen] Erwin dan Tiga Dara


Medan Pos edisi Minggu, 21 Juni 2020
Rubrik Seni dan Budaya


(Tersiar di Harian Medan Pos edisi Minggu, 21 Juni 2020)

Oleh: Gita FU

Pagi ini langit kelabu.  Tak ada yang menyerbu kamar mandi satu-satunya di dekat dapur. Tak ada yang meributkan bedak atau lipstik yang berpindah tempat karena dipakai bersama. Tak ada yang mengeluhkan tugas kuliah hari ini. Pun tak ada yang bergegas ke warung Bu Lastri untuk antri membeli nasi bungkus. Tak ada yang ingin melakukan itu semua. Kami terlalu syok untuk melakukan rutinitas.

"Coba Gea, kamu ceritakan lagi. Rasanya aku susah percaya," ucap Malia gemetar. Aku memelotot sebal padanya.

"Iya, Ge. Barangkali kamu salah lihat tadi," timpal Ielma. Kali ini kegusaranku meluap.

"Kalau kalian memang tak percaya, ayo ikut denganku!" 

Jam setengah enam tadi, aku  bersepeda ke minimarket 24 jam terdekat di luar gang rumah kos kami ini. Aku kedatangan tamu bulanan dan baru ingat tidak punya persediaan pembalut wanita. Ketika dalam perjalanan pulang, aku mengayuh sepeda di sisi yang berseberangan dengan saat berangkat. Di muka rumah kosong berhalaman luas itulah aku menangkap pemandangan mengerikan. Aku nyaris terpeleset gara-gara menarik rem mendadak. 

"Erwin!" Aku menjerit tanpa sadar. Jalanan masih lenggang, tak ada yang tertarik mendekat. Aku merasa  tengah bermimpi buruk, dan berharap bisa terbangun untuk mendapati semuanya baik-baik saja. Namun lengan kiriku sakit menerima cubitan jemari tangan kananku. Aku ingin lebih mendekat, tapi kakiku menolak melangkah. Akhirnya aku bergegas pulang.

 Malia mengusap lelehan air matanya, sedangkan Ielma hanya mematung. "Padahal tadi malam aku masih melihatnya di kursi teras. Masa pagi ini dia sudah pergi, sih?" gumam Malia.

 "Menurutmu apa penyebab kematiannya, Gea?" Suara Ielma bergetar, ia menatapku pedih.

"Entahlah. Mungkin ia sakit, atau keracunan. Yang jelas,  tak ada darah tumpah di sekitar tubuhnya." Bila ada darah maka kemungkinannya bertambah: Erwin menjadi korban tabrak lari, atau seseorang sengaja memukulinya sampai mati.

Kami lalu duduk berjajar di sofa ruang tamu.  "Mungkin seharusnya kubawa pulang saja jasadnya tadi," sesalku, "tapi aku terlalu takut." 

 Malia meremas lembut pundakku. "Sudahlah, Gea. Aku jadi terkenang pada bantuan Erwin, saat aku sakit hati akibat dikhianati  Jon," cetusnya. "Kalian ingat masa-masa kacauku, kan?" 

Kami mengiakannya. Peristiwa putus cinta itu terjadi tiga bulan lalu. Malia dan Jon telah berpacaran setahun.  Jon adalah kakak tingkat flamboyan. Ia terpikat pada   Malia yang eksotis, setelah menatar teman kami ini sebagai anggota baru klub jurnalistik kampus. Namun kemudian Jon  melihat kecantikan gadis lain, dan berpaling dari Malia. 

"Erwin sering mengekoriku. Padahal aku cuma ingin menyendiri, mengasihani diri sendiri. Namun seolah-olah mengerti kesedihanku, ia malah bertingkah manja dan menggemaskan. Membuatku lama-lama merasa terhibur." Malia menerawang, bibirnya melengkung ke atas.

Aku melirik ke arah gadis itu. Erwin pun melakukan hal yang serupa padaku. Tingkahnya yang senang dekat-dekat pada manusia, rupanya berhasil menjadi terapi buatku. Aku pernah punya pengalaman buruk  sewaktu usiaku   sembilan tahun.  Ada seekor induk berwarna belang tiga datang dan melahirkan tiga anaknya di rumah. Kucing-kucing itu pun menjadi sasaran belaian, dan permainan bagi aku dan dua adikku. Mulanya orangtua kami  tidak keberatan. 

 Lalu anak-anak kucing semakin besar. Dan mulailah ibu kami mengomel-omel, tentang kotorannya, tentang betapa terganggunya ia dengan  kucing yang berlarian ke sana ke mari. Seolah belum cukup, adik terkecilku memukuli perut salah satu anak kucing hingga mati; aku ingat buih yang keluar dari hidung dan mulut kucing kecil itu. Disusul kematian seekor anak kucing lainnya akibat sakit. Kemudian ayahku memungkasinya dengan membuang si induk beserta seekor anak yang tersisa, entah ke mana. Patah hatilah aku.

Sejak kejadian itu aku selalu takut berdekatan dengan binatang berbulu itu. Hingga takdir membuatku bertemu Malia, dan Ielma di kampus yang sama. Kemudian kami memutuskan menyewa rumah kos secara patungan, di mana seekor kucing jantan berwarna cokelat putih milik penyewa sebelumnya, menyambut kami dengan riang.

"Kalian ingat tidak waktu Erwin berhasil menerkam  burung merpati Pak Mamet?" celetuk Ielma. "Itu bikin Pak Mamet muntab ke kita, kan?" Insiden itu terjadi dua minggu lalu.

 Kami  bertengkar dengan laki-laki paruh baya itu. Malia dan Ielma berbalik menyalahkan Pak Mamet selaku pemilik yang abai. Saban hari si burung   hinggap di teras kami, lalu buang kotoran seenaknya. Aku segera memeluk Erwin, berjaga-jaga seandainya Pak Mamet kalap. Pertengkaran itu sampai-sampai ditengahi Pak Heru, tetangga kos. Akhirnya Pak Mamet batal meminta ganti rugi, sebaliknya kami pun meminta maaf atas polah  Erwin.

"Kalau mengingat kemarahan Pak Mamet, mungkin tidak dia ada hubungannya dengan kematian Erwin?" Malia melontarkan prasangka. Seketika kami terlonjak menyadari kemungkinan yang tercipta. Balas dendam merupakan hal lumrah, tanpa memandang spesies.

"Mmm, bisa jadi, sih. Tapi andai benar, kita sulit membuktikannya. Salah-salah kita dituduh melakukan pencemaran nama baik," sanggahku. Malia dan Ielma terpaksa membenarkannya.

"Pertama-tama ayo kita lihat dulu bagaimana jasad Erwin," ajak Ielma. "Setelah itu kita bawa pulang dan kubur di halaman belakang." Apa yang diucapkan Ielma masuk akal. Sudah saatnya kami melakukan sesuatu, tidak hanya tenggelam dalam nelangsa.

Kami baru saja melangkah ke pagar. Saat itulah seekor kucing melompat turun dari tembok pembatas samping rumah. Ia lalu mengiau manja pada kami. 

"Lho? Erwin!" seru kami berbarengan. (*)

Cilacap, 180320



Selasa, 19 Mei 2020

Ide Kegiatan #DiRumahSaja: Membuat Bunga dari Pita dan Sedotan Plastik

Bunga Pita. Dokpri.


Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Haeee Sobat! Saya datang lagi, niih. Kali ini sebagai penutup rangkaian #BPNRamadan30DayChallenge, saya ingin menuliskan tutorial sederhana: membuat bunga dari pita Jepang dan sedotan plastik. Tutorial ini sekaligus bisa kalian jadikan ide mengisi kegiatan selama #dirumahsaja. Biar nggak bosen, gitu.

Nah, sebelum kita membahas langkah-langkah, ini dia bahan-bahan yang kalian butuhkan:

  • Beberapa gulung pita Jepang aneka warna. Potong-potong sepanjang 15 cm;
  • Sedotan plastik warna-warni. Pilih yang biasa buat pop ice, jadi plastiknya lebih kukuh nggak gampang mleat-mleot;
  • Cutter;
  • Penggaris besi;
  • Selotip



Setelah itu mulailah bekerja dengan langkah-langkah sbb:

  1. Satukan 5 lembar pita Jepang yang sudah dipotong, menggunakan stapler. Setelah itu bagian tengahnya digurat-gurat tipis, jangan sampai putus;
  2. Ambil selembar pita, lingkarkan bagian bawahnya mengelilingi ujung sedotan. Kemudian beri selotip;
  3. Tarik bagian pita yang masih tegak, ke badan sedotan. Buang kelebihan pita. Beri selotip;
  4. Cobalah dites. Jika  pita bagian pangkal bawah dapat didorong hingga ke pangkal atas sedotan, lalu bisa diputar membentuk kelopak bunga, itu tandanya sudah jadi.
  5. Siap dimainkan/dipajang di vas bunga/ dijual.

Ini dia hasil jadinya. Apik, kan? | Dokpri.

Hanna bahkan sempat menjual bunga ini ke kawan-kawan di sekitar rumah. Ia dan teman-temannya memberi nama: tongkat bunga. Selama beberapa waktu yang lalu, tiap pagi ada saja anak-anak yang datang minta dibuatkan. Mereka lalu membayar 1000 perak pada Hanna. 😁
Lumayan buat uang jajannya.




Gampil, kan? Semoga bermanfaat. Salam. (*)

Cilacap, 190520

#Day30
#BPNRamadan2020