Cari Blog Ini

Jumat, 31 Agustus 2018

[Cerma] Biang Kerok



Terbit di Harian Rakyat Sumbar edisi Sabtu-Minggu, 25-26 Agustus 2018

Oleh: Gita FU



Hana menghempaskan badan ke bangku. Dadanya naik turun tanda menahan emosi. Kelakuannya memancing perhatian Lisa, kawan sebangku Hana.

"Eh, kamu kenapa, Na?"

"Cowok nyebelin itu lagi!" geram Hana.

"Ngapain lagi si Rio?" kejar Lina penasaran.

Hana menunjukkan kedua telapak tangannya yang kotor. "Bayangin, Lin! Tadi aku keluar dari perpus dan sedang jalan ke sini, ada si biang kerok itu lagi ngobrol sama temannya. Sengaja kucepetin jalanku, eh, tiba-tiba dia bilang, 'Awas, Na!' lalu tahu-tahu aku jatuh kepleset kulit pisangnya dia!"

Lina menutup mulutnya, "Ya ampun! Eh, tapi darimana kamu tahu kulit pisang itu punya Rio?"

"Ya dari ketawa jahatnya, lah!" seru Hana berapi-api. "Mau kutonjok dia langsung lari."

Lina menghela napas prihatin. "Sshh, sudah... Mendingan kamu cuci tanganmu, bentar lagi jam istirahat habis. Yuk, kuantar!"

Masih dengan perasaan kesal, Hana mau juga menuruti saran Lina. Tak lama kemudian jam pelajaran terakhir dimulai.

**

Awalnya Hana mengira kehidupan baru keluarganya di kota Purwokerto akan baik-baik saja. Demi mengikuti pekerjaan Papa sebagai kepala cabang sebuah dealer motor, dia rela meninggalkan Bekasi, kota kelahirannya. Saat dia memasuki gedung   SMU Panglima pun rasa optimis masih melingkupinya. Teman-teman barunya di XI-A juga menyambut Hana dengan baik.
Sampai  ketika dia tengah duduk menikmati jajan di depan kelas bersama Lina, muncullah cowok berambut ikal itu bersama dua temannya.

"Wah, anak baru, ya?" sapanya. Hana mendongak lalu mengangguk.

"Iya, dia pindahan dari Bekasi. Kamu kemana aja, kok, baru tahu?" sahut Lina. Cowok itu cengar-cengir, kemudian menyodorkan tangan.

"Kenalin, aku Rio, cowok paling keren dari XI-B," ucapnya.

"Hana." Saat menerima jabatan tangan cowok itu, Hana merasakan sesuatu yang lengket di telapak tangannya sendiri. Cepat-cepat dia menarik tangan dan matanya melotot mendapati segumpal permen karet di situ.

"Ups! Maaf, anak baru. Sekalian tolong buangin sampah, ya?" cetus Rio dengan roman jahil. Dia  kemudian berlalu bersama kelompoknya.

"Riooo!" teriak Lina. Di sebelahnya, wajah ayu Hana terlihat pias menahan marah.

**

Itulah awal mula kejahilan yang dilancarkan Rio. Sejak itu setiap ada kesempatan berpapasan di luar kelas, ada saja cara Rio mengusili Hana. Mulai dari panggilan 'Hansip', menabrak dengan sengaja, hingga yang terjadi kemarin: membuat Hana terpeleset. Hana sungguh tak mengerti apa mau cowok itu. Kata Lina, sepengetahuannya Rio bukan anak jahil.

"Atau jangan-jangan sebenarnya dia naksir kamu, Na?" duga Lina  yakin.

Tentu saja Hana menolak mentah-mentah pikiran itu. Enak saja, gerutunya. Pokoknya Hana merasa sudah waktunya dia melakukan sesuatu. Agar si biang kerok itu berhenti mengganggunya. Apalagi sekarang genap sebulan dia bersekolah di sana. Masalahnya, Hana belum punya ide mengatasi cowok jahil itu.

Tengah asyik melamun, Hana tak mendengar kedatangan Mama di kamarnya. "Hana... Mama panggil dari tadi, lho?"

"Eh, maaf, Ma," sahut Hana kaget. "Ada apa?"

"Mumpung hari Minggu, temani Mama ke pasar, yuk? Kita belanja mingguan. Kamu belum pernah lihat Pasar Wage, kan?" tawar Mama, dijawab anggukan Hana.

Setelah bertukar baju, Hana dan mamanya bermotor menuju pasar.
Pasar Wage adalah pasar tradisional terbesar di Purwokerto. Hari-hari biasa saja kondisinya selalu ramai, apalagi di hari Minggu seperti sekarang. Beberapa kali Hana terpaksa bersenggolan dengan pengunjung lain, padahal jarak antar gang sudah lumayan lebar.

"Ma, beli jajan juga, ya?"

"Boleh. Itu ada penjual pukis, kita ke sana saja, yuk!"

Mereka berjalan ke arah timur. Terlihat sejumlah pembeli mengelilingi gerobak pukis. Lelaki muda bertopi  biru tampak sibuk menuang adonan ke dalam cetakan,  membungkus pukis-pukis matang, lalu menyerahkan ke si pemesan. Mata Hana membulat saat dia mengenali lelaki itu.

"Itu 'kan si biang kerok!" desisnya.

Mama melengak kaget, "Siapa yang biang kerok?"

"Eh, anu. Maksud Hana, itu teman sekolah Hana. Udah, ah, Ma. Batal aja belinya," ralat Hana. Dia  tak sudi bertemu Rio. Cukup sudah kejahilan cowok itu dia rasakan di sekolah.

Mama tentu saja bingung.
"Lho, kenapa batal? Kalau itu teman kamu justru bagus, kan? Kita ikut melarisi dagangannya. Lagipula Mama senang sama anak muda yang kreatif usaha."

Belum sempat Hana menyanggah, Rio telah melihat kehadirannya dan spontan menyapa. "Halo Hana! Kejutan manis jumpa kamu di Pasar Wage! Ayo sini, apa kamu mau beli pukis juga?"

Hana langsung masam. Namun  Mama malah mendekati Rio. "Kamu teman sekolahnya, ya? Duh, salut Tante. Masih remaja sudah mau belajar cari uang."

Rio tertawa sopan. Kemudian di sela melayani pembeli, dia menjelaskan pada Mama bahwa ini adalah kali pertama dia berjualan sendiri. Karena sebelumnya dia hanya membantu kakaknya saja. Kini setelah menguasai cara membuat pukis, dia bertekad rutin berjualan di saat hari libur.

"Belajar wirausaha kecil-kecilan, Tante," pungkas Rio. Mama mengacungkan dua jempol padanya.

Diam-diam Hana menyimak. Diperhatikannya  Rio yang gesit, cekatan, dan ramah. Hilang sudah kesan jahil yang selama ini dia ingat. Rupanya Rio menangkap pandangan mata Hana.

"Tante, maafkan saya, ya. Di sekolah saya sering mengusili Hana. Habis penasaran, ada anak baru cantik, tapi kok, pendiam?" Celetukan Rio sontak memerahkan wajah Hana.

Mama malah tertawa, "Ya ampun! Itu tandanya tak kenal maka tak sayang! Kamu minta maaf sendiri, Nak Rio."

Sembari menyerahkan pukis pesanan Mama, Rio berucap lagi, "Hana maafkan aku, ya. Aku janji nggak jahil lagi sama kamu."

Hana tak menjawab, namun seulas senyum mekar di wajahnya. Mungkin si biang kerok ini pantas diberi kesempatan kedua. (*)

Cilacap, 180718

Minggu, 22 Juli 2018

[Cernak] Rahasia Riku


(Terbit di Harian SoloPos edisi Minggu, 15 Juli 2018)

Oleh: Gita FU


  Kelas bunga Violet  akan menampilkan drama berjudul 'Kehidupan di Lembah Bunga'. Drama itu dalam rangka meramaikan  pentas seni Sekolah Peri Floralia.  Bu Gora sebagai wali kelas, membagi-bagi peran untuk murid sekelas. Riku, Elkei, Rossa, dan Karra menjadi para gadis penjual bunga. Sementara  yang lain  berperan  jadi petani, pejabat desa, pembeli, dan penduduk biasa.

"Kalian harus berlatih menari dan berdialog sesuai naskah ini," perintah Bu Gora sambil melambaikan lembaran naskah. Murid-muridnya mengangguk antusias.

"Bu Gora, bagaimana dengan kostum?" Elkei si peri bersayap hijau bertanya mewakili teman-temannya.

"Oh, untuk penjual bunga, pakai tunik  berwarna cerah dan  stoking hitam," jawab Bu Gora. "Petani pakai tunik berwarna cokelat dan stoking kuning. Untuk pembeli dan penduduk biasa, pakai tunik bermotif dan stoking merah. Khusus pejabat mengenakan tunik dan stoking warna putih. Mengerti semua?"

"Mengerti, Bu!"

"Sip! Aku punya stoking hitam!" seru Karra si peri  ungu.

"Aku juga!" timpal Rossa dan Elkei.

"Kenapa harus stoking hitam, sih?" keluh Riku si sayap merah.

"Kalau kamu tidak punya, boleh pinjam punyaku," balas Karra lembut.

Riku menggeleng kuat-kuat, "Diberi gratis pun aku tak mau!"

Tiga temannya heran, tapi mereka berusaha membujuk Riku. Sayangnya Riku malah semakin marah. "Pokoknya aku nggak mau pakai stoking hitam!"

Bu Gora mendengar keributan di kelompok itu, begitu pun murid-murid lainnya. "Ada masalah, anak-anak?" tanya Bu Gora.

"Riku tidak mau pakai stoking warna hitam, Bu!" lapor Rossa si peri  kuning.

Bu Gora menatap si peri merah, "Benar begitu, Nak?"

"I-iya, Bu," sahut Riku pelan.

"Sayangnya sudah tidak ada waktu lagi untuk mengubah ketentuan. Pentas seninya akhir bulan ini," sesal guru mereka. "Atau begini saja. Coba Riku diskusi dengan teman-teman di kelompok lain. Mana tahu ada yang mau  bertukar peran denganmu.  Ibu pikir itu jalan keluar paling baik."

Riku menyetujui saran Bu Gora. Namun dia terpaksa kecewa, ternyata tak ada yang ingin bertukar peran dengannya. Mengetahui itu, Rossa, Elkei, dan Karra berdiskusi diam-diam.

**

Sore hari  Bu Raya, ibunya Riku, asyik berkebun di halaman rumah. Terkadang Riku pun menemani.  Namun ketika Rossa, Elkei, dan Karra datang berkunjung mereka hanya melihat Bu Raya.

"Sore Bu Raya, Riku ada?" sapa tiga peri itu.

"Sore juga. Aduh, dari tadi siang anak itu mengurung diri di kamar. Entah kenapa. Apa perlu Ibu panggilkan?"

Tiga peri saling bertukar pandangan. Lewat isyarat mata, Elkei ditunjuk mewakili  bicara. "Oh, nanti saja, Bu. Sebenarnya kami ingin menanyakan sesuatu pada Ibu."

"Boleh saja. Mari sambil duduk di pondok," ajak Bu Raya ramah. Mereka menuju gazebo di dekat petak bunga anyelir. Setelah itu Elkei menceritakan tugas latihan drama yang kelas mereka dapatkan. Termasuk soal kostum yang kelak mereka pakai.

"Begini, anak-anak. Riku itu trauma sama stoking warna hitam," jawab Bu Raya.

"Dulu saat Riku tiga tahun, dia pernah dijahili dua kakak sepupunya. Riku dikunci di  lemari baju yang kebetulan di dalamnya tergantung  sebuah stoking hitam. Lalu dua anak nakal itu  bilang stokingnya  hidup. Tentu saja Riku ketakutan."

"Begitulah peristiwanya," tutup Bu Raya. Tiga peri merasa iba pada Riku.

"Berarti kita harus membantu Riku agar keluar dari rasa takutnya," cetus Karra. "Ayo kita pikir bersama, teman-teman!"

Bu Raya senang melihat kesetiakawanan tiga peri tersebut. Dia lalu masuk ke rumah hendak menyuguhkan minuman. Saat kembali lagi dengan tiga gelas es sirsak, para peri itu sudah bersiap mau pulang.

"Ayo diminum dahulu esnya," cegah Bu Raya.

"Terima kasih, Bu. Maaf kami harus segera pulang untuk menjalankan rencana kami," ucap Rossa sopan.

**

Keesokan pagi di sekolah. Elkei, Rossa, dan Karra mengajak Riku ke taman sekolah. Mereka tersenyum-senyum penuh arti.

"Ini bingkisan spesial dari kami untukmu, Ri. Bukalah," ucap Karra sambil menyodorkan sebuah kotak kado. Riku menerimanya dengan bingung.

"Dan jangan marah, ya? Sebab kami sudah diberitahu ibumu, rahasia di waktu kamu kecil," timpal Elkei.

Riku terbelalak  melihat isi kotak. Ternyata itu adalah ... stoking  hitam yang indah. Di seluruh bagiannya dililiti sulur-sulur portulaca¹ yang dikeringkan, lengkap dengan bunga  merahnya. Semua dijahit  amat rapi.

"Cantik, ya? Sekarang kamu bisa pakai stoking hitam tanpa takut lagi," senyum Rossa.

"Ini bagus sekali! Terima kasih kawan-kawan!" seru Riku terharu. "Dengan ini aku akan belajar melawan rasa takutku."

Keempat peri itu kembali tertawa riang. Rasa kesetiakawanan yang kuat mampu memecahkan masalah, yang mereka hadapi. (*)

Cilacap, 060718

Keterangan:
¹ Portulaca: nama latin tanaman krokot

Selasa, 17 Juli 2018

[Cerma] Jangan Jadi Pelari, Erina


(Terbit di Harian Rakyat Sumbar edisi Minggu, 15 Juli 2018)

Oleh: Gita FU

Cewek SMA berambut ikal sebahu masuk ke kios penyewaan bukuku. Aneh, seharusnya pada jam delapan seperti ini cewek itu sedang di kelas, bukan? Kupikir dia pasti tengah bolos.

"Mas, kalau mau sewa di sini syaratnya apa?" tanyanya tanpa sungkan.

"Jadi anggota dulu, Dik," jawabku pendek. Cewek itu manggut-manggut lalu sibuk menekuri judul-judul buku.

"Mas, aku numpang baca di sini, ya?" Tak lama  dia kembali bersuara. Di tangannya sudah tergenggam Breaking Dawn-nya Stephanie Meyer.

"Wah, maaf, Dik. Aturan mainnya nggak begitu. Kalau ingin baca  kamu harus sewa. Dan untuk menyewa, ya daftar dulu," cerocosku.  Aku tak ingin memberi toleransi karena  tak baik buat bisnis.

"Apa syarat pendaftarannya?"

"Cukup isi formulir ini, kasih  fotokopi kartu identitas, bayar uang pendaftaran. Nanti kamu dapat kartu anggota Kios Baca Doraemon, dan  bisa sewa buku  dengan jangka waktu empat hari."

"Duh, ribet!" keluhnya.

"Kalau mau baca di tempat dan gratis, ya  ke perpustakaan sekolah atau daerah," balasku pedas.

Dia terdiam. Setelah itu aku  tidak lagi mempedulikannya. Dan sekira jam sembilan para pelangganku berdatangan. Kebanyakan adalah mahasiswa Unsoed, karena lokasi lapakku memang berdekatan dengan  kampus. Kesibukanku  berlanjut hingga dua jam. Begitu sepi, kuregangkan tubuh. Biasanya lepas tengah hari nanti kios ramai kembali. Sekarang waktunya aku membeli nasi bungkus untuk makan siang.

"Lho! Kamu masih di situ?" Kaget, kudapati cewek SMA tadi sedang berjongkok di pojok sebelah  luar. Apalagi dia tengah asyik membaca novel Twilight. Cewek itu buru-buru berdiri.

"Maaf, Mas! Habis aku penasaran sama endingnya Bella dan Edward."

Aku gemas sekali hingga hilang akal, harus kuapakan kelancangannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan dompet, lalu menyodorkan selembar uang lima ribu.

"Ini, Mas. Mohon diterima. Anggap saja aku sudah menyewa novel ini. Tapi tolong biarkan aku selesaikan bacanya di sini, ya. Plis!" Kali ini dia menangkupkan tangan dan memelas.
Setelah pikir-pikir kuterima uangnya, karena  tak mau jadi tontonan orang lewat.

"Oke, aku terima dan catat ini sebagai sewa tak resmi. Siapa namamu?"

"Terima kasih, Mas! Aku Erina," balasnya semringah.

Selanjutnya kubiarkan Erina tetap membaca di kios, bahkan kuberi dia sebuah bangku plastik. Dia terus membaca hingga tamat, bersamaan dengan waktu tutup kios jam empat sore.

Besok paginya, Erina kembali datang. Dia tak mempan dengan pengusiranku. Mau tak mau dari obrolan yang tercipta, sedikit demi sedikit muncul keakraban di antara kami. Aku jadi tahu bahwa dia duduk di kelas XII sebuah SMK, yang letaknya tidak berapa jauh dari kawasan Unsoed. Erina bercita-cita menjadi akuntan seperti jurusan yang diambilnya.

"Tapi kenapa kamu membolos terus, Erin? Bagaimana kalau kamu kena skorsing dari sekolah? Dan orangtuamu pasti sedih kalau tahu kelakuanmu," tegurku di hari ketiga dia datang.

"Ah, Mas Pandu nggak tahu masalahku, sih," sahutnya sengit. "Orang dewasa cuma bisa ngomong tapi nggak bisa ngertiin!"

"Lho, kamu nggak cerita apa-apa, kok!" Setelah kukorek-korek, mau juga cewek itu bercerita. Ternyata dia hanya tinggal dengan ibunya, yang bekerja sebagai penjahit.  Bapaknya sudah meninggal sejak Erina masih SMP. Karena itulah ibunya bersikap amat keras. Bahkan cenderung memaksakan kemauan. Termasuk menginginkan Erina langsung menikah setamat sekolah.

"Lho, kok begitu?" heranku.

"Iya, Mas. Rupanya Ibu punya hutang pada seseorang. Dan sebagai balasan setimpal Ibu berniat menjodohkanku dengan orang yang seumuran bapakku itu," cewek itu bergidik ngeri.
"Makanya aku bingung. Cerita sama teman, eh malah disuruh nurut saja."

Aku termenung sesaat. "Mas Pandu pikir langkahmu ini tetap salah. Jangan jadi pelari, Erina, tapi berhenti dan hadapi."

"Tapi aku harus bagaimana, Mas?"

"Begini, mintalah bantuan mediasi dari guru BK dan kerabat dekatmu. Kamu masih punya kakek-nenek atau paman-bibi bukan? Orang dewasa seperti mereka tentu bisa bicara pada ibumu. Asal kamu bersikap jujur, dan terbuka."

Erina  tercenung lama. Tak lama dia pamit meskipun jam dinding baru menunjuk pukul satu. Saat kutanya, katanya dia mau pergi ke suatu tempat. Aku hanya bisa menghela napas
menatap punggungnya yang menjauh.

Esoknya,  hingga tengah hari pun Erina tak muncul di kios. Aku setengah bersyukur karena ada kemungkinan nasihatku kemarin mengena. Namun sisi hatiku yang lain pun merasa sedikit kehilangan. Mungkin karena aku mulai terbiasa mengobrol dengan Erina? Entahlah.

"Mas, dari tadi lihat jam sama nengok-nengok ke pintu. Lagi nunggu siapa?" tegur seorang pelanggan. Di tangan mahasiswa itu sudah tergenggam dua buah komik yang hendak diserahkan padaku.

"Eh, nggak nunggu siapa-siapa. Maaf, ya. Ini mau dipinjam?" Pertanyaanku dibalas anggukan. Aku berusaha kembali berkonsentrasi pada pekerjaanku.  Sementara pikiran tentang Erina harus disingkirkan dahulu.

**

Dua minggu kemudian barulah aku mendapatkan jawabannya.

 Seorang cewek berkacamata mendatangiku di kios sore hari. Tepat menjelang waktu tutup kios. Sebelum aku bertanya, dia berkata bahwa dia adalah teman sekolah Erina.

"Mas Pandu, saya dititipi surat. Sama permintaan maaf karena Erina nggak bisa datang langsung ke sini," cerocosnya menyodorkan sepucuk amplop.


Dalam hati aku sempat merasa geli sendiri. Surat di zaman ini? Oh iya, memang antara aku dan Erina belum pernah saling bertukar nomor ponsel. Di bagian muka amplop tertera tulisan 'Untuk Mas Pandu'.

"Sama satu lagi, Mas. Kata Erina terima kasih atas bantuan Mas Pandu," tambah cewek itu lagi. "Saya permisi, ya."

Aku menggumamkan ucapan terima kasih kembali yang tak ditanggapi teman Erina itu. Keinginanku menutup kios segera kutunda. Aku lebih penasaran pada isi suratnya.  Usai membaca tulisan tangan Erina hingga akhir, hatiku diliputi kelegaan. Erina telah mengikuti saranku, dan dia berhasil. Masalahnya selesai. Keluarga dari pihak  Erina bersedia membantu ibunya melunasi hutang. Sedangkan pihak sekolah yang diwakili guru BK, telah berbicara pada ibunya  tentang keinginan Erina meraih cita-cita.
Aku tercenung. Berapa banyak remaja di luar Erina yang juga memendam masalah namun memutuskan lari? Sungguh kasihan mereka.(*)

Cilacap, 0503-110718


Jumat, 23 Februari 2018

[Cerpen] Kisah Uang Kertas


(Dimuat di Tabloid Genie, Edisi 16/Th XIII 5-11 Januari 2017)




Pukul 19. 45 WIB.

Gen menghela napas panjang. Ia duduk di sebuah gazebo restoran Sunda. Di atas mejanya tergeletak dua buah gelas dengan air mineral. Pesanan sementara saja selagi menunggu. Masih ada sisa lima belas menit lagi dari waktu pertemuan. Ia memang sengaja datang lebih awal. Gen butuh memantapkan hatinya sendiri.
Ia teringat percakapan dengan saudara kembarnya, sepekan lalu.

"Jo, ini kesempatannya. Takkan lagi ada yang setepat sekarang," Gen membujuk kesekian kali. Sudah ia terangkan, bahwa ayah meminta kantor manajemen EO miliknya, mengatur acara gathering Komunitas Cinta Damai--sebuah ormas pendukung partai politik. Bukankah itu suatu pertanda baik?

"Kau masih saja naif, Gen!" cela adiknya, "bisa jadi karena dia tahu kau pasti takkan memasang tarif, malah bisa jadi kau gratisi dia!"

"Demi Tuhan Jo, berhentilah bersikap sinis! Dia masih ayah kita. Apapun hubungannya dengan ibu kini, bagi kita tak ada bekas ayah!" sentak Gen, adiknya terdiam.

"Sorry Gen, mungkin kau benar. Namun bagiku dia tetaplah seorang hipokrit menjijikkan, mudah-mudahan kau ingat dan waspada," pelan Joya bersuara.

Oh, tentu saja Gen ingat. Kala ia dan Joya masih bocah berseragam putih-merah,  ayah memutuskan menceraikan ibu. Demi menikahi putri dari Mr. Tan, donatur bagi karir politiknya.

Akibat perceraian itu, ibu menanggung luka hati yang mendalam. Untunglah ada dukungan usaha katering milik eyang putri, hingga secara finansial mereka tak limbung.
Tahun-tahun yang melesat, memperlihatkan sosok ayah ambisius, sukses menduduki jabatan prestisius di sebuah parpol. Lelaki itu demikian glamor dalam dunianya. Pemberitaannya selalu berbau sensasi bak selebritas. Ya, sosok pria yang berhasil bersenang-senang, di atas luka yang ditorehkan pada anak dan mantan istrinya.

"Dek...," panggilnya.

"Begini saja Gen. Kau buktikan padaku dia sudah berubah, mungkin aku mau pulang. Sudah ya, aku ada kerjaan lain." Begitulah cara Joya menyudahi sambungan telepon.

Gen membuang pandang pada kesibukan di restoran itu. Tertampak sebuah keluarga kecil, duduk mengelilingi menu nasi timbel dan ayam panggang, di meja lesehan. Tawa dua bocah lelaki kala berebut potongan daging, ditengahi ibu mereka, sementara si ayah  sibuk merekam dengan ponselnya. Betapa hangatnya. Dada Gen sesak.

Di gazebo lain, sepasang muda-mudi saling menancapkan kemesraan sambil mengaduk cairan kuning dan merah dalam gelas masing-masing. Mungkin mereka belum tahu kepahitan hubungan percintaan, batin Gen sedikit miris.

Waktu terus berdetak di pergelangan tangan kirinya. Kali ini dikeluarkannya sehelai uang kertas dua ribuan, dari dompet kulit cokelat. Lembaran yang lusuh dan bertambal isolasi bening pada salah satu sisi. Dengan penuh romansa, pemuda berambut ikal tersebut mengenang sesuatu. Kalau bukan karena benda ini, mungkin ia takkan mengubah sudut pandang tentang ayahnya.

Pada satu hari setelah wisuda sarjananya, eyang putri memanggil Gen ke ruang baca. Di tangan wanita sepuh itu tergenggam sehelai kertas.
Awalnya Gen kira demikian, namun setelah diamati itu bukan kertas kumal biasa, melainkan selembar uang dua ribu yang sobek. Gen mengernyit heran pada eyangnya.

"Tolong ambilkan isolasi bening dan gunting, Gen," pinta eyang. Tak perlu waktu lama bagi cucunya memenuhi permintaan tersebut. Kemudian eyang meratakan kertas kumal itu di atas meja, lalu menyejajarkan bagian yang sobek. Gen masih diam memerhatikan. Eyang menyatukan dua bagian itu dengan isolasi tadi.

"Nah, lihat! Jadi utuh lagi, kan?" Eyang berseru penuh kemenangan. Pemuda di hadapannya garuk-garuk kepala merasa bingung.

"Untuk apa uang lusuh seperti itu, Yangti? Kalau mau, Gen punya yang masih mulus." Eyangnya mengutas senyum. Sepasang mata tua di balik kacamata baca itu berkilat menyiratkan kecerdasan.

"Sini, duduk sebelah Yangti. Dengar ya, Nak. Kamu sudah dewasa dan akan menghadapi hidupmu sendiri. Ingatlah, di balik kerusakan dan kesedihan, tetap ada kesempatan untuk mempebaiki."

"Maksud Yangti?"

"Seperti uang kertas ini. Sekilas menyedihkan, jelek, sobek, dibuang pun tak apa. Tapi sebuah perekat bisa menolongnya. Dia jadi bisa berguna lagi. Simpan uang ini, Nak. Supaya kamu ingat selalu tentang kesempatan kedua." Eyang membelai kepala dan wajah Gen yang masih terpana.

"Yangti percaya, hatimu penuh welas. Nanti kamu akan paham."

Gen menekuri lembaran tersebut. Benar, kesempatan kedua untuk potret keluarganya. Sebentar lagi lelaki itu akan tiba. Gen mempersiapkan diri.

**

Tepat pukul 20.00 WIB.

Wajah ayah tak banyak berubah masih seperti Sean Connery, hanya rambut pendeknya mulai diselingi warna perak, sepasang netra cokelatnya menatap Gen penuh kerinduan.
Setelah memberi pelukan hangat, sang ayah seperti kehabisan kata-kata. Sementara pemuda itu sengaja menunggu. Tuan Danu berdehem, sekadar melonggarkan tenggorokan. Suaranya terdengar parau.

"Well, Ayah senang kita bisa bersua lagi, Nak." Gen mengangguk sopan.

"Kau tahu? Rasanya baru kemarin Ayah lihat kau, dan Joya bermain bola di halaman rumah kita dulu. Eh, sekarang sudah jadi bujang gagah, dan tampan." Ia terkekeh sendiri.

"Apa kabar adikmu?" Gen mengangkat alis. Apa ayahnya benar-benar peduli, atau basa-basi?

"Joya  sedang giat bekerja di Salmiya," jawabnya, menyebutkan nama salah satu perusahaan minyak multinasional.

"Kenapa kau tak banyak bicara, Nak?"

"Mengapa Ayah memilih EO-ku?" tanya Gen tajam.

Pria paruh baya itu terperangah, buru-buru meneguk air mineral.
"Ehem! Begini, ... Ayah tahu betapa besar kesalahan-"

"Cobalah jangan omong klise, Yah. Aku sudah dewasa. Butuh penjelasan yang lebih masuk akal," potong Gen.

"Nak, yang terjadi di masa lampau memang tak mungkin kita perbaiki," ucap Tuan Danu perlahan, "Tapi masa depan masih bisa kita ubah."

"Ayah jangan beretorika, aku bukan kader partai."

Tuan Danu terdiam cukup lama. Sementara Gen pura-pura sibuk menekuri buku menu.

'Ah, seharusnya aku bisa lebih lunak, bagaimanapun aku ingin berdamai,' bisik hati anak muda ini.

"Nak, tolong beri Ayah kesempatan menjadi bagian dari hidup kalian lagi."

Gen menatap mata itu, mencari kesungguhan. Tiba-tiba pria tersebut terlihat begitu rapuh, mengibakan hati. Namun ia masih ingin diyakinkan.

"Bagaimana dengan istri Ayah? Apa dia mau kita dekat kembali?"

"Tentu saja, Nak. Dia tak mungkin mencegah hubungan darah."

"Lalu ibu kami?" Pertanyaan yang sulit dijawab...

"Kita lihat saja nanti, Gen."
Jawaban yang belum memuaskan.

Batin Gen masih bergolak. 'Apakah Ayah bisa dipercaya?' Ia raba uang kertas di saku celana. Mengingat kembali pesan eyang. Untuk beberapa jenak ia bungkam, diikuti pandangan cemas pria di hadapannya. Akhirnya sembari mengembuskan napas, Gen memutuskan ini cukup bagus sebagai permulaan. Kemudian senyumnya terbit untuk pertama kali. Tuan Danu berbinar lega.

***
Sembari berjalan menuju Alphard hitam, sang Politikus men-dial sebuah nomer.

"Bagaimana, kau dapat fotonya? Dengar, aku ingin kau tulis sebagus mungkin. 'Tuan Danu berdamai dengan putra kembarnya'. Mengerti?" 

Di restoran, Gen kembali memandangi uang lusuh tersebut.

**END**

Cilacap, Juni-Oktober 2016

(Keterangan: ini adalah versi asli cerpen sebelum diedit pihak redaksi).








































Selasa, 20 Februari 2018

[Cerpen] Pohon Kepuh dan Cerita-Ceritanya


(Dimuat di Radar Mojokerto- Minggu, 11 Juni 2017)

Konon, di Karang Suci dulunya terdapat kerajaan kethek--kera dalam bahasa Jawa. Mereka mendiami istana Pohon Kepuh yang berdiri megah di tengah pekuburan manusia.

Para kethek hidup  bahagia. Bersuka ria semenjak fajar hingga malam menutup hari. Mereka bebas berlompatan-menggaruk bokong-mencari kutu-berkelahi-kawin-beranak-menggosip. Semua yang umum dilakukan kaum berekor panjang itu.
Pada mulanya jumlah mereka melimpah-limpah melebihi manusia peziarah. Para kethek seolah penguasa pekuburan dan orang harus membawa upeti buat mereka mulai dari makanan hingga kembang kamboja. Itu perlu agar kegiatan menggali, mengubur, menabur bunga, dan mendoakan arwah tidak diganggu makhluk penjerit tersebut.

Namun roda berputar. Pesta selalu berakhir. Hukum alam berlaku tanpa mengecualikan hewan seperti kethek. Gelombang manusia berdatangan mengantar sanak kekasih tetangga hingga orang gila ke balik tanah basah.
Orang-orang mati memerlukan tempat istirahat. Orang-orang hidup membutuhkan tempat menunjukkan duka di atas gundukan si mati. Para kethek mulai terusik. Mereka kalah jumlah hilang kuasa. Seolah merestui kebutuhan manusia, sang Pohon Kepuh nan agung roboh! Maklumlah usianya sudah tua gigi tinggal dua dan tak sanggup menanggung amara.

Wuss. Para kethek tersapu angin hilang lenyap dari Karang Suci. Meninggalkan legenda yang merasuk.

***

Seto mengucek mata. Perjalanan enam jam sejak tengah hari dalam bus ekonomi dari Bandung berakhir sudah. Ia meregangkan tubuh penat hingga terdengar bunyi gemeretak. Teman sebangkunya sudah lama turun bersama arus penumpang lain. Ia yang tersisa.

Langit muram Cilacap menyambutnya. Di jalan debu bercampur dedaunan campur aneka sampah plastik berputar di udara. Orang-orang menutupi wajah mereka. Partikel debu kencang siap menampar siapa saja tak terkecuali Seto. Ia mengayuh langkah setengah berlari keluar terminal, mengabaikan tawaran para pengojek. Adiknya berjanji menjemput. Semoga anak itu sudah datang, batin Seto.

Seorang remaja usia SMP melambaikan tangan. Ia mencangkung di atas bebek hitam setrip biru. "Cepetan, Mas! Sebentar lagi hujan!" Segera setelah pantat Seto mendarat di jok, si adik menggeber  sang bebek. Menembus  lalu lintas kota yang berdenyut kencang; berpacu mendahului hujan. Seto menekap tas dan kardus kecilnya erat-erat.

Rumah, aku pulang; bisiknya.

Dua tahun ia bertahan dalam kamar pengap di pinggir Bandung sana. Menyesapi hari demi hari sebagai buruh pabrik tekstil. Ia selalu kelelahan. Tak pernah cukup waktu luang. Tak pernah cukup simpanan uang. Semua alasan itu yang dikemukakan jika ibunya meminta ia pulang. Untuk apa pulang? Belum ada monumen membanggakan bisa ia tunjukkan. Pun tidak seorang mojang bakal bini. Ia merasa cukup hanya unjuk suara di telepon genggam. Atau sekali waktu mengirim duit lewat bank pemerintah.

Seto tahu ibunya tak akan terlantar hanya karena ia menolak pulang. Banyak kerabat di Cilacap. Masih ada kakak perempuan dan adik laki-laki sebagai penjaga ibu. Mereka semua punya tangan dan kaki lengkap untuk mencari makan. Jadi, tidak pulang adalah pilihannya.
Kecuali hari ini.

Ibu menyambutnya dengan kerinduan meruap. Momen singkat menjelang magrib dipergunakan wanita separuh baya itu untuk mengusap wajah sang putra sembari duduk di kursi ruang tamu. Kakak dan adik Seto sudah lenyap dalam kesibukan setelah basa-basi sejenak.

"Maaf, Bu. Aku ndak bawa banyak oleh-oleh," ucap Seto pelan. Wanita tersebut tersenyum lebar, ada kilau kaca di dalam matanya.

"Kamu ini! Kamu mau pulang saja Ibu 'dah seneng!" Seto merasa jengah. Bagaimana pun ada bongkah rasa bersalah muncul melihat reaksi Ibu atas kepulangannya. Ia berdehem.

"Oh iya! Kamu pasti capek, ya. Sudah sana ganti baju di kamar. Terus ke dapur, makan dulu," instruksi Ibu.

"Jam berapa selametannya, Bu?"

"Nanti lepas Isya." Ibu beranjak ke dapur meninggalkan Seto.

Inilah alasan kepulangan Seto : acara mendhak pindho² sang Ayah. Walau ia harus mengajukan izin kerja karena hitungannya jatuh pada hari Kamis Wage--malam Jumat Kliwon. Seto melanggar tekad 'jarang pulangnya' sebab rasa bakti  pada almarhum.

Kenangan yang tersisa pada Seto tentang Ayah ialah permaklumannya. Apa saja polah laku tiga anaknya, dihadapi Pak Birun dengan hati lapang. Saat mbak Surti menjanda di usia pertengahan dua puluhan akibat ditinggal mati suaminya yang gembong curanmor--ditembak petugas polisi--, Ayah menganggap itu wajar. Ketika Seto mbalelo tak mau mengikuti ujian sekolah menengah atas dan malah masyuk jadi penerbang merpati, Ayah tak  muntab. Pun saat si bungsu Rino hobi merusak mainan miliknya dan milik anak tetangga, Ayah menanggapi santai saja. Justru Ibu yang murka, menangis, menyumpah-nyumpah.

Karena itu Seto merasa berhutang budi. Ayahnya orang baik, yang kematiannya akibat ditabrak lari pemuda mabuk sepulang mancing di satu petang, masih disesali Seto hingga kini. Jadi malam ini ia akan bergabung bersama Ibu dan dua saudaranya dalam doa. Seto yakin Tuhan Yang Maha Baik mau menerima doa mereka sekeluarga ditambah orang-orang yang baru pulang dari mushola.

Tepat sesudah doa berakhir dan para jamaah undangan pulang setelah menerima bungkusan berisi nasi serta tanda terima kasih lainnya, langit pecah jua. Ibu lega hajatnya terlaksana.
"Besok kita ke kuburan ayah kalian, menyiramkan air doa ini," tuturnya pada ketiga anak di hadapan.

Air yang dimaksud sebetulnya air biasa didalam botol minuman satu setengah liter, tadi diletakkan di depan pemimpin jamaah selama pembacaan doa. Mereka memandangi benda tersebut dengan pikiran masing-masing.

**

Jumat Kliwon dianggap Jumat sakral bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Tak heran banyak peziarah mementingkan hari tersebut untuk nyekar ke kuburan. Seto dan keluarganya turut larut dalam pawai tersebut. Berjalan kaki ke pekuburan Karang Suci yang hanya berjarak 500 meter saja. Tak lupa membawa aneka bunga tabur, dan uang receh secukupnya.

Buat apa, tanya Seto. Nanti kamu tahu sendiri tandas mbak Surti. Adiknya mengangkat bahu atas ketidakmengertian Seto. Ibu berjalan memimpin di depan, sesekali menyapa orang-orang yang berpapasan dengan mereka. Di langit, bola lampu Tuhan mulai memanjat naik.

Seto memang tak pernah menziarahi siapa pun di Jumat Kliwon di Karang Suci. Maka ia terperanjat bukan kepalang menyadari arus manusia memenuhi tiap tapak tanah pekuburan. Dan tidak semuanya peziarah. Seto menyadari itu saat mendapati lelaki atau perempuan yang membawa-bawa sapu lidi. Tiap ada rombongan mendatangi suatu kuburan, si pembawa sapu itu akan mendului membersihkan areal tanah dari apa saja yang mengotori. Tak lama ia akan menerima upah.

Ada juga sekelompok penjaja makanan dengan gerobak dagangan di atas motor, berhenti di pinggir-pinggir setapak menanti peziarah yang lapar. Seto pun melihat beberapa pemuda menjadikan makam yang dinaungi pohon Kepuh, sebagai tempat kongko dan bermain telepon pintar. Beberapa ekor anjing tampak tidur-tiduran dengan lidah menjulur. Belum lagi hilir mudik anak-anak kecil membuntuti peziarah sembari menadahkan tangan.

"Beri mereka, Rino," perintah mbak Surti. Setelah menerima sekeping-dua keping logam, anak-anak pembuntut tadi berhenti mengekori mereka dan berpindah pada orang lain.

"Tapi itu ada ibunya, Mbak!" Seto menunjuk seorang wanita berbaju lusuh, duduk di atas cungkup kuburan. Wanita itu mengawasi bahkan mengarahkan anak-anak tadi.

"Ya ampun, Seto, tentu saja! Mereka semua sedang ngethek¹ di sini!"

"Sshh, diamlah. Kita sudah sampai," Ibu melerai perdebatan mereka. Lokasi kuburan Ayah ada di pinggir Segara Anakan.

Seorang lelaki tua telah mencabuti rumput di sekitar kuburan, lalu menyapu hingga bersih. Dengan tersenyum lebar ia mempersilakan Ibu melakukan ritual ziarah. Sementara ia sendiri mundur dan menunggu di dekat situ.

 Seto berusaha memusatkan perhatian pada Ayah di balik tanah. Mereka berjongkok, mengusap kepala nisan, menangkup tangan, merapal doa bagi arwah Pak Birun--kepala keluarga terbaik yang pernah ada. Lalu Ibu menyiramkan air semalam, mbak Surti menyusuli dengan taburan bunga. Ritual selesai. Lelaki tadi kembali mendekat untuk mengambil upahnya.
Ibu beranjak meninggalkan kuburan Ayah. Kali ini Rino berjalan mendului, mbak Surti segera menjajari Ibu. Tapi Seto masih enggan beranjak. Pikirannya melantur. Angin meniup lepas kembang Kamboja menjatuhi kuburan-kuburan di bawahnya. Pemuda itu merasakan kesejukan di tengah keriuhan manusia di sekitarnya.

"Seto, ayo!" seru mbak Surti. Malas-malasan Seto berdiri lalu ikut beranjak meninggalkan rumah terakhir Ayah.

Para kethek mencangkung di atas dahan pepohonan Kepuh. Berceloteh tentang panen buah musim ini.
Anak-anak berlarian menelusup di antara para peziarah. Tertawa-tawa memamerkan gigi hitam kebanyakan makan gula-gula.

Kethek jantan riuh berkelakar tentang buah di dada manusia. Induk kethek menyusui bayi-bayinya.
Ada video panas sedang dibagi-bagikan lima pemuda tanggung. Pesta minuman menanti malam ini di pos ronda dekat kuburan.

Pasukan kethek menyebar di area pekuburan. Menarik-narik tangan, baju, tas peziarah. Minta jatah.
Lelaki dan perempuan berbaju lusuh. Berbagi area menyapu kuburan. Menatap pengunjung yang datang, meminta bayaran. Anak-anak menadahkan tangan. Orang-orang membayar jasa tukang gali, juru kunci, hingga juru doa kubur.

Ini tentang para kethek dan legenda yang tertinggal di Karang Suci. (*)

Keterangan:
¹ Ngethek : bertingkah laku seperti kethek (kera)
² Mendhak pindho : ritual selamatan memperingati +- 2 tahun meninggalnya seseorang.

Cilacap, 310317

(Kisah untuk: FAS, KBMers, Lovriners, dan BAwers).