Cari Blog Ini

Kamis, 06 Desember 2018

[Review] Penyimpangan Seks Ibarat Penyakit Menular

Oleh: Gita FU

Judul.         : Pelisaurus dan Cerita Lainnya
Penulis       : Gunawan Tri Atmodjo
Penerbit     : BASABASI
Cetakan.     : Pertama, September 2017
Tebal.          : 200 hlm
ISBN.           : 978-602-6651-32-7


Gunawan Tri Atmodjo penulis buku 'Tuhan Tidak Makan Ikan'--masuk dalam kategori buku prosa terbaik tahun 2016 oleh Kusala Sastra Khatulistiwa dan Majalah Rolling Stone Indonesia--sudah terbukti piawai mengalirkan cerita. Dalam buku kumpulan cerpennya kali ini ia menghadirkan dua puluh dua cerita pendek. Dengan judul yang sedikit kontroversial, ia terang-terangan menjadikan 'ngeloco' atau onani sebagai benang merah di nyaris seluruh cerita. Meskipun demikian, nyatanya Gunawan sama sekali tidak  sedang menulis cerita cabul. Melainkan ia tengah merangkum sejumlah persoalan sosial dalam masyarakat kita.

Dalam cerita berjudul 'Banci Gento', penulis mengungkapkan betapa perilaku gay yang menyimpang itu, serupa penyakit menular. Seseorang yang sebelumnya memiliki orientasi seksual normal, bisa berbelok pada percintaan sesama jenis, jika mendapat pemicu yang terus-menerus. Hal ini terjadi pada tokoh aku dan Ali Gempil. "Ia menjelaskan bahwa ada sisi cinta kepada sejenis di dalam dirinya yang tak bisa dikendalikannya. Ia menguraikan bahwa sejak peristiwa di gedung bioskop di masa remaja dulu, ia menjadi ketagihan. Ia sudah berkali-kali jajan waria sejak STM. Dan, ketika ia menjadi waria dan menjajakan jasa seks, ia merasa dirinya telah lengkap." (Hal. 72).

Gunawan pun tak lupa menyelipkan kritik sosial, perihal  ancaman kapitalisme terhadap keberlangsungan hidup rakyat kecil. Pembangunan toko-toko modern yang mengabaikan hak pedagang tradisional, masif terjadi hingga ke pelosok desa. Hal ini diangkat dalam cerita berjudul 'Siti Semak-semak'. Seorang wanita perkasa, menjadi simbol perlawanan warga kampung Punung terhadap  pengusaha dari kota. "Mereka hendak membangun sejumlah minimarket di daerah kita ini. Para pedagang kecil di kampung tentu saja menolaknya dan Siti Semak-semak menjadi corong suara mereka.

"Di pasar sempat terjadi perkelahian di siang bolong dan banyak saksi mata yang melihat Siti Semak-semak menghajar tiga begundal dari kota itu. Kelakuan Siti Semak-semak  itu sudah seperti pahlawan, setidaknya bagi para pedagang kecil. Sejak itu berita tentang minimarket menguap dari kampung ini." (Hal. 84).

Ada lagi cerita 'Franky Idu' yang  menyinggung maraknya  pornografi pada  generasi muda kita. Penyebabnya sudah bukan rahasia lagi. Yaitu akibat derasnya arus informasi dan hiburan yang tidak dibarengi pengawasan dari orang dewasa, ditunjang oleh besarnya rasa ingin tahu remaja terhadap hal-hal yang dianggap tabu.  Dikisahkan saat Franky duduk di kelas 2 SMP, ia pertama kalinya mengenal film porno dari sang kakak yang duduk di kelas 2 SMA. Sang kakak memiliki geng mesum di kelasnya. Mereka membeli sebuah VCD player portabel dengan jalan patungan. Kemudian VCD player itu dibawa pulang ke rumah masing-masing anggota geng secara bergiliran. Selanjutnya mereka leluasa menonton film, yang disewa dari suatu tempat penyewaan film porno ilegal, di rumah tanpa ketahuan orang tua (hal. 97).

Bagi saya pribadi, setiap usai membaca satu cerita dalam buku ini, terpatri kesan yang mendalam bahwa inilah realitas sosial yang perlu menjadi perhatian bersama-sama. Karena itulah tugas sastra; sarana menyampaikan realitas melalui medium fiksi. Ia tetap membumi dengan tema-tema keseharian. Adapun penggunaan kosakata yang banal maupun vulgar, tidak mengapa asal sesuai konteks. Dalam kerangka itulah buku ini hadir. (*)
Cilacap, 141017-161118

[Cerita Mini] Cicak dari Langit



Oleh: Gita FU

Belum pernah aku selunglai ini. Tabunganku nyaris tandas, dimakan hari-hari tanpa penghasilan. Semenjak aku keluar dari toko kain Wak Sigi dua minggu lalu, belum ada tempat lain menerima tawaran tenagaku. Tidak toko kelontong Yu Sarmi, laundry Bu Juju, atau warteg Mas Agus; semua  menolakku dengan alasan sudah cukup pegawai. Pilihan terakhir tinggal membabu di rumah orang. Dan itu sedang kupertimbangkan serius.

Omong-omong soal asap dapur, rupanya beras kami sisa dua kaleng saja. Dua kaleng ini akan kumasak separuhnya. Sisanya untuk esok. Yang penting perut anak-anak, aku bisa berpuasa. Urusan lauk, masih ada kecap manis kemasan saset, dan  mendoan di warung Lastri.

"Bu, aku lapar." Hanna mendekat, seragam TK-nya sudah berganti oblong merah dan celana pendek.

"Iya, Na. Ini sedang dimasak. Sebentar lagi matang," tunjukku ke penanak nasi listrik. "Kamu main di depan dulu, ya?" Hanna menurut.

Kulirik jam dinding, menunjuk angka  sepuluh. Dua jam lagi si kakak Fiyan pulang sekolah. Di luar mendung sudah tersibak. Lebih baik kulanjutkan menjemur cucian basah sisa kemarin.
Setengah jam berlalu. Kumatikan penanak nasi dan membuka tutupnya. Aku ingin menggelar nasi di piring untuk Hanna. Baru saja hendak berbalik, tiba-tiba seekor cicak dewasa jatuh tepat di atas nasi panas. Cicak itu segera belingsatan ke sana ke mari. Ya ampun! Sialan betul! 

"Bu, nasinya sudah matang?"

Suara Hanna menyadarkanku. Cepat-cepat kuambil sendok nasi. Lalu kuraup si cicak sial  keluar dari penanak nasi. Seharusnya kubunuh saja hewan itu, tapi urusan perut lebih utama. Anggaplah si cicak masih beruntung kali ini. Selanjutnya kubuang beberapa bagian nasi yang sempat jadi arena berlari cicak.  Akibatnya  jumlah nasi  berkurang lagi. Sudahlah masak sedikit, kini jadi makin sedikit. Namun apa boleh buat, bukan? Kemudian dengan sendok lainnya, kuambilkan Hanna sepiring nasi yang masih beruap, sekalian menutup penanak nasi. Cukup sekali saja kecolongan.

"Sini, Na. Nasi hangat plus kecap dan mendoan sudah siap!"

Putriku makan lahap.  Kuperhatikan tiap kunyahannya yang nikmat, laparku terobati. Tahu-tahu nasinya habis, Hanna mendongak. "Ibu sudah makan?"

"Oh, sudah kenyang, Na. Nah, taruh piringmu di tempat cuci piring, ya?"

"Sudah, Bu," lapor putriku. "Aku mau mengerjakan PR ya, Bu!"

"Ya, Sayang." Aku tetap duduk di dapur. Pikiran melayang pada suamiku. Sebentar lagi akhir tahun. Mas Wardi belum juga mengabari kapan akan pulang dari Kalimantan. Apakah pekerjaannya di proyek perumahan belum selesai? Tak ada yang bisa kutanyai. Padahal suami Wanti sudah kembali seminggu lalu.  Semoga tak ada kejadian luar biasa menimpanya. Semoga.

"Bu, ada tamu!" Seruan Hanna memutus lamunan. Gegas kubuka pintu depan. Oh, rupanya Darmi.

"Ada apa, Mi?"

"Aku punya kabar bagus buatmu," celoteh tetanggaku ini. "Kamu belum dapat pekerjaan, kan?" Aku menggeleng cepat.

"Bagus! Bu Bidan Ratmi sedang membutuhkan orang yang bisa dititipi anaknya selama dia dinas di rumah sakit. Berarti dari pagi sampai jam empat sore. Nanti bayarannya mingguan. Hanna boleh ikut. Terus, ya, makan siangmu ditanggung. Bagaimana? Mau, ya? Kalau mau nanti sore ikut aku ke sana."

Berondongan informasi Darmi sesaat membuatku lupa bernapas. Dia menanti jawabanku dengan ekspresi yakin. Setelah menimbang-nimbang ini memang bagaikan tumbu ketemu tutup, alias pas sekali dengan yang aku butuhkan. Aku pun mengiyakan.

"Eh, tunggu. Tukang momong sebelumnya kemana, Mi?"

"Pindah rumah. Udah, ya, aku pulang. Jangan lupa nanti sore!" Darmi segera berlalu.

"Maturnuwun, Mi!" seruku terlambat. Aku merasa lega penuh syukur. Gusti Allah memang tidak tidur. Di langit-langit seekor cicak berdecak.  Mungkin ia ikut bergembira denganku? Bisa jadi. (*)

Cilacap, 051218

(Ilustrasi: pinterest.id)







Kamis, 08 November 2018

[Resensi] Perempuan dan Masalah yang Dihadapinya



(Dimuat  di Harian Jateng Pos edisi Minggu, 4 November 2018)

Oleh : Gita FU

Judul Buku             : Sesuatu di Kota Kemustahilan
Penulis.                  : Rosi Ochiemuh
Penerbit                  : LovRinz Publishing
Cetakan.                 : Pertama, Februari 2018
Halaman                 : 208 hlm, 14x20 cms
ISBN.                       : 978-602-5684-46-3


Cerita yang ditulis oleh penulis perempuan, konon selalu melibatkan emosi dan perasaan yang dalam. Pendapat itu bisa dibenarkan manakala pembaca membuka lembaran-lembaran kisah dalam buku kumpulan cerpen ini. Dari dua puluh satu cerita ada benang merah yang bisa ditarik, yakni sudut pandang perempuan saat menghadapi permasalahan.

Cerita  getir disajikan dalam judul Firasat Hujan. Seorang Paman yang kesehariannya telah lelah oleh beban pekerjaan sebagai kurir di perusahaan penyuplai spareparts, berusaha menyisihkan secuil perhatian untuk keponakan perempuannya. Sang keponakan beranjak remaja, mulai tertarik pada lawan jenis. Sayang, orang tuanya sendiri kurang mengamati perubahan perilaku tersebut. Hingga ketika suatu peristiwa fatal menimpa si gadis, sang Paman yang sebelumnya telah berfirasat jelek, hanya mampu tergugu akibat keterlambatannya memberi peringatan pada orang tua si gadis (hal. 24). Kesan getir itu saya tangkap dari latar cerita ini: kota industri yang ruwet. Bagaimana kehidupan menuntut pergerakan serba cepat dan terburu-buru, agar roda ekonomi terus berputar. Hal itu menjadikan terciptanya kesenjangan bahkan di dalam satu keluarga. Suatu masalah yang semakin marak terjadi kini.

Masih dengan warna kelam dan getir, penulis mengangkat soalan ketimpangan peran dalam rumah tangga melalui cerita 'Hujan Batu di Kepala'.  Vina, seorang pegawai toko kain di Palembang, ia menjadi tulang punggung utama rumah tangga. Suaminya tak pernah menjalankan peran selaku pencari nafkah dan pengayom keluarga, bukan karena cacat fisik melainkan akibat cacat moral. Si suami terus menerus merongrong Vina untuk selalu sedia bekerja demi perekonomian mereka bahkan disaat kondisi kehamilan anak keduanya makin membesar. "Lelakimu bahkan tidak tahu bagaimana cara menafkahi lahir batin. Semua seakan timpang. Belum lagi ibunya itu, hanya membicarakan aib rumah tangga anaknya ketimbang memperbaiki. "Dia bilang, kamu adalah menantu tidak sempurna. Hanya bisa bekerja cari uang tanpa bisa menjadi istri dan ibu yang benar. Omongan yang tidak logis dan tidak berhati. Harusnya anak laki-lakinya mencari uang sejak menikahimu. Bukan menjadikanmu tulang punggung rumah tangga."  (Hal. 49). Ending yang tragis sekaligus membebaskan menanti tokoh Vina di akhir narasi cerpen ini.

Apa yang menimpa tokoh Vina di atas jamak ditemukan pada masyarakat kita. Menyisakan rasa penasaran di benak saya, apakah saat mengawali rumah tangga, sepasang laki-laki dan perempuan tersebut tidak menyamakan visi dan misi? Lalu apa sebenarnya yang terjadi pada pola pikir kaum lelaki, yang dengan seenaknya memperlakukan pasangan hidupnya bak sapi perah? Penulis buku ini memang tidak menyajikan jawaban pertanyaan saya, karena ia semata menyodorkan realitas dibalut fiksi.

Beranjak pada tokoh Mursalina dalam 'Oh, Mursalina' (hal. 95), seorang karyawati di perusahaan penyuplai spareparts. Setiap hari ia berjibaku dengan jalanan yang macet pada jam berangkat-pulang kerja, omelan dari atasan yang tak pandang bulu, hingga pemotongan gaji semena-mena. Mursalina terjebak dalam lingkaran setan, karena meskipun ia tak betah di tempat kerja tapi ia tak bisa keluar begitu saja. Sebab penghasilan suaminya belum mencukupi keperluan rumah tangga mereka. Mursalina mengangankan perlakuan manusiawi serta pemenuhan hak   pekerja perempuan dari perusahaannya.

"Kemacetan masih belum terurai. Dia memandangi wajah orang-orang yang kusut. Tak bisa turun dan tak berdaya di dalam. Tangisan klakson selalu melengking di telinga. Mursalina merasa tubuhnya lungkrah, kakinya pegal, teringat suami yang menunggu bersama buah hati. Mursalina kembali memejamkan mata. Andai saja takdir bisa kutulis sendiri seperti lamunanku tadi dalam mimpi sebentar, gumamnya." (Hal. 102).

Suara hati Mursalina di atas  ibarat suara lirih yang terus mendengung, pelan tetapi nyata adanya. Pusaran problematika sosial di sekitar kita yang kerap kali belum didapatkan solusinya. Melalui sastra si penulis berusaha mengungkapkan keprihatinannya pada pembaca. Pesan yang saya tangkap adalah  agar kita jangan berhenti peduli pada sekeliling. Karena kepedulian pada sesama dapat meringankan beban hati. Tentu saja buku ini tak luput dari kekurangan.  Hal klasik seperti masalah editorial dan EBI adalah minus yang saya temukan. Namun keduapuluh satu cerita di dalamnya tetap layak diapresiasi khalayak pembaca umum. (*)

Cilacap, 150818


[Resensi] Mendengar Suara Lirih Perempuan


(Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 2 September 2018)

 Oleh: Gita FU


Judul       : Sesuatu di Kota Kemustahilan
Penulis.             : Rosi Ochiemuh
Penerbit            : LovRinz Publishing
Cetakan.            : Pertama, Februari 2018
Halaman           : 208 hlm, 14x20 cm


"Lelakimu bahkan tidak tahu bagaimana cara menafkahi lahir batin. Semua seakan timpang. Belum lagi ibunya itu, hanya membicarakan aib rumah tangga anaknya ketimbang memperbaiki. Dia bilang, kamu adalah menantu tidak sempurna. Hanya bisa bekerja cari uang tanpa bisa menjadi istri dan ibu yang benar. Omongan yang tidak logis dan tidak berhati. Harusnya anak laki-lakinya mencari uang sejak menikahimu. Bukan menjadikanmu tulang punggung rumah tangga." (Hujan Batu di Kepala, hal. 49).

Kumpulan cerita dalam buku ini sebagian besar mengangkat masalah domestik rumah tangga, di mana perempuan menjadi tokoh utamanya. Sebagaimana banyak terjadi di zaman sekarang, perempuan pun ikut turun tangan mencari penghasilan baik sukarela ataupun terpaksa, agar perekonomian rumah tangga dapat berjalan. Selain menyandang peran pokok sebagai istri dan ibu. Dalam menjalankan peran ganda semacam inilah terjadi banyak gesekan baik di dalam rumah maupun dengan lingkungan sekitarnya.

Cerpen 'Hujan Batu di Kepala'  (hal. 36) mengangkat persoalan Vina, seorang pegawai toko kain di Palembang. Ia menjadi tulang punggung utama rumah tangga, akibat kemalasan sang suami. Saat tengah hamil tua anak kedua, ia didera sakit keras yang mengharuskannya beristirahat total. Sayang, ia tak mungkin berhenti dari pekerjaannya. Sementara sang suami malah semakin menjadi-jadi kelakuan buruknya: menghamburkan uang istri guna berjudi dan mabuk-mabukan. Puncaknya Vina mengalami sakit kepala hebat bagai hujan batu di dalam kepalanya.

Beranjak pada tokoh Mursalina dalam 'Oh, Mursalina' (hal. 95), seorang karyawati di perusahaan penyuplai spareparts. Setiap hari ia berjibaku dengan jalanan yang macet pada jam berangkat-pulang kerja, omelan dari atasan yang tak pandang bulu, hingga pemotongan gaji semena-mena. Mursalina terjebak dalam lingkaran setan, karena meskipun ia tak betah di tempat kerja tapi ia tak bisa keluar begitu saja. Sebab penghasilan suaminya belum mencukupi keperluan rumah tangga mereka. Pembaca diajak berempati pada Mursalina, ketika ia mengangankan perlakuan manusiawi serta pemenuhan hak   pekerja perempuan dari perusahaannya.

Melalui sastra seorang penulis memiliki kemampuan menggugah kepedulian pembaca, pada realita di sekitar yang bisa jadi luput dari perhatian. Seperti suara lirih yang terus mendengung, pelan tetapi nyata adanya. Buku ini tak luput dari kekurangan yaitu masalah editorial dan EBI. Namun keduapuluh satu cerita di dalamnya tetap layak diapresiasi khalayak pembaca umum. (*)

Cilacap, 080818

Jumat, 31 Agustus 2018

[Cerma] Biang Kerok



Terbit di Harian Rakyat Sumbar edisi Sabtu-Minggu, 25-26 Agustus 2018

Oleh: Gita FU



Hana menghempaskan badan ke bangku. Dadanya naik turun tanda menahan emosi. Kelakuannya memancing perhatian Lisa, kawan sebangku Hana.

"Eh, kamu kenapa, Na?"

"Cowok nyebelin itu lagi!" geram Hana.

"Ngapain lagi si Rio?" kejar Lina penasaran.

Hana menunjukkan kedua telapak tangannya yang kotor. "Bayangin, Lin! Tadi aku keluar dari perpus dan sedang jalan ke sini, ada si biang kerok itu lagi ngobrol sama temannya. Sengaja kucepetin jalanku, eh, tiba-tiba dia bilang, 'Awas, Na!' lalu tahu-tahu aku jatuh kepleset kulit pisangnya dia!"

Lina menutup mulutnya, "Ya ampun! Eh, tapi darimana kamu tahu kulit pisang itu punya Rio?"

"Ya dari ketawa jahatnya, lah!" seru Hana berapi-api. "Mau kutonjok dia langsung lari."

Lina menghela napas prihatin. "Sshh, sudah... Mendingan kamu cuci tanganmu, bentar lagi jam istirahat habis. Yuk, kuantar!"

Masih dengan perasaan kesal, Hana mau juga menuruti saran Lina. Tak lama kemudian jam pelajaran terakhir dimulai.

**

Awalnya Hana mengira kehidupan baru keluarganya di kota Purwokerto akan baik-baik saja. Demi mengikuti pekerjaan Papa sebagai kepala cabang sebuah dealer motor, dia rela meninggalkan Bekasi, kota kelahirannya. Saat dia memasuki gedung   SMU Panglima pun rasa optimis masih melingkupinya. Teman-teman barunya di XI-A juga menyambut Hana dengan baik.
Sampai  ketika dia tengah duduk menikmati jajan di depan kelas bersama Lina, muncullah cowok berambut ikal itu bersama dua temannya.

"Wah, anak baru, ya?" sapanya. Hana mendongak lalu mengangguk.

"Iya, dia pindahan dari Bekasi. Kamu kemana aja, kok, baru tahu?" sahut Lina. Cowok itu cengar-cengir, kemudian menyodorkan tangan.

"Kenalin, aku Rio, cowok paling keren dari XI-B," ucapnya.

"Hana." Saat menerima jabatan tangan cowok itu, Hana merasakan sesuatu yang lengket di telapak tangannya sendiri. Cepat-cepat dia menarik tangan dan matanya melotot mendapati segumpal permen karet di situ.

"Ups! Maaf, anak baru. Sekalian tolong buangin sampah, ya?" cetus Rio dengan roman jahil. Dia  kemudian berlalu bersama kelompoknya.

"Riooo!" teriak Lina. Di sebelahnya, wajah ayu Hana terlihat pias menahan marah.

**

Itulah awal mula kejahilan yang dilancarkan Rio. Sejak itu setiap ada kesempatan berpapasan di luar kelas, ada saja cara Rio mengusili Hana. Mulai dari panggilan 'Hansip', menabrak dengan sengaja, hingga yang terjadi kemarin: membuat Hana terpeleset. Hana sungguh tak mengerti apa mau cowok itu. Kata Lina, sepengetahuannya Rio bukan anak jahil.

"Atau jangan-jangan sebenarnya dia naksir kamu, Na?" duga Lina  yakin.

Tentu saja Hana menolak mentah-mentah pikiran itu. Enak saja, gerutunya. Pokoknya Hana merasa sudah waktunya dia melakukan sesuatu. Agar si biang kerok itu berhenti mengganggunya. Apalagi sekarang genap sebulan dia bersekolah di sana. Masalahnya, Hana belum punya ide mengatasi cowok jahil itu.

Tengah asyik melamun, Hana tak mendengar kedatangan Mama di kamarnya. "Hana... Mama panggil dari tadi, lho?"

"Eh, maaf, Ma," sahut Hana kaget. "Ada apa?"

"Mumpung hari Minggu, temani Mama ke pasar, yuk? Kita belanja mingguan. Kamu belum pernah lihat Pasar Wage, kan?" tawar Mama, dijawab anggukan Hana.

Setelah bertukar baju, Hana dan mamanya bermotor menuju pasar.
Pasar Wage adalah pasar tradisional terbesar di Purwokerto. Hari-hari biasa saja kondisinya selalu ramai, apalagi di hari Minggu seperti sekarang. Beberapa kali Hana terpaksa bersenggolan dengan pengunjung lain, padahal jarak antar gang sudah lumayan lebar.

"Ma, beli jajan juga, ya?"

"Boleh. Itu ada penjual pukis, kita ke sana saja, yuk!"

Mereka berjalan ke arah timur. Terlihat sejumlah pembeli mengelilingi gerobak pukis. Lelaki muda bertopi  biru tampak sibuk menuang adonan ke dalam cetakan,  membungkus pukis-pukis matang, lalu menyerahkan ke si pemesan. Mata Hana membulat saat dia mengenali lelaki itu.

"Itu 'kan si biang kerok!" desisnya.

Mama melengak kaget, "Siapa yang biang kerok?"

"Eh, anu. Maksud Hana, itu teman sekolah Hana. Udah, ah, Ma. Batal aja belinya," ralat Hana. Dia  tak sudi bertemu Rio. Cukup sudah kejahilan cowok itu dia rasakan di sekolah.

Mama tentu saja bingung.
"Lho, kenapa batal? Kalau itu teman kamu justru bagus, kan? Kita ikut melarisi dagangannya. Lagipula Mama senang sama anak muda yang kreatif usaha."

Belum sempat Hana menyanggah, Rio telah melihat kehadirannya dan spontan menyapa. "Halo Hana! Kejutan manis jumpa kamu di Pasar Wage! Ayo sini, apa kamu mau beli pukis juga?"

Hana langsung masam. Namun  Mama malah mendekati Rio. "Kamu teman sekolahnya, ya? Duh, salut Tante. Masih remaja sudah mau belajar cari uang."

Rio tertawa sopan. Kemudian di sela melayani pembeli, dia menjelaskan pada Mama bahwa ini adalah kali pertama dia berjualan sendiri. Karena sebelumnya dia hanya membantu kakaknya saja. Kini setelah menguasai cara membuat pukis, dia bertekad rutin berjualan di saat hari libur.

"Belajar wirausaha kecil-kecilan, Tante," pungkas Rio. Mama mengacungkan dua jempol padanya.

Diam-diam Hana menyimak. Diperhatikannya  Rio yang gesit, cekatan, dan ramah. Hilang sudah kesan jahil yang selama ini dia ingat. Rupanya Rio menangkap pandangan mata Hana.

"Tante, maafkan saya, ya. Di sekolah saya sering mengusili Hana. Habis penasaran, ada anak baru cantik, tapi kok, pendiam?" Celetukan Rio sontak memerahkan wajah Hana.

Mama malah tertawa, "Ya ampun! Itu tandanya tak kenal maka tak sayang! Kamu minta maaf sendiri, Nak Rio."

Sembari menyerahkan pukis pesanan Mama, Rio berucap lagi, "Hana maafkan aku, ya. Aku janji nggak jahil lagi sama kamu."

Hana tak menjawab, namun seulas senyum mekar di wajahnya. Mungkin si biang kerok ini pantas diberi kesempatan kedua. (*)

Cilacap, 180718