Cari Blog Ini

Selasa, 20 Februari 2018

[Puisi] Sajak Kopi


(Antologi puisi pertama saya)

PUISI-PUISI GITA FETTY UTAMI

SAJAK KOPI

Kemarilah kekasihku mari kita menimang malam
Segelas pekat telah kuseduh bagi mulutmu yang menghitam
Jangan pikir rasanya lagi kekasih sayang
Tiap hari tak akan sama
Kuakui terkadang hanya pahit semata yang kau kecap
Ada kalanya kau sesap sepotong gendis di situ
Tak jarang kau mengernyit oleh rasa asin; itu luhku menetes sembunyi
Namun takkan bosan kuhidangkan lagi dan lagi
Aku berbisik padamu melalui kopi.

**
Cilacap, 061016


SAAT LANGIT MENANGIS

Bumi menjadi kuyup
Aku pun ditelan banjir
Hingga gigil merasuki: ngilu
Kami terkungkung oleh duka sang langit

Perdiangan telah kebas
Api tak mau nyalanyala
Kau merepih dukamu
Lelah menatap bakal nafkah kita ikut kelu.

Kami maukan kehangatan
"Seduhlah dia, si pekat manis," pintamu
Aku tergeming bersama udara dalam kaleng
: tak ada kopi hari ini.
**
Cilacap, 101016

Sabtu, 03 Februari 2018

[Cernak] Pelajaran untuk Flipi


(Dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 30 Juni 2017)


Flipi si peri laki-laki berwarna jingga, amat membanggakan terompet kecilnya yang terbuat dari batang ilalang kering. Suara yang keluar dari alat musik itu cenderung melengking.  Namun menurut Flipi, hal tersebut malah unik. Sebagai penyeimbang suara bas yang rendah.
Dua hari lagi ia akan tampil di pentas seni padang rumput. Acara tersebut rutin diadakan oleh para peri pohon Mahoni, untuk merayakan pergantian tahun Peri. Oleh sebab itu Flipi semakin rajin berlatih baik bersama kelompok pemain musik, maupun sendirian.

"Po! Coba dengar, aku telah menciptakan irama baru!" Flipi berkata antusias pada Polina si peri ungu.

Temannya terbelalak. Ini sudah puluhan kali Flipi memamerkan suara terompetnya dan belum puas juga. Seharusnya ia bisa melihat kesibukan peri lain, pikir Polina.

"Ya, ampun Flipi!  Aku harus mengantar bunga mawar ini pada  Mel. Kalau tidak dia bisa mengomeliku," ketus Polina meneruskan terbang. Mel adalah koordinator dekorasi panggung.

"Ta-tapi ..." Flipi menatap kecewa pada Po yang sudah melesat tinggi.

"Halo Fli, ada apa?" Lewatlah Bo,  peri pemetik bas. Ia satu kelompok dengan Flipi. Badannya sedikit gendut, namun tidak mengurangi kelincahannya.

"Bo! Barangkali kau mau mendengarkan irama baruku?"  Flipi bertanya antusias. Bo menyeringai kecut.

 Sebetulnya Bo adalah kawan yang ramah, namun ia teringat pada perangai Flipi. Waktu Bo ingin gantian memperdengarkan suara basnya, Flipi sama sekali tak menunjukkan minat. Flipi juga sering mengabaikan kekompakan dengan peri pemetik  harpa, biola, dan piano. Bahkan beberapa kali Flipi membantah arahan Lilo sang konduktor, hanya karena ia merasa kurang menonjol. Flipi sungguh egois, keluh Bo dalam hati.

"Oh, nanti saja ya, Fli. Aku belum makan siang, nih. Dah, Flipi!" Bo pun terbang menjauh cepat-cepat.

Flipi berkacak pinggang, "Huh, mereka payah! Tak bisa menghargaiku. Kutiup saja di dekat sungai, ah!" Ia terbang menuju tepi padang rumput. Di sana ada sungai kecil  jernih, favorit semua peri.

Sesampainya Flipi di pinggir sungai, suasana terlihat sepi. Padahal biasanya selalu ada kelompok peri mengobrol di sana. Rupanya mereka semua sibuk mempersiapkan perayaan. Tak apalah tanpa pendengar, pikir Flipi. Segera Flipi duduk di atas kelopak bunga berwarna biru. Ia lalu menempelkan ujung terompet ke mulut dan mulai meniup. Keluarlah nada-nada yang melengking. Dengan penuh konsentrasi si peri Jingga ini memainkan lagunya.

Saking asyiknya, Flipi tak menyadari sesuatu. Ada seekor katak besar yang tengah beristirahat di balik rimbunan rumput, tak jauh dari Flipi bertengger. Warna kulitnya yang hijau, memang menyamarkan katak itu dari penglihatan si peri. Sang katak mengintip dari sela-sela ilalang. Katak itu ingin tidur tapi terganggu oleh suara terompet Flipi.
Tentu saja sang katak merasa geram. Tanpa sepengetahuan Flipi, si katak mengendap-endap dari  kiri, kemudian mengambil ancang-ancang. Tiba-tiba ia melompat ke arah si peri.

"A-ah!" Tentu saja Flipi terkejut. Refleks ia mengangkat tangannya, berusaha melindungi kepala. Akibatnya kaki depan katak menghantam terompet.

Krak! Byur!

"Rasakan!" omel katak puas.

Flipi yang tercebur ke dalam sungai cepat-cepat berenang ke tepian dan naik ke darat. Seluruh tubuh dan sayapnya basah kuyup. Barulah setelah itu ia menyadari sesuatu.

"Oh, tidak! Terompetku!" Flipi meratap.

Ya, terompet kesayangannya telah patah terkena terjangan kaki katak barusan. Si peri menatap marah pada katak itu.

"Jahat sekali, kau! Asal kau tahu ya, katak jelek. Aku ini salah satu pemain musik Ratu! Dua hari lagi aku akan tampil, tapi gara-gara kau terompetku rusak. Akan kulaporkan kau!"

"Oh, begitu? Silakan saja. Aku pun akan mengadukanmu, peri jingga yang sok! Kau telah mengganggu istirahatku!" balas si Katak berani hingga Flipi terdiam.

"Lain kali berpikir dulu sebelum berbuat sesuatu, jangan egois dan seenaknya sendiri. Pikirkan juga yang ada di sekelilingmu!" Setelah berkata demikian sang katak melompat pergi.

Tinggallah Flipi si peri jingga, terduduk lesu dan sedih. Ia benar-benar memperoleh pelajaran yang patut didapatkannya. (*)

Cilacap, 270517

[Resensi] Kritik Sosial dalam Novel Klasik



(Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 29 Januari 2018)

Judul.            : Tiga Tahun
Penulis.         :  Anton Chekov
Penerjemah  : Sapardi Djoko Damono
Penerbit.        : Bentang
Cetakan.        : Pertama, September 2017
Tebal.              : Vi + 158 hlm
ISBN                : 978-602-291-426-6

Rusia pada tahun 1880-an, secara garis besar terdiri dari  kelas pedagang, kelas pemilik pabrik, dan kelas pekerja. Relasi antar manusianya terjalin begitu lugas dan tegas, menyesuaikan dari kelas mana seseorang  berasal. Anton Chekov, salah satu sastrawan terkemuka Rusia, dalam novel ini mengemukakan kritiknya atas ketimpangan yang terjadi dengan rapi dan mengesankan.

Seorang putra bungsu saudagar kaya Moskow Alexei Fyodorovich atau  biasa dipanggil Laptev, baru saja membangun rumah tangga dengan  Yulia Sergeyevna putri tunggal  dokter  pribadi  kakak perempuan Laptev. Bukan saja perbedaan usia yang menyulitkan mereka, tapi juga fakta tidak adanya rasa cinta dari Yulia pada Laptev.
"Setelah dua malam tinggal di rumah suaminya, Yulia Sergeyevna sudah menganggap pernikahannya sebagai suatu kekeliruan, suatu bencana, dan seandainya  dia diharuskan tinggal di kota selain Moskow maka dia tidak akan dapat menanggungnya." (Hal. 55).

Di luar perkara rumah tangga, Laptev  menghadapi keruwetan dalam membantu menangani usaha ayahnya. Sebelumnya ada kakak kedua dan dua orang kepercayaan sang ayah, sehingga Laptev enggan mengetahui urusan perdagangan. Namun malang, sang kakak mulai menunjukkan gejala sakit jiwa. Sedangkan ayah Laptev pun mulai sakit-sakitan. Pada titik inilah Laptev menyadari kesalahan sistem kerja yang bertahun-tahun diterapkan ayahnya (hal. 136).

Ayahnya tidak pernah transparan dalam masalah gaji. Hak dan kewajiban antara pekerja magang dan kerani tidak pernah diterangkan secara jelas. Begitu pula cara ayahnya  memperlakukan pekerja amat buruk dan kurang manusiawi (hal. 137).

Jalinan cerita yang saling kait-mengait antara Laptev, Yulia, keluarga, sahabat, serta para pekerja membuat novel ini kaya nuansa. Apalagi kisahnya ditutup dengan ending yang realistis. Didukung oleh penerjemahan yang baik membuat nyaris tidak ditemukan kekurangan signifikan, yang bisa memengaruhi kenikmatan membaca. Karenanya novel ini direkomendasikan bagi penikmat karya sastra klasik kelas dunia. (*)

Cilacap, 020118

[Resensi] Keberanian Guru Bereksperimen di Kelas



(Dimuat di Jateng Pos, Minggu 12 Nov'2017)

Judul Buku. : Inspiring Classroom Stories
Penulis.        : Niken Purwani
Penerbit       : Bhuana Ilmu Populer
Cetakan       : I,  2017
Tebal            : 304 hlm
ISBN             : 978-602-394-718-8

Gaya penulisan buku ini menyerupai seri Chicken Soup for The Souls. Empat puluh cerita mewakili pengalaman  Niken saat  mengajar di beberapa tempat, baik sebagai guru Bahasa Inggris maupun guru BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing). Pembaca diajak menyelami mutiara hikmah dan inspirasi di balik setiap pengalaman tersebut. Ada yang mengharukan, ada pula yang menghibur, serta lebih banyak lagi yang mencerahkan wawasan pembaca.

Seorang guru sebaiknya berani bereksperimen dalam menyampaikan bahan ajarnya. Karena terkadang situasi kelas yang dihadapi kurang kondusif. Dalam  kisah 'Lempar Bola Perkenalan', Niken menghadapi tiga orang murid remaja yang berasal dari Australia. Tiga remaja itu terlihat bosan dan tidak berminat mengikuti kelas. Padahal Niken harus mengulang materi perkenalan untuk mereka. Dalam situasi tersebut berpikirlah sebuah ide di kepalanya, yakni mengajak mereka bermain lempar tangkap bola sembari berdialog. Akhirnya tujuan pengajarannya tercapai tanpa disadari tiga muridnya itu. "Mengajar adalah tentang kesabaran dan pantang menyerah terhadap suatu halangan. Jika kau merasa terdesak, bisa jadi akan muncul ide-ide brilian yang akan menghidupkan kelasmu!" (hal. 35).

Ketegasan adalah sikap yang perlu ditegakkan seorang guru, di hadapan murid-muridnya. Dengan sikap tegas, sang guru mengarahkan tujuan yang seharusnya dicapai oleh sang murid. Karena sering kali godaan untuk lalai dari koridor pembelajaran menyapa guru dan murid tersebut. Di suatu masa saat Niken mengajar kelas training bagi para sopir dump-truck di perusahaan pertambangan Kal-Tim, dia mengalami godaan menjurus pelecehan dari mereka. Alih-alih menerima pasrah, Niken memilih menegaskan posisinya sebagai guru. Bahkan mengancam melaporkan perbuatan mereka pada perusahaan agar mereka memperoleh sanksi. Apa yang dilakukannya kelak berbuah manis. Murid-muridnya berbalik segan dan menghormati Niken, sehingga tujuan pembelajaran mereka tercapai ( Siulan Itu, hal. 85).

Terkadang seorang murid yang bertalenta tinggi, tidak didukung oleh kemudahan situasi dan kondisi. Di sinilah peranan guru amat diperlukan, untuk mendukung, menyemangati, bahkan mencarikan jalan keluar yang diperlukan. Seperti kisah Yodida, salah seorang murid di SMAN1 Cilacap tempat Niken kini mengajar. Dia anak yang jago bahasa Inggris, berbakat di seni tari, namun berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah yang broken home. Saat Yodida mendapat beasiswa pertukaran pelajar ke luar negeri, dia terkendala biaya. Niken sebagai gurunya berinisiatif menghubungi ikatan alumni SMA 1 Cilacap, mencarikan jalan keluar. Pada akhirnya Yodida berhasil berangkat meraih impiannya ke Arizona (Bintang itu Bernama Yodida, hal. 124).

Di dalam buku ini Niken juga menyertakan ilustrasi metode yang dia pakai di kelas. Contoh:  realia  puzzle makanan guna membantu mengenalkan kosakata bahasa Inggris dasar untuk anak TK, dalam kisah 'Tya, Si Bola Bekel' (hal. 56). Atau papan permainan  Tic Tac Boom Game (hal. 42), yang dia gunakan saat memberi materi soal UN pada murid-murid SMA.
Paduan ilustrasi serta highlight yang dicantumkan untuk menggarisbawahi moral cerita pada masing-masing kisah, membantu pembaca memahami inspirasi yang terdapat di dalamnya. Pembaca dari kalangan umum pun akan mampu mencerna isi buku ini.

Sedikit kekurangan yang terdapat di dalam buku adalah kesalahan penempatan tanda baca. Misal ada dialog yang tidak ditutup dengan tanda petik penutup (hal. 229). Lalu adanya typo untuk nama tokoh yang seharusnya 'Pak Vincent' menjadi 'Pak Jeff' ( hal. 211). Namun demikian kekurangan tersebut tidak mengurangi manfaat yang bisa diambil dari buku ini. Tentunya buku ini direkomendasikan bagi siapa saja yang selalu ingin belajar. (*)

Cilacap, 241017

[Resensi] Antara Mimpi dan Realitas





(Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin, 27 Nov'2017)

Judul              : Dream, If ...
Penulis.          : Redy Kuswanto
Penerbit         : Diva Press
Cetakan.        : Pertama, November 2017
Tebal.             : 268 hlm
ISBN               : 978-602-391-467-8

Setiap orang boleh  bermimpi ingin sukses seperti sosok idola masing-masing. Namun patut dicamkan dalam benak, mimpi pun tetap harus melihat kenyataan. Jangan sampai ambisi yang berlebihan untuk mewujudkan impian tersebut malah merusak diri sendiri, atau bahkan merugikan orang sekitar. Pesan inilah yang ingin disampaikan oleh penulis dalam novel remaja ini.

Dikisahkan,  gadis SMA asal desa Baranangsiang--sebelah ujung tenggara kabupaten Subang--bernama Mimi Tarmiyah yang bermimpi menjadi artis. Dia mengidolakan Titin Tuminah Hona, artis pendatang baru yang juga berasal dari desa. Bedanya Titin memang memiliki modal berupa keindahan suara didukung kecantikan fisik dan hati, sebaliknya  Mimi hanya sok cantik dan 'over pede'. Mimi sangat berambisi menjadi seperti Titin, mulai dari meniru penampilan sang artis, hingga mencari jalan agar dapat terkenal (hal. 54).

Berawal dari acara jumpa penggemar dengan Titin, seorang pria yang mengaku sebagai agen artis mendatangi Mimi lalu menawarkan kesempatan menjadi terkenal. Mengabaikan peringatan dari pacar dan sahabat di sekolah bahkan ibunya sendiri, Mimi nekad pergi ke Jakarta bersama seorang cowok suruhan si agen tersebut (hal. 87). Kemudian dimulailah petualangannya di Jakarta dengan menggenggam asa menjadi artis top.

Di ibukota, Valdo sang agen serta Brian sang tangan kanan, tak serta merta mewujudkan janji mereka. Mimi diajak menemui produser yang ternyata meminta imbalan uang pelicin puluhan juta. Karena gelap mata, Mimi  menelepon ibunya dan memaksa wanita tersebut menjual tanah warisan almarhum suami. Namun  ibunya menolak (hal. 162). Tanpa sepengetahuan Mimi, rupanya Valdo dan Brian merancang strategi untuk menipu Mimi. Pada akhirnya mereka berniat menjual gadis desa tersebut pada lelaki hidung belang (hal. 212).
Sementara di desa, orang-orang yang peduli pada Mimi tak tinggal diam. Berbekal sepotong informasi terakhir dari Mimi, dua cowok teman sekelasnya menyusul ke Jakarta mencari Mimi. Mereka seolah berkejaran dengan waktu untuk menyelamatkan Mimi dari ancaman 'trafficking'. Pada akhirnya kisah ini bermuara pada kesadaran Mimi. Ternyata masih ada jalan menjadi terkenal, tanpa perlu menjadi orang lain.

Redy Kuswanto berhasil membalut pesan moral ini dalam bahasa yang renyah dan memikat pembaca dari awal hingga akhir. Kekurangan berupa salah ketik di beberapa tempat tidak terlalu mengganggu konsentrasi membaca. Novel ini direkomendasikan untuk kalangan remaja dan orang tua.(*)
Cilacap, 181117